Kedudukan Thalaq di Pengadilan Agama

 
Kedudukan Thalaq di Pengadilan Agama

Kedudukan Thalaq di Pengadilan Agama

Pertanyaan :

Bagaimana kedudukan thalaq di Pengadilan Agama dan kaitannya dengan thalaq di luar Pengadilan Agama, baik mengenai hitungan thalaq dan penetapan iddahnya ?.

Jawab :

  1. Apabila suami belum menjatuhkan thalaq di luar Pengadilan Agama, maka thalaq yang dijatuhkan di depan Hakim Agama itu dihitung thalaq yang pertama dan sejak itu pula dihitung ‘iddahnya.
  2. Jika suami telah menjatuhkan thalaq di luar Pengadilan Agama, maka thalaq yang dijatuhkan di depan Hakim Agama itu merupakan thalaq yang kedua dan seterusnya jika masih dalam waktu iddah raj’iyyah. Sedangkan perhitungan ‘iddahnya dimulai dari jatuhnya thalaq yang pertama dan selesai setelah berakhirnya ‘iddah yang terakhir yang dihitung sejak jatuhnya thalaq yang terakhir tersebut.
  3. Jika thalaq yang di depan Hakim Agama dijatuhkan setelah habis masa ‘iddah atau di dalam masa ‘iddah bain, maka thalaqnya tidak diperhitungkan.
  4. Jika thalaq di depan Hakim Agama itu dilakukan karena terpaksa (mukrah) atau sekedar menceritakan thalaq yang telah diucapkan, maka tidak diperhitungkan juga.

  Keterangan, dari kitab:

1. Fath al-Mu’in bi Syarh Qurrah al-‘Ain [1]

وَإِنَّمَا (يَقَعُ لِغَيْرِ بَائِنٍ) وَلَوْ رَجْعِيَّةً لَمْ تَنْقَضِ عِدَّتُهَا فَلاَ يَقَعُ لِمُخْتَلِعَةٍ وَرَجْعِيَّةٍ انْقَضَتْ عِدَّتُهَا (طَلاَقُ) مُخْتَارٍ (مُكَلَّفٍ) أَيْ بَالِغٍ عَاقِلٍ

Sungguh talak seorang suami yang tidak terpaksa, mukallaf, maksudnya baligh dan berakal, hanya terjadi pada wanita yang selain tertalak bain, meski wanita yang tertalak raj’i yang belum habis ‘iddahnya. Maka talak tidak terjadi pada wanita yang terkhulu’ dan tertalak raj’i yang telah habis ‘iddahnya.  

2. Nihayah al-Zain Syarh Qurrah al-‘Ain [2]

(تَجِبُ عِدَّةٌ لِفُرْقَةِ زَوْجٍ حَيٍّ) ... (وَطِئَ) ... (وَإِنْ تَيَقَّنَ بَرَاءَةَ رَحْمٍ)

‘Iddah itu wajib karena berpisah dengan suami yang masih hidup … yang telah menggaulinya, … walupun telah yakin dengan kebersihan rahim (dari sisa sperma).  

3. Tuhfah al-Muhtaj [3]

(وَإِنْ قَالَ أَنْتِ طَالِقٌ أَنْتِ طَالِقٌ أَنْتِ طَالِقٌ) أَوْ أَنْتِ طَالِقٌ طَالِقٌ طَالِقٌ (وَتَخَلَّلَ فَصْلٌ) بَيْنَهَا بِسُكُوْتٍ بِأَنْ يَكُوْنَ فَوْقَ سَكْتَةِ التَّنَفُّسِ وَالْعَيِّ أَوْ كَلاَمٍ مِنْهُ أَوْ مِنْهَا ...(فَثَلاَثٌ) يَقَعْنَ وَإِنْ قَصَدَ التَّأْكِيْدَ لِبُعْدِهِ مَعَ الْفَصْلِ.

Seandainya suami berkata: “Kamu saya thalaq, kamu saya thalaq, kamu saya thalaq.” atau “Kamu saya thalaq thalaq thalaq.”, dan di antara kalimat thalaq yang berulang-ulang tersebut terdapat pemisah dengan diam yakni lebih dari sekedar bernafas dan gagap berbicara, atau pemisah dengan pembicaraan si suami atau pembicaraan si istri, ... maka terjadi thalaq tiga, meski si suami bermaksud menjadikan pengulangan itu sebagai pengukuhan. Sebab, kemungkinan hal itu jauh disertai adanya pemisah.   Fath al-

4. Mu’in bi Syarh Qurrah al-‘Ain [4]

لَوِ اجْتَمَعَ عِدَّتَا شَخْصٍ عَلَى امْرَأَةٍ بِأَنْ وَطِءَ مُطَلَّقَتَهُ الرَّجْعِيَّةَ مُطْلَقًا أَوِ الْبَائِنَ بِشُبْهَةٍ تَكْفِيْ عِدَّةٌ أَخِيْرَةٌ مِنْهُمَا فَتَعْتَدُّ هِيَ مِنْ فِرَاغِ الْوَطْءِ وَتَنْدَرِجُ فِيْهَا بَقِيَّةُ اْلأُوْلَى

Seandainya terhimpun dua ‘iddah seorang suami pada istrinya, seperti ia menyetubuhi istrinya yang ditalak raj’i secara mutlak, atau yang ditalak bain dengan persetubuhan syubhat, maka cukuplah ‘iddah yang terakhir dari kedua iddah itu. Si wanita itu lalu ber’iddah sejak usai persetubuhan dan sisa ‘iddah pertama masuk pada ‘iddah kedua.  

5. Nihayah al-Zain Syarh Qurrah al-‘Ain [5]

(لاَ) يَقَعُ طَلاَقُ (مُكْرَهٍ بِمَحْذُوْرٍ) بِمَا يُنَاسِبُ حَالَهُ وَيَخْتَلِفُ الْمَحْذُوْرُ بِاخْتِلاَفِ طَبَقَاتِ النَّاسِ وَأَحْوَالِهِمْ حَتَّى أَنَّ الضَّرْبَ الْيَسِيْرَ بِحَضْرَةِ الْمَلَأِ إِكْرَاهٌ فِيْ حَقِّ ذَوِي الْمُرُوءَاتِ لاَ فِيْ حَقِّ غَيْرِهِمْ وَأَنَّ اْلاسْتِحْفَافَ فِيْ حَقِّ الْوَجِيْهِ إِكْرَاهٌ وَأَنَّ الشَّتْمَ فِيْ حَقِّ أَهْلِ الْمُرُوءَاتِ إِكْرَاهٌ وَالضَّابِطُ أَنَّ كُلَّ مَا يَسْهُلُ فِعْلُهُ عَلَى الْمُكْرَهِ بِفَتْحِ الرَّاءِ لَيْسَ إِكْرَاهًا وَعَكْسُهُ إِكْرَاهٌ

Talak tidak terjadi dari orang terpaksa sebab kekhawatiran yang sesuai pada kondisi dirinya. Kekhawatiran itu berbeda-beda sesuai dengan perbedaan derajat manusia, sehingga suatu pukulan ringan di depan orang banyak itu merupakan paksaan bagi orang-orang yang mempunyai muruah (harga diri tinggi), dan bukan paksaan bagi selain mereka. Pelecehan bagi orang yang berpangkat itu merupakan paksaan dan makian bagi orang yang mempunyai muruah merupakan paksaan pula. Parameternya adalah apapun yang mudah dilakukan mukrah (orang yang dipaksa), dengan fathah huruf رَاءْ nya, itu tidak termasuk paksaan, dan yang sebaliknya termasuk paksaan.  

6. Bughyah al-Musytarsyidin [6]

(مَسْأَلَةُ ي) قِيْلَ لَهُ أَطَلَقْتَ زَوْجَتَكَ فَقَالَ نَعَمْ فَإِنْ قَصَدَ السَّائِلُ طَلَبَ اْلإِيْقَاعَ مِنَ الزَّوْجِ فَصَرِيْحٌ وَإِنْ قَصَدَ اْلاِسْتِخْبَارَ عَنْ طَلاَقٍ سَابِقٍ أَوْ جُهِلَ قَصْدُهُ فَإِقْرَارٌ بِهِ إِنْ كَانَ قَدْ طَلَقَ صَحَّ وَإِلَّا فَلَا

(Kasus dari Abdullah bin Umar bin Abi Bakr bin Yahya) Bila pada seorang suami ditanyakan: “Apakah kamu mentalak istrimu? Lalu si suami menjawab: “Ya.”, maka bila si penanya bermaksud agar si suami mentalak, maka jawaban tersebut merupakan talak yang sharih. Bila ia bermaksud menanyakan talak yang sudah terjadi, atau maksudnya tidak diketahui, maka jawaban itu merupaka ikrar talak. Bila si suami benar-benar mentalak, maka sah talaknya, dan bila belum maka tidak.  

7. Fath al-Mu’in bi Syarh Qurrah al-‘Ain [7]

أَمَّا إِذَا قَالَ لَهُ ذَلِكَ مُسْتَخْبِرًا فَأَجَابَ بِنَعَمْ فَإِقْرَارٌ بِالطَّلاَقِ وَيَقَعُ عَلَيْهِ ظَاهِرًا إِنْ كَذِبَ وَيُدَيَّنُ وَكَذَا لَوْ جُهِلَ حَالُ السُّؤَالِ فَإِنْ قَالَ أَرَدْتُ طَلاَقًا مَاضِيًا وَرَجَعْتُ صُدِقَ بِيَمِيْنِهِ لِاحْتِمَالِهِ وَلَوْ قِيْلَ لِمُطَلِّقٍ أَطَلَقْتَ زَوْجَتَكَ ثَلاَثًا فَقَالَ طَلَقْتُ وَأَرَادَ وَاحِدَةً صُدِقَ بِيَمِيْنِهِ

Adapun bila ada yang mengatakannya (Apakah kamu mentalak istrimu?) dengan maksud bertanya, lalu si suami menjawab: “Ya.”, maka jawaban itu merupakan ikrar talak, dan secara hukum zhahir talak itu sah bila ia berbohong dan tidak sah dalam urusan antara dirinya dan Allah bila ia jujur.   Dan bila ditanyakan kepada suami yang telah mentalak: “Apakah kamu mentalak istrimu tiga kali?” Lalu ia menjawab: “Saya mentalak.”, dan yang ia maksud adalah talak satu, maka ia dibenarkan dengan sumpahnya.  

8. Bughyah al-Musytarsyidin [8]

(مَسْأَلَةُ ك) أَمَرَهُ الْحَاكِمُ بِالطَّلاَقِ فَطَلَّقَ لَمْ يَقَعْ وَإِنْ لَمْ يَتَهَدَّدْهُ

(Kasus dari Muhammad bin Sulaiman al-Kurdi) Seandainya hakim memerintahkan suami untuk mentalak istri, lalu ia mentalaknya, maka talaknya tidak sah, meki si hakim tidak menakut-nakutinya.  

[1] Zainuddinal-Malibari, Fath al-Mu’in bi Syarh Qurrah al-‘Ain pada I’anah al-Thalibin, (Beirut: Dar al-Fikr, t. th.),  Juz IV, h. 4.

[2] Muhammad Nawawi bin Umar al-Jawi, Nihayah al-Zain Syarh Qurrah al-‘Ain, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th), h. 328.

[3] Ibn Hajar al-Haitami, Tuhfah al-Muhtaj pada Hasyiyata al-Syirwani wa al-‘Abbadi, (Beirut:  Dar al-Fikr, t. th), Jilid VIII, h. 52-53.

[4] Zainuddinal-Malibari, Fath al-Mu’in bi Syarh Qurrah al-‘Ain pada Tarsyih al-Mustafidin, (Beirut: Dar al-Fikr, t. th.), h.347.

[5] Muhammad Nawawi bin Umar al-Jawi, Nihayah al-Zain Syarh Qurrah al-‘Ain, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th), h. 321.

[6] Abdurrahman bin Muhammad Ba’lawi, Bughyah al-Musytarsyidin, (Indonesia: al-Haramain, t. th.), h. 224.

[7] Zainuddinal-Malibari, Fath al-Mu’in bi Syarh Qurrah al-‘Ain pada I’anah al-Thalibin, (Beirut: Dar al-Fikr, t. th.), Juz IV h.10-11.

[8] Abdurrahman bin Muhammad Ba’lawi, Bughyah al-Musytarsyidin, (Indonesia: al-Haramain, t. th.), h. 231.

Sumber: Ahkamul Fuqaha no. 378 KEPUTUSAN MUKTAMAR NAHDLATUL ULAMA KE-28 Di Pondok Pesantren Al-Munawwir Krapyak Yogyakarta Pada Tanggal 26 - 29 Rabiul Akhir 1410 H. / 25 - 28 Nopember 1989 M.