Pertengkaran Antara Suami dan Istri yang Tidak Bisa Didamaikan

 
Pertengkaran Antara Suami dan Istri yang Tidak Bisa Didamaikan

Percekcokan Suami Istri Tidak Bisa Didamaikan, Bisa Dianggap Syiqaq

Pertanyaan :

Bagaimana pendapat ayyuhal muktamirun dalam masalah seorang istri yang murka dan benci pada suaminya karena si lelaki orang yang kurang baik ucapannya, kadang-kadang bisa menjadikan bercekcok di antaranya, telah beberapa kali didamaikan tetapi tidak berhasil. Apakah demikian itu dapat dianggap syiqaq?, Sehingga hakim dapat memberikan hukum syiqaq ataukah tidak?. Demikian itu ialah nyatanya syiqaq, maka berlakulah hukum syiqaq atas kedua suami istri yang tersebut dalam soal, dan bisa diadakan hakamain.

Keterangan, dari kitab:

  1. Syarh al-Mahali [1]

(وَلَوِاشْتَدَّ الشِّقَاقُ) أَيْ الْخِلاَفُ بَيْنَهُمَا بِأَنْ دَامَا عَلَى التِّسَابِ وَالتَّضَارُبِ إِلَى أَنْ قَالَ وَهَلْ بَعْثُهُ وَاجِبٌ أَوْمُسْتَحَبٌّ وَجْهَانِ صَحَّحَ فِي الرَّوْضَةِ وُجُوْبَهُ لِظَاهِرِ اْلأَمْرِ فِي اْلآيَةِ .

Jika pertengkaran sudah amat sengit antara suami istri, dimana keduanya terus menerus saling mencaci dan memukul ... Apakah mengirim juru damai itu wajib atau sunnah? Ada dua pendapat. Dalam al-Raudhah al-Nawawi membenarkan yang wajib sesuai makna lahir perintah dalam al-Qur’an.

  1. 2. Syarh al-Tahrir [2]

(فَإِنْ ادَّعَى كُلٌّ) مِنَ الزَّوْجَيْنِ (تَعَدَّى اْلآخَرِ) عَلَيْهِ (وَاشْتَبَهَ) الْحَالُ (بَعَثَ الْقَاضِي وُجُوْبًا حَكَمَيْنِ بِرِضَاهُمَا) لِيَنْظُرَا فِيْ أَمْرِهِمَا بَعْدَ اخْتِلاَءِ حَكَمِهِ بِهِ وَحَكَمِهَا بِهَا وَمَعْرِفَةِ مَا عِنْدَهُمَا فِيْ ذَلِكَ ثُمَّ (يَفْعَلاَنِ الْمَصْلَحَةَ) بَيْنَهُمَا (مِنْ إِصْلاَحٍ وَتَفْرِيْقٍ) قَالَ تَعَالَى فَإِنْ خِفْتُمْ شِقَاقَ بَيْنِهُمَا فَابْعَثُوْا حَكَمًا مِنْ أَهْلِهِ وَحَكَمًا مِنْ أَهْلِهَا الآية

Jika masing-masing dari suami istri saling menuduh kesalahan pihak lain padanya, sementara kondisinya samar, maka hakim wajib mengutus dua hakam (orang yang dipercaya untuk mengambil keputusan) dengan persetujuan pihak suami dan istri, agar mempertimbangan hubungan suami istri itu setelah hakam pihak suami bertemu secara empat mata dengan suami dan hakam pihak istri bertemu secara empat mata dengan istri dan diketahui sumber permasalahannya. Kemudian kedua hakam itu mengambil keputusan yang maslahat untuk suami istri tersebut, dari damai dan cerai. Allah Swt. berfirman: “Dan jika kamu khawatir ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan hakam dari keluarga perempuan...” (al-Nisa’: 35)

[1] Jalaluddin al-Mahalli, Syarh Minhaj al-Thalibin pada Hasyiyata al-Qulyubi wa Umairah, (Beirut: Dar al-Fikr, 1415 H/1995 M), Jilid III, h. 307.

[2] Zakariya al-Anshari, Syarh al-Tahrir pada Hasyiyah al-Syarqawi ‘ala al-Tahrir, (Mesir: Dar al-Kutub al-Arabiyah, t. th.), Jilid II, h. 273-274.

Sumber: Ahkamul Fuqaha no.261 KEPUTUSAN MUKTAMAR NAHDLATUL ULAMA KE-15 Di Surabaya Pada Tanggal 10 Dzulhijjah 1359 H. / 9 Pebruari 1940 M.