Hukum Menikah Beda Agama

 
Hukum Menikah Beda Agama
Sumber Gambar: KibrisPdfsandipo

LADUNI.ID, Jakarta - Pernikahan adalah salah satu fase dalam menjalani kehidupan. Setiap orang, tentu ingin memiliki pasangan hidup yang sah secara agama maupun hukum dengan cara menikah. Sekarang ini banyak pasangan yang melangsungkan pernikahan berbeda agama. Lantas, bagaimana hukum menikah beda agama menurut pandangan islam dan juga menurut undang-undang yang berlaku di Indonesia?

Hukum menikah beda agama dijelaskan dalam Islam melalui dalil-dalil ayat suci Al-Qur’an Serta Hadis.
Dalam Al-Qur’an sendiri tertuang dalam Qs. Al-Baqarah 2:221

وَلَا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ وَلَأَمَةٌ مُؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ وَلَا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّى يُؤْمِنُوا وَلَعَبْدٌ مُؤْمِنٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ أُولَئِكَ يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ وَاللَّهُ يَدْعُو إِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِ وَيُبَيِّنُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ

“Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran” (Qs. Al-Baqarah 2:221)

Dalam ayat tersebut secara mutlak dijelaskan bahwa dilarang untuk menikahi wanita musyrik atau dalam artian berbeda agama bagi kaum lelaki. Begitupun bagi perempuan muslim yang juga dilarang untuk menikahi lelaki non-muslim yang diperkuat dengan Qs. Al-Mumtahanah 60:10

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا جَاۤءَكُمُ الْمُؤْمِنٰتُ مُهٰجِرٰتٍ فَامْتَحِنُوْهُنَّۗ اَللّٰهُ اَعْلَمُ بِاِيْمَانِهِنَّ فَاِنْ عَلِمْتُمُوْهُنَّ مُؤْمِنٰتٍ فَلَا تَرْجِعُوْهُنَّ اِلَى الْكُفَّارِۗ لَا هُنَّ حِلٌّ لَّهُمْ وَلَا هُمْ يَحِلُّوْنَ لَهُنَّۗ وَاٰتُوْهُمْ مَّآ اَنْفَقُوْاۗ وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ اَنْ تَنْكِحُوْهُنَّ اِذَآ اٰتَيْتُمُوْهُنَّ اُجُوْرَهُنَّۗ وَلَا تُمْسِكُوْا بِعِصَمِ الْكَوَافِرِ وَسْـَٔلُوْا مَآ اَنْفَقْتُمْ وَلْيَسْـَٔلُوْا مَآ اَنْفَقُوْاۗ ذٰلِكُمْ حُكْمُ اللّٰهِ ۗيَحْكُمُ بَيْنَكُمْۗ وَاللّٰهُ عَلِيْمٌ حَكِيْمٌ (١٠)

“Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka;maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka. Dan berikanlah kepada (suami suami) mereka, mahar yang telah mereka bayar. Dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya. Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir; dan hendaklah kamu minta mahar yang telah kamu bayar; dan hendaklah mereka meminta mahar yang telah mereka bayar. Demikianlah hukum Allah yang ditetapkanNya di antara kamu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”
(Qs. Al-Mumtahanah 60:10)

Kebanyakan ulama menyepakati bahwa hukum menikah beda agama adalah haram kecuali ahli kitab (Yahudi dan Nasrani). Namun, pada masa kini sudah sangat sulit bahkan hamper tidak bisa kita menemukan ahli kitab Yahudi dan Nasrani yang memegang teguh ajaran Nabi Musa dengan kitab Taurat dan Nabi Isa dengan Injil yang sebenarnya. Sehingga dapat disimpulkan bahwa sangat tidak mungkin untuk melakukan pernikahan beda agama.

Di Indonesia, beberapa organisasi keagamaan seperti MUI, NU, Muhammadiyah juga memiliki fatwa serta pandangannya terhadap pernikahan beda agama. MUI mengeluarkan fatwa bahwa hukum menikah beda agama adalah haram mengingat terlalu banyak mafsadatnya dibandingkan dengan maslahatnya.

NU dan  Muhammadiyah pun juga mengikuti jejak MUI dalam memutuskan hukum menikah beda agama dengan mengeluarkan fatwa larangan serta haram untuk menikah beda agama dengan mengacu pada ayat suci Al-Qur’an surat Al-Baqarah 2:221.

Pernikahan di Indonesia diatur secara hukum yang tertuang dalam Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang berbunyi “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”.

Selain itu, disebutkan juga bahwasannya dalam Pasal 8 huruf f UU Perkawinan menyebutkan perkawinan dilarang jika aturan agama melarang serta peraturan lain yang berlaku. Berdasarkan UU Perkawinan yang telah disebutkan sebelumnya kita dapat mengambil kesimpulan bahwa secara hukum menikah mengikuti ajaran agama pihak yang akan melangsungkan pernikahan atau perkawinan.

Administrasi perkawinan terdapat dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. Yang mana didalam UU tersebut menjelaskan bahwa pernikahan beda agama diperbolehkan secara administrasi dengan beberapa catatan seperti mengikuti UU Perkawinan, dinyatakan sah secara agama, dan telah terdaftar di Kementerian Urusan Agama (KUA).

Pernikahan beda agama kerap menjadi pro-kontra dalam kehidupan bermasyarakat bagi ummat muslim dan sebagai Warga Negara Indonesia. Keberagaman beragama di Indonesia menimbulkan interaksi antar ummat beragama yang kemudian memunculkan peluang-peluang untuk menikah beda agama.

Mengikuti aturan yang berlaku di Indonesia bahwa pernikahan diatur dalam UU Perkawinan yang menyebutkan bahwa pernikahan dianggap sah jika sesuai dengan ajaran yang berlaku. Jika yang menikah adalah seorang muslim/muslimah maka sesuai dengan ajaran islam bahwa haram untuk menikah dengan non-muslim sebagaimana yang sudah dijelaskan melalui dalil Ayat Suci Al-Qur’an serta fatwa-fatwa ulama yang ada.

Keterangan, dari kitab:

Tuhfah al-Thullab bi Syarh al-Tahrir dan Hasyiyah al-Syarqawi[1]

(وَنِكاَحُ الْمُسْلِمِ كَافِرَةً غَيْرَ كِتَابِيَّةٍ خَالِصَةً) كَأَنْ كَانَتْ وَثَنِيَّةً أَوْمَجُوْسِيَةً أَوْ أَحَدُ أَبَوَيْهَا كَذَلِكَ ...  (فَإِنْ كَانَتْ) كِتَابِيَّةً  (خَالِصَةً وَهِيَ إِسْرَائِيلِيَّةٌ) ... (إِنْ لَمْ تَدْخُلْ أُصُوْلُهَا فِيْ ذَلِكَ الدِّيْنِ بَعْدَ نَسْخِهِ) (قَوْلُهُ أُصُوْلُهَا) ... وَعِبَارَةُ الْمِنْهَجَ أَنْ لاَ يُعْلَمَ دُخُوْلُ أَوَّلِ أَبَائِهَا فِيْ ذَلِكَ الدِّيْنِ بَعْدَ بِعْثَةٍ تَنْسَخُهُ اهـ ... (قَوْلُهُ بَعْدَ نَسْخِهِ) ... وَبِعْثَةَ نَبِيِّنَا r نَاسِخةٌ  لَهُمَا

(Pernikahan-pernikahan yang batal adalah) … dan pernikahan seorang muslim dengan wanita non muslim selain kitabiyah murni, seperti wanita penyembah berhala, majusi atau salah satu dari kedua orang tuanya beragama seperti itu ... Apabila wanita itu kitabiyah murni, yaitu wanita israiliyah, -maka wanita itu halal bagi muslimin- selama nenek moyangnya tidak memeluk agama israiliyah itu setelah dinaskh (diganti dengan syari’ah lain). (Ungkapan Syaikh Zakaria al-Anshari: “Nenek moyangnya.”)  … Dan redaksi kitab Manhaj al-Thullab adalah: “Yakni pucuk nenek moyangnya –yang masih diketahui, seperti pucuk marga atau klan- tidak diketahui memeluk agama itu setelah terutusnya Rasul yang menaskh(menyalin)nya. … (Ungkapan beliau: “Setelah dinaskh.”) … Dan sungguh terutusnya Nabi kita Muhammad SAW. itu menyalin syari’ah Nabi Musa As. dan Nabi Isa As.

Semenarik apapun mereka, sekaya apapun mereka, setinggi apapun kedudukan mereka, dan sebagus apapun nasab keturunan mereka, jangan lupa masih banyak muslim dan muslimah yang menarik, kaya, berkedudukan, dan berdarah biru, dan yang tidak kalah pentingnya mereka insya Allah shalih dan shalihah (kecuali yang tidak).

Footnote:
[1] Zakaria al-Anshari dan Abdullah al-Syarqawi, Tuhfah al-Thullab bi Syarh al-Tahrir dan Hasyiyah al-Syarqawi, (Surabaya: al-Hidayah, t. th.), Juz II, h. 237-240.

___________

Catatan: Tulisan ini terbit pertama kali pada Jumat, 31 Agustus 2018 . Tim Redaksi mengunggah ulang dengan melakukan penyuntingan
Editor : Sandipo

Sumber: Ahkamul Fuqaha no. 297 KEPUTUSAN KONFERENSI BESAR PENGURUS BESAR SYURIAH NAHDLATUL ULAMA KE 1 Di Jakarta Pada Tanggal 21 - 25 Syawal 1379 H. / 18 - 22 April 1960 M.