Apakah Darah Nyamuk Yang Menempel Di Pakaian Termasuk Najis Mutawassitah

 
Apakah Darah Nyamuk Yang Menempel Di Pakaian Termasuk Najis Mutawassitah
Sumber Gambar: Foto oleh icon0.com dari Pexels

Laduni.ID, Jakarta -  Najis kerap menjadi perbincangan umat muslim dalam masalah bersuci, karena najis berkaitan dengan ketidaksahan salat. Salat sambil memakai pakaian yang ada najisnya itu tidak sah. Namun bagaimana bila sedang salat, kemudian kita menepuk nyamuk yang berdarah dan mengenai pakaian kita.

Hukum salat menggunakan pakaian yang terkena darah nyamuk maupun kutu itu ada dua pendapat, ada yang mengatakan sah dan ada yang mengatakan tidak sah. Akan tetapi, kebanyakan ulama berpendapat sah dengan catatan darahnya sedikit.

Adapun ukuran banyak atau sedikitnya para ulama tidak ada yang memastikannya, melainkan hanya menggunakan ‘urf atau diserahkan sepenuhnya terhadap penilaian  masyarakat.

Terlepas dari itu, bangkai dari nyamuk ataupun kutu yang terbunuh hukumnya tetap najis, sehingga apabila kita salat dan membawa bangkai tersebut, maka salat kita tidak akan sah, sebagaimana disebutkan oleh syaikh Zainuddin al-Malaibari dalam karyanya  Kitab Fathul mu’in.

و يعفي عن دم نحو برغوث مما لا نفسا له سائلة كبعوض و قمل لا عن جلده

“Dimaafkan darah dari kutu, yaitu hewan-hewan yang tidak ada darah yang mengalir, seperti nyamuk dan kutu, (tapi tidak dimaafkan) pada kulitnya”.

Baca Juga: 0238. Hukum Mendaur Ulang Air Mutanajjis

Dalam hal ini para ulama berselisih pendapat, menurut Imam Mutawalli dimaafkan, tetapi menurut Imam lainnya tidak dimaafkan.

Keterangan, dari kitab:

  1. I’anah al-Thalibin

وَاخْتَلَفَ فِيْمَا لَوْ لَبِسَ ثَوْبًا فِيْهِ دَمُ بَرَاغِيْثَ وَبَدَنُهُ رَطْبٌ فَقَالَ الْمُتَوَالِيُّ يَجُوْزُ وَقَالَ الشَّيْخُ أَبُوْ عَلِيٍّ لاَ يَجُوْزُ  لِأَنَّهُ لاَ ضَرُوْرَةَ إِلَى تَلْوِيْثِ بَدَنِهِ وَبِهِ جَزَمَ الْمُحِبُّ الطَّبَرِيّ تَفَقُّهًا.

Para ulama berbeda pandapat tentang memakai baju yang terkena darah nyamuk, sementara badannya basah. Al-Mutawalli berkata: “Boleh.”, dan  Syaikh Abu Ali berkata: “Tidak boleh, karena tidak ada kondisi darurat untuk mengotori badannya.” Dan dengan pendapat ini al-Muhib al-Thabari mantap dengan kajiannya.

Al-Bakri Muhammad Syatha al-Dimyathi,kitab I’anah al-Thalibin,  Jilid I, h. 110.

Darah nyamuk di kalangan madzhab Syafi’i disepakati Najis, tapi ma’fu (dimaafkan), supaya tidak memberatkan jika harus di cuci. Dan juga susah menghindari nyamuk tersebut, padahal Alloh berfirman;

                                                                                                                                                                                                     وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ

“Dan Alloh tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan” (Q.S. Al-Hajj : 78)
Dalam Nihayah dijelaskan:

لعفو عنهما؛ لأن الغالب في هذا الجنس عسر الاحتراز فيلحق غير الغالب منه بالغالب، كالمسافر يترخص، وإن لم تنله مشقة لا سيما والتمييز بين القليل والكثير كما يوجب المشقة لكثرة البلوى به ولهذا رجحه فقال (قلت: الأصح عند المحققين العفو مطلقا، والله أعلم) قليلا أم كثيرا انتشر بعرق أم لا تفاحش، وغلب على الثوب أم لا

Menurut Ibnu Suraij, Abu Ishaq dan mayoritas ulama’ madzhab syafi’i, darah yang banyak dari jenis binatang tersebut tetap dima’fu (tidak usah disucikan). Alasannya pada umumnya darah dari jenis hewan-hewan tersebut sulit dihindari, jadi meskipun banyak tetap dima’fu, sama dengan diperbolehkannya sholat jama’ atau qoshor bagi orang yang bepergian, meskipun terkadang ia tidak merasakan kepayahan (masyaqot), karena memandang pada umumnya, bahwa orang yang bepergian pada jarak yang tersebut, merasa kepayahan.

Karena itulah, menurut Imam Nawawi pendapat yang lebih shohih (ashoh) adalah darah dari jenis hewan-hewan tersebut dihukumi najis ma’fu secara mutlak, baik sebikit ataupun banyak, meskipun sampai merata pada bagian tubuh atau baju, karena terkena keringat semisal.
(Nihayatul Muhtaj, Juz : 2  Hal : 29-31)

Dan senada dengan ulama Hanabilah, cuman kelompok ini menganggap tidak najis secara mutlaq, sebab darahnya tidak mengalir;

Ibnu Qudamah – ulama Madzhab Hanbali mengatakan:

  مَا لَا نَفْسَ لَهُ سَائِلَةٌ ، فَهُوَ طَاهِرٌ بِجَمِيعِ أَجْزَائِهِ وَفَضَلَاتِهِ

                        
“Binatang yang tidak memiliki darah merah mengalir, dia suci, sekaligus semua bagian tubuhnya, dan yang keluar dari tubuhnya.” (al-Mughni, 3:252)

Darah segala bentuk macam darah termasuk najis, kecuali darah yang sedikit seperti darah nyamuk yang menempel pada badan atau pakaian maka hal itu dapat termaafkan.
Sehingga, dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa, jika saat shalat mengetahui ada darah menempel pada pakaian, jika jumlahnya sedikit itu dimaafkan. Sedangkan jika jumlahnya banyak, hukumnya sama dengan hukum asli darah, najis. Dan shalat harus diulang. Wallahu a’lam

Baca Juga: 0239. Hukum Air yang Keluar Sebelum Melahirkan

Sumber: Ahkamul Fuqaha no. 205 Keputusan Mukhtamar Nahdlatul Ulama  ke-12 di Malang Pada Tanggal 12 Rabiul Tsani 1356 H. / 25 Maret 1937 M.

Catatan: Tulisan ini terbit pertama kali pada tanggal 21 Juli 2021. Tim Redaksi mengunggah ulang dengan melakukan penyuntingan