Perempuan Dikawinkan oleh Wali Hakim, Sedang Walinya Mengawinkannya dengan Lelaki Lain

 
Perempuan Dikawinkan oleh Wali Hakim, Sedang Walinya Mengawinkannya dengan Lelaki Lain

Perempuan Dikawinkan oleh Wali Hakim, Sedang Walinya Mengawinkannya dengan Lelaki Lain

Pertanyaan :

Bagaimana pendapat Muktamar tentang seorang perempuan yang dikawinkan oleh wali hakim di Jawa, sedang walinya sendiri (wali mujbir) berada di Mekkah dan mengawinkannya dengan seorang laki-laki lain (di Mekkah), perkawinan manakah yang dianggap sah?.

Jawab :

Apabila dapat diketahui waktunya, maka perkawinan yang lebih dahulu itulah yang sah! Dan apabila bersamaan waktunya, atau tidak diketahuinya mana yang lebih dahulu, maka yang dianggap sah adalah perkawinan yang dilakukan oleh walinya sendiri, demikianlah yang dipilih oleh Muktamar.

Keterangan: dalam kitab:

  1. Tuhfah al-Muhtaj[1]

لَوْ قَدِمَ فَقَالَ كُنْتُ زَوَّجْتُهَا لَهُ لَمْ يُقْبَلْ بِدُوْنِ بَيِّنَةٍ لِأَنَّ الْحَاكِمَ هُنَا وَلِيٌّ إِذِ اْلأَصَحُّ أَنَّهُ يُزَوِّجُ بِنِيَابَةٍ اقْتَضَتْهَا الْوِلاَيَةُ. وَالْوَلِيُّ الْحَاضِرُ لَوْ زَوَّجَ فَقَدِمَ أَخَرُ غَائِبٌ وَقَالَ كُنْتُ زَوَّجْتُ لَهُ لَمْ يُقْبَلْ إِلاَّ بِبَيِّنَةٍ .

Seandainya ada wali yang datang kemudian berkata: “Aku telah mengawinkan wanita itu untuk seorang lelaki.”, maka perkataannya itu tidak bisa diterima tanpa adanya saksi, karena hakim dalam kasus ini (menikahkan seorang wanita ketika walinya tidak ada di daerah terkait) adalah wali, sebab menurut qaul al-Ashshah hakim boleh menikahkan sebagai pengganti wali yang diperoleh sebab kekuasaannya. Dan wali yang ada di daerah terkait, seandainya mengawinkan, kemudian datang wali yang ghaib (tidak ada di daerah terkait) seraya berkata: “Aku telah mengawinkan si perempuan untuk si dia (laki-laki).” maka wali ghaib tersebut tidak bisa diterima kecuali dengan adanya saksi.

  1. Hasyiyah al-Syirwani[2]

وَفِيْهِ دَلاَلَةٌ إِلَى تَصْوِيْرِ الْمَسْأَلَةِ بِمَا إِذَا ادَّعَى الْوَلِيُّ أَنَّهُ زَوَّجَهَا فِي الْغَيْبَةِ قَبْلَ تَزْوِيْجِ الْحَاكِمِ وَقَضِيَّةُ ذَلِكَ أَنَّهُ لَوِ ادَّعَى تَزْوِيْجَهَا بَعْدَهُ فَلاَ أَثَرَ لَهُ. وَيَبْقَى مَا لَوِ ادَّعَى التَّزْوِيْجَ وَلَمْ يَتَبَيَّنْ أَنَّهُ قَبْلَهُ أَوْ بَعْدَهُ أَوْ عُلِمَ وُقُوْعُهُمَا مَعًا أَوْ عُلِمَ سَبْقُ أَحَدِهِمَا أَوْ لَمْ يَتَعَيَّنْ أَوْ تَعَيَّنَ ثُمَّ نَسِيَ فَهَلْ حُكْمُهُ إِلَى أَنْ قَالَ: فَإِنْ وَقَعَا مَعًا فَيَنْبَغِيْ تَقْدِيْمُ تَزْوِيْجِ الْوَلِيِّ.

Dan di situ (redaksi Syarh al-Raudh), terdapat petunjuk tashawwur al-masalah, yaitu ketika wali mengklaim bahwa saat bepergian dia telah menikahkan perempuan yang di bawah perwaliannya, sebelum pernikahan yang dilangsungkan dengan wali hakim. Dan konsekuensinya adalah bila wali tersebut mengklaim telah mengawinkannya sebelum akad nikah yang dilakukan hakim, maka klaim wali itu tidak berpengaruh apapun. Dan ada kasus yang tersisa, yaitu jika wali mengaku telah mengawinkan namun tidak jelas apakah sebelum atau sesudah perkawinan oleh hakim atau diketahui waktunya ternyata bersamaan atau salah satu dari keduanya lebih dahulu namun tidak dapat dipastikan, atau dapat dipastikan namun terlupakan ..., maka jika kedua perkawinan terjadi dalam waktu yang bersamaan, seyogyanya mendahulukan perkawinan yang dilakukan oleh wali.

[1]   Ibn Hajar al-Haitami, Tuhfah al-Muhtaj dalam Abdul Hamid al-Syirwani, Hasyiyah al-Syirwani, (Beirut: Dar al-Fikr, t. th.), Cet. I, Jilid VII, h. 303-304.

[2]   Abdul Hamid al-Syirwani, Hasyiyah al-Syirwani ‘ala Tuhfah al-Muhtaj, (Beirut: Dar al-Fikr, 1418H/1997 M), Cet. I, Jilid VII, h. 303-304.

Sumber: Ahkamul Fuqaha no. 41 KEPUTUSAN MUKTAMAR NAHDLATUL ULAMA KE-3 Di Surabaya Pada Tanggal 12 Rabiuts Tsani 1347 H. / 28 September 1928 M.