Biografi KH. Badrus Salam, Syuriyah NU Cabang Malang

 
Biografi KH. Badrus Salam, Syuriyah NU Cabang Malang

Daftar Isi:

1.    Riwayat Hidup dan Keluarga
1.1  Lahir
1.2  Riwayat Keluarga
1.3  Wafat

2.    Sanad Ilmu dan Pendidikan
2.1  Pendidikan
2.2  Guru-Guru

3.    Penerus
3.1  Murid-Murid

4.    Perjalanan Hidup dan Dakwah
4.1  Sekilas Perjalanan Hidup
4.2  Kiprah di Nahdlatul Ulama

5.    Teladan
6.    Chart Silsilah Sanad
7.    Referensi

1.    Riwayat Hidup dan Keluarga

1.1  Lahir
KH. Badrus Salam lahir pada tahun 1906 M, di Desa Tempursari, Kecamatan Klaten, Solo Jateng

1.2 Riwayat Keluarga
KH. Badrus Salam menikah dengan Nyai Hj. Tursina, adik kandung H. Dardiri (ayahanda H. Hudan Dardiri, mantan Bupati Jombang, dan H. Gatot Muhdil Islam Dardiri, Bendahara Masjid Agung Jami' Malang). Dari pernikahannya, beliau dikaruniai tujuh putra-purti, yakni:

  1. Muhyil Islam,
  2. Muawinah Syariah,
  3. Muflihul Anam,
  4. Mujahiratul Aliyah,
  5. Mubasyiratul Sholihah,
  6. Suciati Nadifatul Qolbi,
  7. Mudakkir Ummah.

Dalam mendidik putra-putrinya, Kyai Badrus itu sangat demokratis dan anak-anaknya selalu ditekankan untuk mendalami ilmu agama sebelum mempelajari ilmu umum.

1.3 Wafat
Kyai Badrus Salam memang sosok yang tegar dan tabah. Meskipun dalam keadaan sakit, kyai Badrus Salam tidak pernah mengeluh, akibatnya keluarga tidak mengetahui kalau Kyai Badrus Salam sakit.

Dalam keadaan sakit itu, Kyai Badrus Salam berpamitan kepada keluarga untuk mengisi pengajian rutin di Mushalla yang berada di daerah Kayutangan. Seusai mengajar di mushalla, kemudian beliau diundang rapat oleh Kyai Hasyim Muzadi untuk membicarakan masalah umat. Saat itu, kediaman Kyai Hasyim Muzadi masih berada di Dinoyo.

Malam itu, setiba di rumah Kyai Hasyim, Kyai Badrus Salam jatuh karena tidak kuat menahan rasa sakitnya. Beliaupun dilarikan ke RSU Saiful Anwar. Saat di rumah sakit itulah Kyai Badrus Salam wafat tepat pada hari Sabtu Pahing, 2 Februari tahun 1974 M / 9 Muharram 1394 H. Kyai Badrus Salam meninggal dalam usia 68 Tahun dan dimakamkan di pemakaman Kasin.

2. Sanad Ilmu dan Pendidikan

2.1 Pendidikan
Sejak kecil KH. Badrus Salam lebih banyak diasuh oleh H. Muhsin, ayahnya, dan kemudian nyantri di Pondok Pesantren Jamsaren, Solo yang diasuh oleh KH. Ali Darokah. Selama di Pondok ini, beliau mengabdikan dirinya hingga menjadi pengurus.

2.2 Guru-Guru

  1. H. Muhsin (ayah),
  2. KH. Ali Darokah.

3. Penerus

3.1 Murid-Murid

  1. Brigjen (Pur) H. Sulam Samsun, mantan Pengurus PBNU,
  2. Hj. Siamah,
  3. Hj. Muthomimah,
  4. Hj. Chusnul Chotimah (mereka bertiga menjabat Pengurus Cabang Muslimat NU Kota Malang),
  5. Hj. Habibah,
  6. H. Thoha Mashudi (mantan anggota DPRD Kota Malang),
  7. Kyai Abdullah Iskandar, Kayutangan.

4. Perjalanan Hidup dan Dakwah
"Dan tidaklah Aku jadikan jin dan manusia, melainkan hanya untuk mengabdikan diri kepada-Ku." Salah satu ayat dalam Al-Qur'an surat Az-Zariyat ayat 56 itulah yang menjadi pedoman dasar KH. Badrus Salam. Karenanya, tidaklah heran jika kemudian segala aktivitas hidup beliau lebih banyak dicurahkan untuk mengabdi kepada Allah SWT, dan menjadi khodimul ummah (melayani kepentingan umat).

Prinsipnya, segala aktivitas hidup itu harus diniati untuk beribadah, tanpa pamrih atau mengharapkan sesuatu dari manusia. "Orang hidup itu untuk beribadah,'' kata KH Badrus Salam, kala itu.

4.1 Sekilas Perjalanan Hidup
Keluarga Kyai Badrus, termasuk orang yang mentaati hasil keputusan pertemuan Kyai se Jawa, yang waktu itu melawan politik penjajahan Belanda, hingga terjadinya perang Diponegoro sekitar tahun 1918-1925. ''Pada pertemuan itu, para Kyai se-Jawa memberi fatwa agar umat Islam harus membentengi diri dari pengaruh politik Belanda, hingga umat Islam harus mengisolir diri ke desa-desa.

Bahkan, para Kyai mengharamkan segala sesuatu yang berbau Belanda. Seperti memakai celana, sepatu, berdasi, makan menggunakan sendok dan garpu, termasuk sekolah umum,'' kata KH. Abdullah Iskandar, santri Kyai Badrus Salam di Madrasah Muallimin, Jagalan yang mendampingi sejak tahun 1941 hingga menjelang beliau wafat.

Dengan mematuhi fatwa para Kyai itulah, Kyai Badrus akhirnya lebih menekuni belajar ilmu agama di Ponpes Jamsaren, Solo. Perjuangannya mensyiarkan Islam cukup besar. Meski kondisi negara belum aman, karena adanya agresi kedua Belanda yang masuk kota Malang, Kyai Badrus Salam tetap gigih dalam menyampaikan ilmunya.

Sayangnya, kapan beliau masuk Kota Malang tidak diketahui secara pasti. Hanya saja, Kyai Badrus ke Malang bersama beberapa Kyai lainnya, seperti KH. Syukri Ghozali dan KH. Damanhuri itu atas ajakan KH. Nahrowi Thohir untuk ikut mengajar di Madrasah Muallimin, Jagalan (kini menjadi Madrasah KH. Badrus Salam), yang dirintis KH. Nahrowi pada tahun 1924.

Selain mengajar di madrasah, Kyai Badrus juga mengajar ngaji di beberapa masjid, termasuk di Masjid Agung Jami' Malang, dengan mengajarkan Al-Qur'an dan tafsir, serta menjadi imam rowatib. Pada tahun 1961, beliau menjadi Pengurus Takmir Masjid Agung Jami' Malang urusan Hukum dan Ibadah bersama KH Abdullah Sattar. Selain itu, juga menjadi Syuriyah NU Cabang Malang.

Kyai yang alim dibidang fiqih dan tasawuf ini, lebih konsen terhadap dunia pendidikan Islam. Bahkan, beliau tidak terlalu memikirkan masalah dunia. Hingga masalah rumah pun ikut dengan mertuanya.

Beliau memiliki rumah sendiri, sekitar tiga tahun menjelang wafat. Itupun karena pemberian orang. "Beliau itu pernah diminta menjadi Ketua Pengadilan Agama (PA) Malang sekitar tahun 1970, namun tidak mau. Kyai Badrus lebih memilih mengajar di madrasah dan berdakwah.

Karenanya, beliau itu orang yang qona'ah dan ikhlas, tidak pernah pilih-pilih, siapa yang membutuhkannya atau mengundang akan sangat diperhatikan,'' tutur KH. Abdullah Iskandar, yang juga Pengasuh Pengajian Aswaja ini.

Berkat ketulusan dan kerendahan hati beliau, banyak santri-santrinya di Muallimin yang menjadi tokoh masyarakat, seperti Brigjen (Pur) H. Sulam Samsun, mantan Pengurus PBNU, Hj. Siamah, Hj. Muthomimah, Hj. Chusnul Chotimah (mereka bertiga menjabat Pengurus Cabang Muslimat NU Kota Malang), Hj. Habibah, dan H. Thoha Mashudi (mantan anggota DPRD Kota Malang), serta beberapa tokoh di Malang lainnya. Termasuk santrinya adalah Kyai Abdullah Iskandar, Kayutangan, pembina pengajian Aswaja saat ini.

Menurut Drs. HM. Kamilun Muhtadin, Ketua I Takmir Masjid Agung Jami' Malang, Kyai Badrus Salam termasuk Kyai sufi yang penuh ketulusan dan kehalusan budi. Bahkan, hampir tidak pernah absen menjadi imam rowatib di Masjid Agung Jami'. "Bila ada khotib atau pengasuh pengajian yang berhalang hadir, tanpa keberatan beliau langsung menggantikannya. Sejak pukul 10.30 pagi, beliau sudah ada di masjid untuk mengajar tadarrus Al-Qur'an. Bahkan waktu itu, kami mengikuti sambil memijati kaki dan punggung beliau,'' ujar Kamilun Muhtadin, yang juga menjabat Kepala Kantor Pendidikan Nasional Kabupaten Malang.

Demikian juga kebiasaan beliau setiap 10 hari terakhir malam Ramadhan, sebelum melakukan shalat malam, Kyai Badrus memberikan mauidhoh hasanah sekitar 10 menit, kemudian listrik dipadamkan untuk melaksanakan shalat malam.

4.2 Kiprah di Nahdlatul Ulama
KH. Badrus Salam bersama beberapa kyai lainnya, seperti KH. Syukri Ghozali dan KH. Damanhuri diajak oleh KH. Nahrowi Thohir untuk ikut mengajar di Madrasah Muallimin, Jagalan yang didirikan pada tahun 1924. Selain mengajar di madrasah, Kyai Badrus juga mengajar ngaji di beberapa masjid, termasuk di Masjid Agung Jami' Malang, dengan mengajarkan Al-Qur'an dan tafsir, serta menjadi imam rowatib.

Pada tahun 1961, beliau bersama KH. Abdullah Sattar menjadi Pengurus pada bagian Hukum dan Ibadah di Masjid Agung Jami' Malang. Berkat kealiman beliau dan kepintaran beliau dibidang fiqih dan tasawuf, beliau dijadikan sebagai Syuriyah NU Cabang Malang.

5. Teladan
Sosok Yang Istiqomah dan Sabar

Kyai Badrus Salam sangat bertanggung jawab dengan tugasnya. Menurut keterangan ustadz Kamilun Muhtadin, beliau bahkan hampir tidak pernah absen ngimami. Beliau juga sosok sederhan yang mukhlis (ikhlas), beliau berangkat ke masjid untuk mengimami shalat lima waktu dengan mengendarai sepeda ontel. Begitu istikomahnya menjalankan tugas ngimami, meskipun beliau sedang mengajar di Madrasah, kalau waktu shalat sudah tiba, beliau meminta izin kepada guru yang lain untuk ngimami shalat di Masjid Jami.

“Kyai Badrus Salam adalah sosok kyai yang sabar”, ungkap ibu suci, anak ke enam dari Kyai Badrus Salam. Pernah suatu ketika, sepeda ontel yang menjadi alat tranportasinya hilang diambil maling (pencuri) saat di parkirkan di pelataran (halaman) masjid Jami. Namun, meskipun sepeda kesayangannya raib diambil orang, beliau hanya tersenyum dan pulang ke rumah dengan berjalan kaki.

Selain, terkenal dengan kesabarannya, Kyai Badrus Salam juga dikenal sebagai sosok yang selalu menerima. Demikian ungkap H. Gatot Dardiri (salah satu takmir Masjid Agung Jami Kota malang saat ini) yang juga masih keponakannya. Pernah, suatu saat, ketika beliau pulang larut malam selesai mengajar.

Sesampainya di rumah, beliau tidur di dekat istri, padahal belum makan sama sekali. Saking laparnya, perutnya berbunyi sehingga terdengar oleh sang istri. Kemudian istrinya menganjurkan agar Kyai Badrussalam makan terlebih dahulu agar tidak kelaparan dan sakit. “Abi, itu lho ada nasi, silakan makan”. Tutur istrinya.

Dahulu tempat nasi itu terbuat dari wakul besek. Namun, saat beliau mengambil tempat nasi, ternyata nasinya sdah habis beliau tidak marah. Beliau malah mengambil sisi-sisa nasi yang nempel di pojok wakul. Kemudian beliau membangunkan istrinya untuk menemaninya makan. Subhanallah.

Kyai Yang Wir’ai dan Bijaksana
Beliau juga merupakan ulama yang wira’i (berhati-hati dalam masalah halal dan haram. Beliau tidak mau memasukkan makanan ke dalam perutnya sebelum mengetahui dengan jelas halal dan haram makanan itu.

Suatu ketika, Kyai Badrus Salam mengajar manasik haji di rumah H. Ahmad Dardiri yang masih kakak iparnya. Selesai mengajar beliau ditawari oleh istri H. Ahmad Dardiri untuk makan. “Dek-dek, monggo makan dengan cap Cay.” Tawar ibu Hj. Ahmad Dardiri. Begitu mendengar kata Cap Cay, beliau tidak berkenan memakannya.

Sebab anggapan beliau Cap Cay itu adalah masakan Cina, dan dikahawatirkan kebersihan dan kehalalannya. Namun setelah dijelaskan bahwa masakannya adalah masakan ibu Hj. Ahmad Dardiri sendiri, dan namanya hanya berbau china, padahal hanya masakan sayur mayur yang diolah menjadi satu, beliau baru mau makan.

Disamping terkenal wara’, beliau juga merupakan ulama yang bijaksana dalam memberikan jawaban-jawaban hukum terhadap ummat. Pernah H. Gatot Dardiri pada saat mau menikah bertanya kepada Kyai Badrus Salam.”Kyai, apakah nikah itu harus menggunakan bahasa Arab? Tanya H. Gatot. “Oh tidak, kamu bisa menggunakan bahasa Indonesia, Jawa atau Madura.

Namun lebih afdholnya memang mengunakan bahasa Arab. Mari saya tuliskan. Kemudian H. Gatot bertanya lagi; “Apakah boleh ngerpek (mencontek)? Oh bisa, akan tetapi lebih afdholnya dihafalkan. Jawab beliau dengan bijak. Jadi beliau itu tidak pernah mengecewakan orang yang bertanya kepadanya.

Beliau juga merupakan ulama yang wira’i (berhati-hati dalam masalah halal dan haram. Beliau tidak mau memasukkan makanan ke dalam perutnya sebelum mengetahui dengan jelas halal dan haram makanan itu. Disamping terkenal wara’, beliau juga merupakan ulama yang bijaksana dalam memberikan jawaban-jawaban hukum terhadap ummat. 

Karenanya, tidaklah heran jika kemudian segala aktivitas hidup beliau lebih banyak dicurahkan untuk mengabdi kepada Allah SWT, dan menjadi khodimul ummah (melayani kepentingan umat). Prinsipnya, segala aktivitas hidup itu harus diniati untuk beribadah, tanpa pamrih atau mengharapkan sesuatu dari manusia. "Orang hidup itu untuk beribadah,'' kata KH. Badrus Salam, kala itu.

6. Chart Silsilah Sanad
Simak chart silsilah sanad guru KH. Badrus Salam

7. Referensi
Masjid Jami’ Malang

Artikel ini sebelumnya diedit tanggal 2 Februari 2023, dan kembali diedit dengan penyelarasan bahasa pada tanggal 2 Februari 2024.

 

Lokasi Terkait Beliau

List Lokasi Lainnya