Inilah Penjelasan Hukum Memimjam Uang dari Koperasi

 
Inilah Penjelasan Hukum Memimjam Uang dari Koperasi

Pinjam dari Koperasi

Pertanyaan :

Bagaimana hukumnya pinjam dari koperasi?.

Jawab :

Bahwa pinjam dari koperasi atau lainnya, apabila dijanjikan memberi bunga (rente) dan janjinya itu dalam akad atau sesudah akad tetapi sebelum ada ketetapan pinjam, maka hukumnya haram dengan kesepakatan (mufakat) para ulama; karena itu termasuk pinjaman dengan menarik keuntungan, tetapi kalau tidak dengan perjanjian bicara atau tulisan, maka hukumnya boleh dengan tidak selisih antara para ulama, kalau dengan perjanjian dengan tulisan zonder dibaca, atau tentang bunga itu telah menjadi kebiasaan, walaupun tidak dijanjikan, maka hukumnya ada dua pendapat yaitu haram, yang kedua boleh.

Keterangan, dari kitab:

  1. I’anah al-Thalibin [1]

وَمِنْ رِبَا الْفَضْلِ رِبَا الْقَرْضِ وَهُوَ كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ نَفْعًا لِلْمُقْرِضِ غَيْرِ نَحْوِ رَهْنٍ لَكِنْ لاَ يَحْرُمُ عِنْدَنَا إِلاَّ إِذَا اشْتُرِطَ فِيْ عَقْدِهِ .

Dan di antara riba al fadhl adalah riba al qardh, yakni semua pinjaman yang memberikan manfaat kepada si peminjam, kecuali seperti gadai. Menurut kita, yang demikian itu tidak haram kecuali disyaratkan dalam akad menghutangi.

  1. Tuhfah al-Muhtaj [2]

وَالْحَاصِلُ أَنَّ كُلَّ شَرْطِ مُنَافِ لِمُقْتَضَى الْعَقْدِ إِنَّمَا يَبْطُلُ إِنْ وَقَعَ فِيْ صُلْبِ الْعَقْدِ أَوْ بَعْدَهُ وَقَبْلَ لُزُوْمِهِ لاَ إِنْ تَقَدَّمَ عَلَيْهِ وَلَوْ فِيْ مَجْلِسِهِ.

Dan kesimpulannya adalah, semua syarat yang menafikan konsekuensi akad akan membatalkannya jika terjadi dalam akad atau sesudahnya dan sebelum luzum(tetap)nya. Bukan bila mendahului akad, walaupun di majlisnya.

  1. Fathul Mu’in dan I’anah al-Thalibin [3]

وَجَازَ لِمُقْرِضٍ نَفْعٌ يَصِلُ لَهُ مِنْ مُقْتَرِضٍ كَرَدِّ الزَّائِدِ قَدْرًا أَوْ صِفَةً وَاْلأَجْوَدِ فِي الرَّدِئِ بِلاَ شَرْطٍ فِي الْعَقْدِ بَلْ يُسَنُّ ذَلِكَ لِمُقْتَرِضٍ لِقَوْلِه r: إِنَّ خِيَارَكُمْ أَحْسَنُكُمْ قَضَاءً. وَأَمَّا الْقَرْضُ بِشَرْطِ جَرِّ نَفْعٍ لِمُقْرِضٍ فَفَاسِدٌ لِخَبَرِ كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ مَنْفَعَةً فَهُوَ رِبًا، وَمِنْهُ الْقَرْضُ لِمَنْ يَسْتَأْجِرُ مِلْكَهُ أَيْ مَثَلاً بِأَكْثَرَ مِنْ قِيْمَتِهِ  لِأَجْلِ الْقَرْضِ إِنْ وَقَعَ ذَلِكَ شَرْطًا إِذْ هُوَ حِيْنَئِذٍ حَرَامٌ اِجْمَاعًا وَإِلاَّ كُرِهَ عِنْدَنَا وَحُرِمَ عِنْدَ كَثِيْرٍ مِنَ الْعُلَمآءِ. (قَوْلُهُ فَفَاسِدٌ) قَالَ ع ش وَمَعْلُوْمُ أَنَّ مَحَلَّ الْفَسَادِ حَيْثُ وَقَعَ الشَّرْطُ فِيْ صُلْبِ الْعَقْدِ. أَمَّا لَوْ تَوَافَقَا عَلَى ذَلِكَ وَلَمْ يَقَعْ شَرْطٌ فِي الْعَقْدِ فَلاَ فَسَادَ.

Diperkenankan bagi kreditur untuk memperoleh manfaat yang diberikan debitur seperti pengembalian pinjaman yang lebih baik ukuran atau sifatnya, yang lebih bagus dari barang yang dipinjamkan yang tidak disyaratkan dalam akad, bahkan yang demikian itu disunatkan bagi debitur karena sabda Rasul Saw.: “Sebaik-baiknya kalian adalah yang paling baik dalam membayar hutangnya.” Sedangkan pinjaman yang disertai syarat keuntungan bagi pihak yang meminjami, maka merupakan akad fasid (rusak) karena hadits: “Semua utang yang menarik keuntungan adalah riba.” Termasuk kategori ini adalah misalnya menghutangi orang yang menyewa hartanya dengan harga lebih karena hutang tersebut, jika persewaan itu menjadi syarat menghutangi, karena dalam kondisi seperti tersebut penghutangan itu haram secara ijma’. Bila tidak menjadi syarat, maka menurut kita hukumnya makruh dan menurut ulama banyak hukumnya haram. (Ungkapan Syaikh Zainuddin al-Malibari: “Maka merupakan akad fasid.”) Ali Syibramallisi berkata: “Dan telah maklum, fasidnya akad tersebut bila penyaratan menyewa dengan harga lebih itu terjadi dalam pelaksanaan akad menghutangi. Bila kedua pihak menyepakati sewa dengan harga lebih itu dan tidak menjadi syarat dalam akad penghutangan, maka akad hutang tidak rusak. 4. Bughyah al-Mustarsyidin

[4] (مَسْأَلَةُ ب) مَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ أَنَّ مُجَرَّدَ الْكِتَابَةِ فِيْ سَآئِرِ العُقُوْدِ وَاْلأِخْبَارَاتِ وَاْلإِنْشَاءَآتِ لَيْسَ بِحُجَّةٍ شَرْعِيَّةٍ.

Menurut madzhab Syafi’i, bahwa sekedar tulisan di semua transaksi, beberapa pemberitahuan dan pengajuan bukan hujjah syar’i (dalil syara’).

  1. Al-Asybah wa al-Nazha’ir [5]

الْعَادَةُ الْمُطَّرِدَةُ فِيْ نَاحِيَةٍ هَلْ تُنْزَلُ عَادَتُهُمْ مَنْزِلَةَ الشَّرْطِ فِيْهِ صُوَرٌ ... وَمِنْهَا لَوْ جَرَتْ عَادَةُ الْمُقْتَرِضِ بِرَدٍّ أَزْيَدَ مِمَّا اقْتَرَضَ فَهَلْ يُنْزَلُ مَنْزِلَةَ الشَّرْطِ فَيَحْرُمُ إِقْرَاضُهُ وَجْهَانِ أَصَحَّهُمَا لاَ. Adat yang berlaku di suatu daerah, apakah adat mereka diposisikan sebagaimana syarat, dalam kaidah ini ada beberapa kasus. … Di antaranya, seandainya berlaku adat yang mengharuskan peminjam mengembalikan barang yang lebih baik dari yang dipinjamnya. Maka apakah adat itu diposisikan sebagaimana syarat, sehingga hukum menghutanginya haram? Dalam kasus ini ada dua pendapat, yang lebih sahih adalah tidak diposisikan sebagaimana syarat.

[1] Al-Bakri Muhammad Syatha al-Dimyathi, I’anah al-Thalibin, (Beirut: Dar al-Fikr, 1418 H/1997 M), Jilid III, h. 26.

[2] Ibn Hajar al-Haitami, Tuhfah al-Muhtaj bi Syarah Minhaj al-Thalibin pada Hasyiyah al-Syirwani, (Mesir: at-Tijariyah al-Kubra, t. th.), Jilid IV, h. 296.

[3] Zainuddin al-Malibari dan al-Bakri Muhammad Syatha al-Dimyathi, Fath al-Mu’in dan I’anah al-Thalibin, (Beirut: Dar al-Fikr, 1418 H/1997 M), Jilid III, h. 64-66.

[4] Abdurrahman Ba’alawi, Bughyah al-Mustarsyidin, (Pekalongan: Syirkah Nur Asia, t. Th), h. 186.

[5] Jalaluddin al-Suyuthi, al-Asybah wa al-Nazha’ir, (Beirut: Dar al-Fikr, t. th.), h. 67.

Sumber: Ahkamul Fuqaha no.249 KEPUTUSAN MUKTAMAR NAHDLATUL ULAMA KE-14 Di Magelang Pada Tanggal 14 Jumadil Ulaa 1358 H. / 1 Juli 1939 M.