Tanpa Sumber Tertulis, Kehadiran Sejarah Harus Diragukan?

 
Tanpa Sumber Tertulis, Kehadiran Sejarah Harus Diragukan?
Sumber Gambar: Pinterest, Ilustrasi: laduni.ID

Laduni.ID, Jakarta – Abdul Syukur, seorang pengajar Ilmu Sejarah di Universitas Negeri Jakarta (UNJ), pernah mengemukakan dalam tulisannya bahwa sejarah lisan telah dikenal oleh manusia di seluruh dunia sejak lama, mengingat lisan merupakan sarana komunikasi utama untuk mewariskan pengetahuan masa lalu kepada generasi berikutnya. Namun, peran lisan ini kemudian tergantikan oleh tulisan ketika manusia mulai mencatat pengetahuan sejarahnya pada berbagai media seperti tulang, batu, kulit binatang, pelepah pohon, kertas, dan lainnya. Dalam bidang ilmu sejarah, terdapat pandangan bahwa sumber tertulis cenderung lebih dihargai karena dianggap lebih objektif, akurat, otentik, dan dapat dipercaya dibandingkan dengan sumber lisan. Hal ini dikarenakan sumber tulisan memiliki sifat yang lebih tetap dari waktu penulisan hingga ditemukannya dan digunakan oleh para sejarawan untuk merekonstruksi masa lalu. Sebaliknya, sumber lisan cenderung tidak tetap karena rentan terhadap perubahan informasi, baik penambahan maupun pengurangan, sehingga dapat membingungkan para sejarawan dalam menafsirkan sejarah.

Paradigma ini menimbulkan kepercayaan yang berlebihan terhadap sumber tertulis. Tanpa disadari pekerjaan sejarawan identik dengan mengumpulkan, menyeleksi, dan menafsirkan sumber-sumber tertulis menjadi sebuah rekonstruksi masa lalu. Agaknya sebagian besar sejarawan sempat bersepakat dengan pemikiran Charles-Victor Langois dan Charles Seignobos dari Universitas Sorbone, Paris-Perancis bahwa tidak ada yang bisa menggantikan fungsi sumber tertulis untuk melakukan rekontsruksi masa lalu. Secara demonstratif kedua sejarawan ini mempopulerkan adagium no documents, no history (tidak ada sumber tertulis, tidak ada sejarah).

Pemikiran dan adagium yang memuja sumber tertulis tersebut digugat oleh para sejarawan Amerika. Mereka menyadari bahwa sebagian besar masa lampuanya tidak ada dalam catatan-catatan tertulis, sehingga timbul usaha untuk merekam pengalaman para orang tua dalam membangun wilayah Amerika. Dari sinilah cikal bakal kelahiran kembali sejarah lisan yang dimulai tahun 1930 dan 18 tahun kemudian (1948) berdirilah pusat sejarah lisan di Universitas Columbia, New York. Selanjutnya menyusul pendirian pusat sejarah lisan di beberapa negara seperti Kanada, Inggris, dan Italia.

Pengakuan kembali terhadap sejarah lisan telah mencapai Indonesia, meskipun dengan keterlambatan 34 tahun, dimulai pada tahun 1964 oleh Nugroho Notosusanto, seorang sejarawan dari Universitas Indonesia. Proyek Monumen Nasional yang diprakarsainya bertujuan untuk mengumpulkan data sejarah Revolusi Indonesia 1945-1950. Fokus kerja sejarah lisan kemudian bergeser pada pencapaian perwira TNI Angkatan Darat dalam menggagalkan kudeta Gerakan 30 September 1965, yang tercermin dalam karyanya yang berjudul "40 Hari Kegagalan G-30-S". Sejak saat itu, Notosusanto mulai memusatkan perhatiannya pada penulisan biografi tokoh militer dan sejarah militer Indonesia.

Sejarah lisan semakin kokoh di Indonesia terutama setelah ANRI (Arsip Nasional Republik Indonesia) melaksanakan proyek sejarah lisan. Penanggung jawabnya adalah Soemartini, Kepala ANRI periode 1971-1991. Ia dibantu tim Panitia Pengarah Sejarah Lisan dengan ketua Harsja W. Bachtiar, seorang guru besar sosiologi dan sejarah perkembangan masyarakat pada Universitas Indonesia. Panitia Pengarah beranggotakan empat sejarawan, yaitu Sartono Kartodirdjo, Taufik Abdullah, Abdurrachman Surjomihardjo, dan A.B. Lapian. Pada saat itu Kartodirdjo sudah berpredikat sebagai guru besar sejarah pada Universitas Gajah Mada, Jogjakarta.

Walaupun Notosusanto adalah pionir dalam pengembangan sejarah lisan di Indonesia, kontribusi terbesar dalam penyebarluasan perkembangan sejarah lisan di Indonesia dapat dikaitkan dengan Soemartini dan Harsja Bachtiar. Hal ini disebabkan oleh keterlibatan keduanya dalam melibatkan sejarawan dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia dengan memberikan pelatihan serta mendirikan pusat sejarah lisan di beberapa daerah antara bulan Juni hingga Desember 1981. Akibatnya, terbentuklah sembilan kelompok sejarah lisan daerah, seperti Medan (Sumatera Utara), Pekanbaru (Riau), Palembang (Sumatera Selatan), Jakarta, Bandung (Jawa Barat), Jogjakarta, Banjarmasin (Kalimantan), Ujung Pandang (sekarang Makasar, Sulawesi Selatan), dan Menado (Sulawesi Utara). Perwakilan dari setiap kelompok sejarah lisan daerah diundang untuk menghadiri Lokakarya Sejarah Lisan ANRI pada tanggal 14-17 Juni 1982 di Jakarta.

Sejumlah kursus singkat seputar sejarah lisan diadakan misalnya oleh Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) Cabang Jogjakarta bekerja sama dengan Fakultas Sastra Universitas Gajah Mada pada tahun 1988 dan 1990 serta MSI Cabang Sulawesi Selatan dengan Fakultas Sastra Universitas Hasanudin pada tahun 1990. Peserta kursus singkat ini terdiri dari para sejarawan dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia. Meningkatnya minat sejarawan Indonesia terhadap penelitian sejarah lisan mendorong pihak ANRI pada tahun 1992 untuk membentuk divisi khusus yang menangani sejarah lisan, yaitu Sub Bidang Sejarah Lisan. 10 ANRI melalui Proyek Sejarah Lisannya mempunyai peranan sebagai motor penggerak dalam mengembangkan sejarah lisan di Indonesia yang telah dirintis oleh Nugroho Notosusanto dengan proyek Monumen Nasionalnya.

Dalam kurun waktu 1964-1992, sejarah lisan di Indonesia telah mengalami masa pasang surut. Tahun 1964 – 1975 merupakan era pertumbuhan awal yang dipelopori oleh dua lembaga pemerintah, yakni Pusat Sejarah ABRI yang dipimpin Nugoroho Notosusanto dan ANRI yang dipimpin Soemartini. Namun para sejarawan Indonesia lebih mendukung Proyek Sejarah Lisan ANRI daripada yang dikembangkan oleh Pusjarah ABRI. Oleh karena itu cukup penting menyimak hasil laporan Panitia Pengarah Proyek Sejarah Lisan ANRI pada konferensi Sarbica di Kuala Lumpur, Malaysia, 16- 21 Juli 1990 yang menyebutkan dua periode program sejarah lisan, yaitu 1973-1979 dan 1980-1990.

Selama periode 1973-1979 menghasilkan 313 kaset rekaman wawancara dengan 121 pengkisah (istilah yang perlu dipertimbangkan kembali) dari 21 kota oleh 31 pewawancara. Dalam periode ini terjadi peningkatan jumlah kaset rekaman wawancara dan pengkisah yang cukup signifikan pada tahun 1976, yakni 103 kaset rekaman wawancara dengan 56 pengkisah. Jumlahnya menurun drastis pada tahun 1979 karena hanya mampu melakukan wawancara kepada 6 pengkisah yang tersimpan dalam 23 kaset rekaman wawancara. Kegairahan program sejarah lisan meningkat kembali pada periode 1980-1990, terutama untuk tahun 1982 dan 1983 yang berhasil menghimpun 637 kaset rekaman wawancara dari 214 pengkisah dari 12 kota oleh 62 pewawancara. Setelah itu terjani penurunan. Pada tahun 1989 tercatat 197 kaset rekaman wawancara dari 48 pengkisah dari 2 kota oleh 13 pewawancara. Agaknya sejarah lisan di Indonesia telah mengalami ‘orgasme’ pada tahun 1982-1983. Wallahu A'lam. []


Catatan: Tulisan ini telah terbit pada tanggal 14 September 2018. Tim Redaksi mengunggah ulang dengan melakukan penyuntingan dan penyelarasan bahasa.
__________________
Editor: Kholaf Al Muntadar