Hukum Membaca Manaqib Syaikh Abdul Qodir Al-Jailani

 
Hukum Membaca Manaqib Syaikh Abdul Qodir Al-Jailani
Sumber Gambar: Istimewa, Ilustrasi: laduni.ID

Laduni.ID, Jakarta - Salah satu tradisi kaum Nahdliyin adalah membaca Maulid Nabi Muhammad SAW. Tradisi Maulid ini belakangan semakin semarak dan juga dilaksanakan di pelosok desa sampai di kota-kota besar, tidak hanya oleh kaum Nahdliyin, secara umum juga dilaksanakan oleh umat Islam di Indonesia, bahkan di dunia. Apalagi kalau disertai dengan kehadiran para habaib atau dzurriyah Nabi Muhammad SAW.

Dendang sholawat dalam acara Maulid itu dirasa sangat menenteramkan. Karena itulah tradisi ini semakin ramai dan digandrungi oleh banyak umat Islam, dari kalangan anak kecil, anak muda, sampai orang dewasa, semuanya berbaur bersama dalam menyemarakkan acara maulid, memperingati kelahiran makhluk paling mulia di dunia dan akhirat, Nabi Muhammad SAW.

Selain tradisi membaca Maulid Nabi Muhammad SAW, ada tradisi lain yang mirip pelaksanaannya, yakni tradisi membaca manaqib Syaikh Abdul Qodir Al-Jailani. Tradisi ini disebut juga dengan acara ‘manaqiban’. Biasanya tradisi manaqiban dilakukan ketika ada suatu hajat yang mendesak, karena konon dengan keberkahan membaca manaqib, akan dimudahkan oleh Allah segala hajatnya melalui perantara keberkahan Syaikh Abdul Qodir Al-Jailani.

Banyak pesantren Nahdliyin yang juga menjadikan tradisi manaqiban sebagai kegiatan rutinan setiap minggu sekali, yakni dibaca malam jumat.

Manaqiban yang dimaksud itu sebenarnya adalah seperti halnya membaca sirah atau sejarah perjalanan seorang tokoh besar yang dekat kepada Allah, kharismatik dan penuh karomah. Dengan membaca itu, maka akan timbul rasa cinta kepada orang sholeh dan berkah kecintaan itulah Allah akan menurunkan rahmat-Nya. Dengan demikian tradisi ini menjadi suatu hal yang memang sangat dianjurkan oleh agama.

Namun meski demikian adanya, tidak sedikit orang yang mencibir tradisi manaqiban. Bisa jadi karena ketidaktahuannya terkait dengan tradisi ini, atau memang sinis pada tradisi-tradisi yang tidak ada di zaman Nabi. Toh, yang paling utama adalah membaca Al-Quran, yang jelas dapat pahala meski tidak memahami kandungannya. Begitu kira-kira aggapannya.

Bagaimanapun, meski banyak orang yang masih tidak menerima tradisi manaqiban, tapi pada saat yang sama tradisi ini semakin banyak dilakukan oleh khususnya kaum Nahdliyin yang masuk dalam kegiatan Thoriqah Qodiriyah dan secara umum kaum Nahdliyyin, baik dari pesantren maupun tidak.

Tradisi manaqiban, di dalam praktiknya adalah dengan mengundang tetangga atau jamaah setempat atau keluarga sendiri untuk secara bergantian membaca Kitab Manaqib Lujainud Dani, lalu dilanjutkan qosidah dan doa. Kemudian setelah selesai dilanjutkan dengan ramah tamah dan makan bersama, biasanya disediakan ingkung ayam jantan kampung utuh yang telah dimasak, dan lain-lain.

Jika praktiknya demikian, bukankah tradisi manaqiban atau membaca manaqib Syaikh Abdul Qodir Al-Jailani atau para wali lain itu adalah baik. Bukankah dengan membaca manaqib itu dapat mendatangkan kecintaan terhadap para wali, para orang sholeh, dan orang-orang yang dekat kepada Allah SWT, sebagaimana dianjurkan oleh agama.

Selain itu, jika tradisi ini dipandang sinis karena mengundang banyak orang hanya sekadar untuk makan, maka bukankah memberi makanan itu hukumnya disunnahkan, dan demikian pula hukum dalam memuliakan tamu.

Nabi SAW bersabda:

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلَا يُؤْذِ جَارَهُ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ

“Barangsiapa beriman kepada Allah dan Hari Akhir, maka janganlah menyakiti tetangganya, dan barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, maka muliakanlah tamunya, dan barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, maka berkata baiklah atau jika tidak bisa maka diamlah.” (HR. Bukhari)

Terkait dengan tradisi manaqiban ini atau tradisi membaca riwayah hidup para wali atau orang-orang sholeh, Habib Alawi Al-Haddad menjelaskan di dalam Kitab Misbahul Anam wa Jala’ud Dhulam sebagaimana berikut:

اِعْلَمْ يَنْبَغِي لِكُلِّ مُسْلِمٍ طَالِبِ الْفَضْلِ وَالْخَيْرَاتِ أَنْ يَلْتَمِسَ الْبَرَكَاتِ وَالنَّفَحَاتِ وَاسْتِجَابَةَ الدُّعَاءِ وَنُزُوْلَ الرَّحْمَاتِ فِيْ حَضَرَاتِ اْلأَوْلِيَآءِ فِيْ مَجَالِسِهِمْ وَجَمْعِهِمْ أَحْيَاءً وَأَمْوَاتًا وَعِنْدَ قُبُوْرِهِمْ وَحَالَ ذِكْرِهِمْ وَعِنْدَ كَثْرَةِ الْجُمُوْعِ فِيْ زِيَارَاتِهِمْ وَعِنْدَ مُذَاكَرَاتِ فَضْلِهِمْ وَنَشْرِ مَنَاقِبِهِمْ.

“Ketahuilah! Seyogyanya bagi setiap muslim yang mencari keutamaan dan kebaikan, agar ia mencari berkah dan anugrah, terkabulnya doa dan turunnya rahmat di depan para wali, di majelis-majelis dan kumpulan mereka, baik yang masih hidup ataupun sudah mati, di kuburan mereka, ketika mengingat mereka, dan ketika banyak orang berkumpul dalam berziarah kepada mereka, serta ketika mengingat keutamaan mereka, dan pembacaan riwayat hidup mereka.”

Tradisi manaqiban merupakan kebiasaan yang baik di dalam semua praktiknya. Mulai dari membaca sejarah seorang wali atau orang sholeh dengan kebaikan-kebaikan dan karomahnya, doa, sholawat, memuliakan dan menjamu tamu dengan makanan. Tidak ada praktik nyeleneh sama sekali, selain mungkin dianggap meminta pertolongan kepada shohibul manaqib, Syaikh Abdul Qodir Al-Jailani. Padahal anggapan ini sama sekali terpatahkan dengan doa yang dipanjatkan di dalamnya, yakni hanya berdoa kepada Allah SWT, dengan perantara berkah kedekatan wali atau orang sholeh kepada Allah yang dibaca manaqibnya tersebut. Bahkan, mestinya dipahami dengan baik bahwa tradisi ini sangat baik dan dianjurkan agama sebagaimana yang disampaikan oleh Habib Alawi Al-Haddad. []


Catatan: Tulisan ini telah terbit pada tanggal 24 Agustus 2018. Tim Redaksi mengunggah ulang dengan melakukan penyuntingan dan penyelarasan bahasa.

___________

Editor: Hakim