Hukum Membeli Buah-buahan di atas Pohon dalam Waktu yang Ditentukan

 
Hukum Membeli Buah-buahan di atas Pohon dalam Waktu yang Ditentukan

Membeli Buah-buahan di atas Pohon dalam Waktu yang Ditentukan

Pertanyaan :

Bagaimana hukumnya membeli buah-buahan di atas pohon (nebas) dalam waktu satu tahun, seperti buah jeruk dan sebagainya dengan ketentuan mengambilnya tiga kali?

Jawab : Pembelian tersebut hukumnya tidak sah karena terdapat sebagian buahnya yang belum masak. Keterangan, dalam kitab:

  1. Tuhfah al-Muhtaj[1]

(وَقَبْلَ بُدُوِّ الصَّلاَحِ) فِي الْكُلِّ إِنْ بِيْعَ الثَّمَرُ الَّذِيْ لَمْ يَبْدُ صَلاَحُهُ. وَإِنْ بَدَا صَلاَحُ غَيْرِهِ الْمُتَّحِدِ مَعَهُ نَوْعًا وَمَحَلاًّ (مُنْفَرِدًا عَنِ الشَّجَرِ) وَهُوَ عَلَى شَجَرَةٍ ثَابِتَةٍ (لاَ يَجُوْزُ) الْبَيْعُ  لِأَنَّ الْعَاهَةَ تُسْرِعُ إِلَيْهِ حِيْنَئِذٍ لِضَعْفِهِ فَيَفُوتُ بِتَلَفِهِ الثَّمَنُ بِغَيْرِ مُقَابِلٍ (إِلاَّ بِشَرْطِ الْقَطْعِ) لِلْكُلِّ حَالاً لِلْخَبَرِ الْمَذْكُوْرِ فَإِنَّهُ يَدُلُّ بِمَنْطُوْقِهِ عَلَى الْمَنْعِ مُطْلَقًا

(Dan menjual buah-buahan sebelum ada yang matang) dari keseluruhannya, jika buah yang belum matang tersebut dijual, walaupun buah yang lain yang sejenis dan setempat sudah matang (tanpa disertai pohonnya), dan buah-buahan tersebut masih di pohon yang hidup, (maka jual beli itu tidak boleh), karena saat belum matang hama -bisa saja- akan menyerangnya, karena lemahnya, maka dengan rusaknya buah, berarti uang pembayaran tersia-sia tanpa imbal balik, (kecuai dengan syarat memetik semuanya) seketika, berdasarkan hadits yang telah disebutkan. Sebab hadits tersebut dengan manthuq (redaksional)nya menunjukkan larangan jual beli seperti itu secara mutlak.

(وَلَوْ بِيْعَ ثَمَرٌ) أَوْ زَرْعٌ بَعْدَ بُدُوِّ الصَّلاَحِ وَهُوَ مِمَّا يَنْدُرُ اخْتِلاَطُهُ أَوْ يَتَسَاوَى فِيْهِ اْلأَمْرَانِ أَوْ يُجْهَلَ حَالَهُ صَحَّ بِشَرْطِ الْقَطْعِ وَاْلإِبْقَاءِ وَاْلإِطْلاَقِ أَوْ مِمَّا (يَغْلِبُ تَلَاحُقُهُ وَاخْتِلاَطُ حَادِثَةٍ بِالْمَوْجُوْدِ) بِحَيْثُ لاَ يُتَمَيَّزَانِ (كَتِيْنٍ وَقِثَّاءٍ) وَبِطِّيْخٍ (لَمْ يَصِحَّ إِلاَّ أَنْ يَشْتَرِطَ الْمُشْتَرِيْ) يَعْنِي أَحَدَ الْمُتَعَاقِدَيْنِ وَيُوَافِقُهُ اْلاَخَرُ (قَطْعَ ثَمَرِهِ) أَوْ زَرْعِهِ

(Seandainya dijual buah-buahan) atau tanaman yang sudah matang, dan termasuk buah-buahan atau tanaman yang jarang tercampur dengan yang lain, atau bisa tercampur dan tidak, atau tidak diketahui keadaannya, maka penjualannya sah dengan syarat dipetik, ditetapkan di pohon atau tanpa syarat apapun, sedangkan buah-buahan atau tanaman yang (biasanya matangnya beriringan, dan yang baru tercampur dengan yang sudah ada), sekira keduanya tidak dapat dibedakan), (seperti buah tir, ketimun), dan semangka, (maka penjualannya tidak sah, kecuali pembeli menyaratkan) maksudnya salah satu pihak yang bertransaksi dan pihak yang lain setuju, (pemetikan buah) atau tanamannya.

[1]   Ibn Hajar al-Haitami, Tuhfah al-Muhtaj bi Syarh al-Minhaj pada Hamisy Abdul Hamid al-Syirwani, Hasyiyah al-Syirwani, (Mesir: Musthafa Muhammad, t. th.), Jilid IV, h. 461 dan 469.

 

Sumber: Ahkamul Fuqaha no.84

KEPUTUSAN MUKTAMAR NAHDLATUL ULAMA KE-4

Di Semarang Pada Tanggal 14 Rabiuts Tsani 1348 H. / 19 September 1929 M.