Pendapat tentang Hak Milik Anak Tertua

 
Pendapat tentang Hak Milik Anak Tertua

Mengkhususkan Hak Milik untuk Anaknya Tertua

Pertanyaan :

Bagaimana pendapat Anda, ayyuhal mu’tamirun, tentang seorang berumah tangga yang menentukan hak miliknya seperti ladang dan lain-lain untuk putra-putrinya yang terbesar. Apabila meninggal dunia salah satu dari suami istri, atau meninggal keduanya, maka dengan sendirinya dimiliki putra putri yang terbesar, bukan ahli waris lainnya, dengan tidak ada wasiat atau pemberian lagi, kemudian apabila putra putri itu meninggal maka menjadi hak milik putra putrinya yang terbesar pula, begitu seterusnya sampai ada tiga/empat keturunan. Apakah halal bagi putra putri terbesar itu memilikinya dengan adat yang telah berlaku itu?, Atau tidak sehingga harus dibagi para ahli waris?.

Jawab :

Bahwa barang model itu tidak boleh dimiliki putra putri terbesar itu dengan cara demikian, tetapi harus dibagi oleh para ahli waris menurut yang ditetapkan agama, itu tidak boleh dilakukan, dan pula tidak boleh dilaksanakan kecuali kalau semua ahli waris yang dewasa dapat mengizinkan pelaksanaan itu, pula kalau dianggap itu pemberian orang tua, syarat-syarat pemberian yang ditentukan.

Keterangan, dari kitab:

  1. Fath al-Muin [1]

(الْهِبَةُ تَمْلِيْكُ عَيْنٍ) ... (بِلاَ عِوَضٍ) ... (بِإِيْجَابٍ كَوَهَبْتُكَ) هَذَا ... (وَقَبُوْلٍ) مُتَّصِلٍ بِهِ (كَقَبِلْتُكَ) أَوْ رَضِيْتُ ... (وَتَلْزَمُ) ... (بِقَبْضٍ) ... وَيُكْرَهُ لِأَصْلٍ تَفْضِيْلٌ فِيْ عَطِيَةِ فُرُوْعٍ وَإِنْ سَفَلُوْا وَلَوِ اْلأَحْفَادَ مَعَ وُجُوْدِ اْلأَوْلاَدِ .

Hibah adalah memberikan hak milik sesuatu tanpa pengganti, dengan lafal ijab (penyerahan) seperti: “Aku memberikan ini kepadamu”. Dan lafal qabul (penerimaan) secara langsung seperti: “Aku terima darimu atau aku rela.” Hibah menjadi terlaksana dengan menerima barang yang dihibahkan. Dikatakan juga, makruh bagi orang tua pilih kasih dalam pemberian kepada anak, walaupun ke bawah atau cucu dengan adanya anak.

[1] Zainuddin al-Malibari, Fath al-Mu’in pada I’anah al-Thalibin, (Singapura: Sulaiman Mar’i, t.th.), Jilid III, h. 142, 147 dan 153.

Sumber: Ahkamul Fuqaha no.257 KEPUTUSAN MUKTAMAR NAHDLATUL ULAMA KE-14 Di Magelang Pada Tanggal 14 Jumadil Ulaa 1358 H. / 1 Juli 1939 M.