Kisah Teladan KH. Abdul Muchith Muzadi "Menjadi NU"

 
Kisah Teladan KH. Abdul Muchith Muzadi

Laduni.ID, Jakarta - KH. Abdul Muchit Muzadi atau akrab disapa Mbah Muchit bukanlah nama yang asing bagi warga Nahdlatul Ulama. Kakak kandung Ketua PBNU KH. Hasyim Muzadi itu, dikenal sebagai tokoh Nahdliyin hingga akhir hayatnya. Ia pernah masuk jajaran Rais Syuriyah (1994-2004) dan Mustasyar (2004-2015) di PBNU.

Kiprah Mbah Muchith di NU bukanlah bimsalabim. Ia memulainya dari tingkat Ranting hingga menjadi pengurus NU di tingkat Nasional. Ada kisah menarik tentang bagaimana tokoh kelahiran Tuban, 4 Desember 1925 itu menjadi anggota NU. Perlu perjuangan dan pengorbanan ternyata.

Dalam biografinya berjudul "Berjuang Sampai Akhir: Kisah Seorang Mbah Muchith (Khalista: 2006)", ia menceritakan prosesnya masuk NU. Saat itu, pada 1941, Muchith kecil menjadi santri di Pesantren Tebuireng, Jombang yang diasuh oleh KH. Hasyim Asyari, pendiri sekaligus Rais Akbar Nahdlatul Ulama. Meski telah nyantri langsung di pesantren pendiri NU, ternyata tak secara otomatis menjadikan Muchith menjadi anggota NU. Ia perlu mendaftarkan diri terlebih dahulu.

Proses pendaftarannya pun tak sembarangan. Selain prosedur administratif, juga perlu adanya rekomendasi dari anggota NU yang lebih senior. Saat itu, Muchith kecil direkomendasikan oleh Muchith Maksum, seorang santri senior di Tebuireng yang telah menjadi guru.

Dari rekomendasi seniornya tersebut, Muchith mendapatkan formulir pendaftaran. Ia mengisinya dengan seksama dan menyerahkannya kepada pengurus Kring (Ranting) NU Pondok Tebuireng. Ternyata, usai menyerahkan formulir tersebut, perlu waktu sekitar empat bulan untuk memastikan ia diterima atau tidak menjadi anggota NU.

Pengurus dari tingkat Kring, Cabang hingga Hofdbestuur Nahdlatoel Oelama (PBNU) perlu melakukan pemantauan dan pengamatan terhadap sosok yang mengajukan permohonan menjadi anggota NU. Mereka memeriksa dari kepribadian hingga amaliahnya sebelum menerimanya.

Setelah dinyatakan diterima, Muchith dipanggil oleh Pengurus Kring NU Pondok Tebuireng. Kala itu, ketuanya adalah Abu Nasir, sedangkan sekretarisnya dijabat oleh Abdul Hamid Widjaja. Ia diberi nasehat-nasehat tentang ke-NU-an, lalu dibai'at. Setelah itu, baru diberi kartu anggota NU (Rosyidul Udlwiyah).

Selain itu, Muchith juga dikenakan kewajiban untuk membayar uang pangkal sebesar 20 sen atau setara empat kilogram gula. Ia juga dikenakan iuran bulanan sebesar 10 sen. Setiap tahunnya, juga dikenakan ianah syahriyah sebesar 20 sen yang biasanya dipergunakan untuk biaya Muktamar NU.

Proses menjadi NU yang begitu ketat tersebut, tak heran menjadikan Mbah Muchith sebagai kader yang militan. Topan badai tak menggoyahkan sedikitpun kecintaannya pada NU. Friksi sepanas apapun juga tak membuatnya larut untuk menyerang NU. Benturan sekeras apapun tak memancingnya untuk menjelek-jelekkan pengurus NU.

Bahkan, ketika Muktamar ke-33 NU di Jombang beberapa tahun silam yang berlangsung sengit, Mbah Muchith yang sedang sakit, memaksakan diri datang menjelang penutupan. Kiai sepuh yang ikut serta merumuskan NU kembali ke Khittah 1926 itu, berusaha menjadi penengah di kala kerasnya perseteruan memperebutkan tampuk kepemimpinan PBNU.

Apa yang dilakukan oleh Mbah Muchith tersebut, menjadi teladan sekaligus ibrah bagi kita sebagai generasi muda NU. Menjadi NU tak semata hanya karena genealogis maupun lingkungan. Menjadi NU adalah mengikuti aturan main yang telah ditetapkan. Mengikuti kegiatan hingga prosedur organisasi yang telah ditentukan.

Karena, menjadi NU, tak cukup hanya menjalankan amaliah ahlussunnah wal jamaah. Perlu juga mengikuti fikrah (cara berpikir) dan harakah (gerakan) yang telah NU tetapkan. Pasti, dengan demikian, tak akan ada orang NU yang menjadi "kader moletan".

Penulis: Ayung Notonegoro


Editor: Daniel Simatupang