Hukum Perombakan terhadap Struktur Pertanahan

 
Hukum Perombakan terhadap Struktur Pertanahan

Hukum Land Reform

Pertanyan :

Apakah keputusan diharamkannya land reform kecuali dalam keadaan dharurat itu benar atau tidak?.

Jawab :

Keputusan tersebut sudah benar. Dan keputusan tersebut diperkuat oleh keterangan dari kitab-kitab.

Keterangan, dari kitab:

  1. Al-Islam wa Hajah al-Insan Ilaih [1]

وَرَوَى اْلإِمَامُ أَبُوْ يُوْسُفَ لَمَّا فَتَحَ اللهُ الْعِرَاقَ وَالشَّامَ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ اَيَّامَ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَرَادَ فَرِيْقٌ مِنَ الصَّحَابَةِ قِسْمَةَ اْلأَرْضِ وَمَا عَلَيْهَا بَيْنَ أَصْحَابِ الْحَقِّ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ الْفَاتِحِيْنَ. لَكِنَّ الْفَارُوْقَ رَأَى أَنْ يَتْرُكَ اْلأَرْضَ بِيَدِ مُلَّاكِهَا عَلَى أَنْ يَدْفَعُوْا الْخَرَاجَ وَالْجِزْيَةَ لِلْمَصْلَحَةِ الْعاَمَّةِ لِلْمُسْلِمِيْنَ جَمِيْعًا وَكَانَ هَذَا الرَّأْيُ  تَوْفِيْقًا مِنَ اللهِ لِعُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ كَماَ عَوَّدَهُ فِيْ كَثِيْرٍ مِنَ الْحَالاَتِ إِلَى أَنْ قَالَ إِنَّ الْفِقْهَ اْلإِسْلاَمِيَّ يَحْفَظُ الْحَقَّ لِصَاحِبِهِ وَيُبِيْحُ لَهُ اِسْتِعْمَالَهُ كَمَا يُرِيْدُ وَيَحْمِيْهِ لَهُ مِنْ اِقْتِدَاءِ الْغَيْرِ عَلَيْهِ بِشَرْطِ أَنْ لاَ يُضَارَّ الْغَيْرُ بِاسْتِعْمَالِ صَاحِبِ الْحَقِّ حَقَّهُ ضِرَارًا يَكُوْنُ أَكْبَرَ مِنْ ضَرَرِ الْحَدِّ مِنْ حُرِّيَةِ صَاحِبِ الْحَقِّ وَذَلِكَ تَطْبِيْقًا لِقَاعِدَةٍ لاَضَرَرَ وَلاَضِرَارَ ثُمَّ قَالَ فِيْ تَطْبِيْقِهَا تَحْقِيْقُ صَالِحٍ لصَاحِبِ الْحَقِّ وَصَاحِبِ الْغَيْرِ مَعًا. ثُمَّ قَالَ وَأَنَّ صَاحِبَ الْحَقِّ فِي اسْتِعْمَالِهِ سَيِّدٌ لاَ يُسْأَلُ عَمَّا يُتَرَتَّبُ عَلَى هَذَ الْإِسْتِعْمَالِ مِنَ الْأَضْرَارِ ت الَّتِيْ تَحِيْقُ بِغَيْرِهِ .

Al-Imam Abu Yusuf meriwayatkan, ketika Allah Swt. menaklukkan Iraq dan Syam bagi umat Islam pada masa Khalifah Umar bin Khaththab, sebagian tentara sahabat yang ikut penaklukan menginginkan pembagian tanah dan apa yang ada di atasnya bagi mereka yang berhak, yaitu muslimin yang mengikuti penaklukan tersebut. Namun Khalifah Umar al-Faruq berpendapat untuk membiarkan tanah-tanah tersebut tetap berada di tangan pemiliknya dengan syarat mereka harus membayar kharaj (upeti sebagai imbal balik atas diperbolehkannya non muslim berdomisili di wilayah setelah ditaklukkan muslimin) dan jizyah (upeti bagi non muslim dzimmi sebagai konsekuansi atas tidak diperanginya mereka) bagi kepentingan umum umat Islam secara keseluruhan. Pendapat ini merupakan pertolongan dari Allah Swt. kepada Khalifah Umar sebagaimana yang biasa Allah Swt. berikan kepadanya di berbagai kesempatan ... Sesungguhnya fiqh Islam menjaga hak bagi pemiliknya dan memperbolehkan penggunaannya sebagaimana yang diinginkan, dan melindunginya dari gangguan pihak lain, dengan syarat tidak mengganggu pihak lain dengan penggunaan hak tersebut oleh pemiliknya dengan gangguan/bahaya yang lebih besar dari batas keleluasaan pemilik hak. Dan hal itu merupakan aplikasi dari kaidah: “La dharara wa la dhirara” (Janganlah merugikan diri sendiri dan janganlah merugikan pihak lain). Lalu Abu Yusuf berkata: “Dalam penerapan kaidah tersebut terdapat pengejawantahan kemaslahatan bagi pemilik hak dan orang lain.” Beliau lalu berkata lagi: “Sungguh pemilik hak itu merupakan penguasa yang tidak diminta pertanggungjawaban atas bahaya yang menimpa orang lain akibat penggunaan atas haknya itu.”

  1. Al-Islam wa Audha’una al-Siyasiyyah [2]

(حُرِّيَّةُ التَّمْلِيْكِ) وَقَدْ أَطْلَقَ اْلإِسْلاَمُ الْحُرِّيَّةَ لِلْبَشَرِ فِيْ أَنْ يَتَمَلَّكُوْا مَا يَشَاؤُنَ مِنَ الْعِقَارِ وَالْمَنْقُوْلِ وَاْلأَشْيَاءِ ذَاتِ الْقِيْمَةِ فِيْ حُدُوْدِ نَظْرِيَّةِ اْلإِسْلاَمِ فِيْ مِلْكِيَّةِ الْمَالِ. فَلِكُلِّ إِنْساَنٍ أَنْ يَمْلِكَ أَيَّ قَدْرٍ شَاءَ مِنَ اْلأَمْوَالِ عَلَى اخْتِلاَفِ أَشْكَالِهَا وَأَنْوَاعِهَا عَلَى أَنْ يَكُوْنَ لَهُ اِلاَّمِلْكِيَّةَ اْلإِنْتِفَاعِ وَعَلَى أَنْ يَنْتَفِعَ مِنْهَا بِقَدْرِ حَاجَاتِهِ فِيْ غَيْرِ سَرَفٍ وَلاَ تَقْتِيْرٍ وَعَلَى أَنْ يُؤَدِّيَ مَا يُوْجِبُهُ اْلإِسْلاَمُ لِلْغَيْرِ فِي الْماَلِ مِنْ حُقُوْقٍ عَلَى الْوَجْهِ الَّذِيْ بَيَّنَّاهُ فِيْ صَدْرِ اْلإِسْلاَمِ .

(Kemerdekaan Hak Milik) Islam secara mutlak memberi kebebasan manusia untuk memiliki tanah, harta yang bisa dipindah dan semua harta berharga yang mereka inginkan dalam batas-batas pandangan Islam tentang kepemilikan harta. Setiap orang berhak untuk memiliki seberapapun jumlah harta yang diinginkan dengan beragam bentuk dan macamnya, dengan catatan bahwa ia (sebenarnya) hanya memiliki hak guna dan harus mempergunakannya sesuai dengan kebutuhannya tanpa berlebihan, dan harus memenuhi hak -hak orang lain yang ditetapkan Islam sebagaimana kami jelaskan dalam kitab Shadr al-Islam.

  1. 3. Hasyiyah Al-Qulyubi [3]

(فَرْعٌ) مِنَ اْلإِكْرَاهِ بِحَقٍّ إِكْرَاهُ الْحَاكِمِ مَنْ عِنْدَهُ طَعَامٌ عَلَى بَيْعِهِ عِنْدَ حَاجَةِ النَّاسِ إِلَيْهِ إِنْ بَقِيَ لَهُ قُوْتُ سَنَةٍ. قَالَ شَيْخُنَا وَهَذَا خَاصٌّ بِالطَّعَامِ فَرَاجِعْهُ .

Di antara paksaan dengan kebenaran adalah paksaan hakim kepada orang yang memiliki makanan ketika orang-orang sangat membutuhkan selama ia masih memiliki bahan pokok untuk kebutuhan setahun. Guruku berkata: “Hal ini terbatas pada makanan saja, maka silakan merujuknya.”

[1] Dr. Muhammad Yusuf Musa, Al-Islam wa Hajah al-Insan Ilaihi, (Kuwait: Maktabah al-Falah, 1398 H/1978 M), Cet. Ke-3, h. 199-200.

[2] Abdul Qadir ‘Audah, Al-Islam wa Audha’una al-Siyasiyyah, (Beirut: Muassasah al-Risalah, 1981), h. 272.

[3] Syihabuddin al-Qulyubi, Hasyiyah al-Qulyubi, (Mesir: Musthafa al-Halabi, 1956), Cet. Ke-3, Juz II, h. 156.

Sumber: Ahkamul Fuqaha no. 302 KEPUTUSAN KONFERENSI BESAR PENGURUS BESAR SYURIAH NAHDLATUL ULAMA KE-2 Di Jakarta Pada Tanggal 1-3 Jumaadil Ulaa 1381 H./11-13 Oktober 1961 M.