Beginilah Penjelasan Hukum tentang Bunga yang Dipungut dari Bank atau Pegadaian

 
Beginilah Penjelasan Hukum tentang Bunga yang Dipungut dari Bank atau Pegadaian

Peninjauan Kembali Hukum Bank dan Gadai

Pertanyaan :

Mohon ditinjau kembali sekitar masalah bank dan gadai yang sudah diputuskan: a. Bagaimana hukumnya bank dan segala bentuk dan macamnya?. b. Uang rente/bunga yang dipungut oleh bank pegadaian dan lain sebagainya dari orang yang mengebankkan itu, bagaimana hukumnya?. c. Apakah hukumnya seperti NV, CV, Firma dan sebagainya yang mengambil uang bank dengan ditentukan membayar bunganya kepada bank. Dan kalau tidak mau membayarnya tidak diberinya hutang. Apakah hal yang sedemikian itu telah sampai ke batas dharurat yang memperbolehkan mahzhurat?. Dan apakah tulis menulis dalam perjanjian itu sama dengan lafal?. d. Bagaimana hukumnya lotre dengan segala macamnya?.

Jawab :

Mengenai a, b ialah seperti jawaban Muktamar NU ke 2 di Surabaya, Muktamar NU ke 12 di Malang, Muktamar NU ke 14 di Magelang, dan Muktamar NU ke 17 di Madiun, tentang masalah gadai, kredit, koperasi dan bank. Sedang masalah c, tidak termasuk kaidah dharurat tersebut di atas. Dan jawaban itu terdapat tiga paham, yaitu: Pertama paham haram, kedua paham halal, dan ketiga paham syubhat. Maka Muktamar berpendapat bahwa al-ahwath (berhati-hati) adalah paham haram.

Keterangan, dalam kitab:

  • I’anah al-Thalibin [1]

وَمِنْ رِبَا الْفَضْلِ رِبَا الْقَرْضِ وَهُوَ كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ نَفْعًا لِلْمُقْرِضِ غَيْرِ نَحْوِ رَهْنٍ لَكِنْ لاَ يَحْرُمُ عِنْدَنَا إِلاَّ إِذَا اشْتُرِطَ فِيْ عَقْدِهِ .

Dan di antara riba al fadhl adalah riba al-qardh yakni semua utang yang memberikan manfaat kepada si penghutang, kecuali selain dalam bentuk gadai. Menurut kita, yang demikian itu tidak haram kecuali disyaratkan dalam akad.

  1. Tuhfatul Muhtaj [2]

وَالْحَاصِلُ أَنَّ كُلَّ شَرْطٍ مُنَافٍ لِمُقْتَضَى الْعَقْدِ إِنَّمَا يَبْطُلُ إِنْ وَقَعَ فِيْ صُلْبِ الْعَقْدِ أَوْ بَعْدَهُ وَقَبْلَ لُزُوْمِهِ لاَ إِنْ تَقَدَّمَ عَلَيْهِ وَلَوْ فِيْ مَجْلِسِهِ.

Kesimpulannya adalah, semua syarat yang bertentangan dengan tuntutan aqad akan batal hanya jika terjadi pada saat pelaksanaan aqad atau sesudahnya, dan bukan sebelum aqad walaupun di tempat pelaksanaannya.

  1. Fathul Mu’in dan I’anah al-Thalibin [3]

وَجَازَ لِمُقْرِضٍ نَفْعٌ يَصِلُ لَهُ مِنْ مُقْتَرِضٍ كَرَدِّ الزَّائِدِ قَدْرًا أَوْ صِفَةً وَاْلأَجْوَدِ فِي الرَّدِئِ بِلاَ شَرْطٍ فِي الْعَقْدِ بَلْ يُسَنُّ ذَلِكَ لِمُقْتَرِضٍ لِقَوْلِه r: إِنَّ خِيَارَكُمْ أَحْسَنُكُمْ قَضَاءً. وَأَمَّا الْقَرْضُ بِشَرْطِ جَرِّ نَفْعٍ لِمُقْرِضٍ فَفَاسِدٌ لِخَبَرِ كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ مَنْفَعَةً فَهُوَ رِبًا، وَمِنْهُ الْقَرْضُ لِمَنْ يَسْتَأْجِرُ مِلْكَهُ أَيْ مَثَلاً بِأَكْثَرَ مِنْ قِيْمَتِهِ  لِأَجْلِ الْقَرْضِ إِنْ وَقَعَ ذَلِكَ شَرْطًا إِذْ هُوَ حِيْنَئِذٍ حَرَامٌ اِجْمَاعًا وَإِلاَّ كُرِهَ عِنْدَنَا وَحُرِمَ عِنْدَ كَثِيْرٍ مِنَ الْعُلَمآءِ. (قَوْلُهُ فَفَاسِدٌ) قَالَ ع ش وَمَعْلُوْمُ أَنَّ مَحَلَّ الْفَسَادِ حَيْثُ وَقَعَ الشَّرْطُ فِيْ صُلْبِ الْعَقْدِ. أَمَّا لَوْ تَوَافَقَا عَلَى ذَلِكَ وَلَمْ يَقَعْ شَرْطٌ فِي الْعَقْدِ فَلاَ فَسَادَ.

Diperkenankan bagi kreditur untuk memperoleh manfaat yang diberikan debitur seperti pengembalian pinjaman yang lebih baik ukuran atau sifatnya, yang lebih bagus dari barang yang dipinjamkan yang tidak disyaratkan dalam akad, bahkan yang demikian itu disunatkan bagi debitur karena sabda Rasul Saw.: “Sebaik-baiknya kalian adalah yang paling baik dalam membayar hutangnya.” Sedangkan pinjaman yang disertai syarat keuntungan bagi pihak yang meminjami, maka merupakan akad fasid (rusak) karena hadits: “Semua utang yang menarik keuntungan adalah riba.” Termasuk kategori ini adalah misalnya menghutangi orang yang menyewa hartanya dengan harga lebih karena hutang tersebut, jika persewaan itu menjadi syarat menghutangi, karena dalam kondisi seperti tersebut penghutangan itu haram secara ijma’. Bila tidak menjadi syarat, maka menurut kita hukumnya makruh dan menurut ulama banyak hukumnya haram. (Ungkapan Syaikh Zainuddin al-Malibari: “Maka merupakan akad fasid.”) Ali Syibramallisi berkata: “Dan telah maklum, fasidnya akad tersebut bila penyaratan menyewa dengan harga lebih itu terjadi dalam pelaksanaan akad menghutangi. Bila kedua pihak menyepakati sewa dengan harga lebih itu dan tidak menjadi syarat dalam akad penghutangan, maka akad hutang tidak rusak.

  1. Bughyatul Mustarsyidin [4]

(مَسْأَلَةُ ب) مَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ أَنَّ مُجَرَّدَ الْكِتَابَةِ فِيْ سَآئِرِ العُقُوْدِ وَاْلإِخْبَارَاتِ وَاْلإِنْشَاءَآتِ لَيْسَ بِحُجَّةٍ شَرْعِيَّةٍ.

(Fatwa masalah dari Abdullah bin al-Husain bin Abdullah Bafaqih). Mazhab Syafi’i menyatakan, bahwa sekedar tulisan dalam semua transaksi, ikhbar (pemberitahuan) dan pengajuan bukan hujjah syar’iyah (hujjah menurut syari’at).

  1. Al-Asybah wa al-Nazha’ir [5]

الْعَادَةُ الْمُطَّرِدَةُ فِيْ نَاحِيَةٍ هَلْ تُنْزَلُ عَادَتُهُمْ مَنْزِلَةَ الشَّرْطِ فِيْهِ صُوَرٌ ... وَمِنْهَا لَوْ جَرَتْ عَادَةُ الْمُقْتَرِضِ بِرَدٍّ أَزْيَدَ مِمَّا اقْتَرَضَ فَهَلْ يُنْزَلُ مَنْزِلَةَ الشَّرْطِ فَيَحْرُمُ إِقْرَاضُهُ وَجْهَانِ أَصَحَّهُمَا لاَ.

Adat yang berlaku di suatu daerah, apakah adat mereka diposisikan sebagaimana syarat, dalam kaidah ini ada beberapa kasus. … Di antaranya, seandainya berlaku adat yang mengharuskan peminjam mengembalikan barang yang lebih baik dari yang dipinjamnya. Maka apakah adat itu diposisikan sebagaimana syarat, sehingga hukum menghutanginya haram? Dalam kasus ini ada dua pendapat, yang lebih sahih adalah tidak diposisikan sebagaimana syarat. Catatan: Tentang masalah d, yaitu hukum lotre. Lotre adalah bahasa asing yang artinya adalah undian atau qur’ah/yanashib. Adapun hukumnya apabila surat membeli lotre itu didasarkan atas untung atau rugi, maka haram sebab termasuk qimar/judi seperti surat-surat lotre yang biasa. Sedang lotre yang tidak didasarkan untung atau rugi seperti membeli barang dengan harga mitsl  (sepadan) dengan mendapat kupon berhadiah yang akan dilotre, atau bersedekah untuk mendirikan suatu kebaikan, seperti madrasah, pondok pesantren, mesjid dan lain sebagainya dengan mendapat kupon hadiah uang akan dilotre, maka tidak haram, karena tidak termasuk qimar/judi dengan cacatan bahwa barang hadiah yang akan dihadiahkan itu tidak diambil dari hasil sedekah tersebut.

  1. Hasyiyah al-Bajuri [6]

عَنْ صُورَةِ الْقِمَارِ الْمُحَرَّمُ وَهُوَ كُلُّ لَعْبِ تَرَدَّدَ بَيْنَ غَنَمٍ وَغَرَمٍ كَاللَّعْبِ بِالْوَرَقِ وَغَيْرِهِ . …

Dari bentuk judi yang diharamkan. Judi adalah semua permainan yang masih simpang siur antara untung dan rugi. Seperti permainan kertas dan yang lain.

  1. Al-Amradh al-Ijtima’iyah [7]

وَمِنْ شَرِّ الْقِمَارِ شِرَاءُ اْلأَوْرَاقِ بِيَا نَصِيْبٌ فَهِيَ حَرَامٌ عَلَى الْمَذَاهِبِ اْلأَرْبَعَةِ

Dan termasuk judi terburuk adalah membeli kupon yang disebut Ya Nashib (lotre). Kupon ini haram menurut empat mazhab.

[1] Al-Bakri bin Muhammad Syatha al-Dimyathi, I’anah al-Thalibin, (Beirut: Dar al-Fikr, 2002), Jilid III, h. 26.

[2] Ibn Hajar al-Haitami, Tuhfah al-Muhtaj bi Syarh Minhaj al-Thalibin pada Hasyiyyah al-Syirwani, (Mesir: at-Tijariyah al-Kubra, t. th.), Jilid IV, h. 296.

[3] Zainuddin al-Malibari dan al-Bakri Muhammad Syatha al-Dimyathi, Fath al-Mu’in dan I’anah al-Thalibin, (Beirut: Dar al-Fikr, 1418 H/1997 M), Jilid III, h. 64-66.

[4] Abdurrahman Ba’alawi, Bughyah al-Mustarsyidin, (Pekalongan: Syirkah Nur Asia, t. th.), h. 176.

[5] Jalaluddin al-Suyuthi, al-Asybah wa al-Nazha’ir, (Beirut: Dar al-Fikr, t. th.), h. 67.

[6] Ibrahim al-Bajuri, Hasyiyah al-Bajuri, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th.), Jilid II, h. 320.

[7] Al-Amradh al-Ijtima’iyah, h. 391.

Sumber: Ahkamul Fuqaha no.282 KEPUTUSAN KONFERENSI BESAR SYURIAH NAHDLATUL ULAMA Di Surabaya Pada Tanggal 16 - 17 Sya’ban 1376 H./ 19 Maret 1957 M.