Biografi KH. R. As’ad Syamsul Arifin

 
Biografi KH. R. As’ad Syamsul Arifin
Sumber Gambar: Dok. LaduniID

Daftar Isi KH. R. As’ad Syamsul Arifin

1      Riwayat Hidup dan Keluarga
1.1    Lahir
1.2    Wafat
1.3    Riwayat Keluarga  

2      Sanad Ilmu dan Pendidikan
2.1    Mengembara Menuntut Ilmu
2.2    Guru-Guru
2.3    Menjadi Pengasuh Pesantren

3      Penerus Beliau
3.1    Putera-puteri
3.2    Cucu
3.3    Santri-santri

4      Jasa dan Karya
4.1    Jasa-jasa
4.2    Karya-karya

5      Kisah Teladan
5.1    Menerima Pancasila
5.2    Sikap Zuhud dan Wara’

6      Pengabdian di Nahdlatul Ulama (NU)
6.1    Inisiator Pendirian NU 
6.2    mbesarkan partai NU 
6.3    NU kembali ke Khittah 1926  

7      Karomah
7.1    Pejuang Kemerdekaan
7.2    Bisa Muncul di Banyak Tempat
7.3    Pasir Jadi Dentuman Senjata
7.4    Mecah Diri
7.5    Seorang Wali Quthub

8      Penghargaan
8.1    Diangkat Jadi Pahlawan Nasional

9      Referensi

 

1.  Riwayat Hidup dan Keluarga         

1.1 Lahir
Kiai Haji Raden As'ad Syamsul Arifin adalah pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah Syafi'iyah di Desa Sukorejo, Kecamatan Asembagus, Kabupaten Situbondo. Beliau adalah ulama besar sekaligus tokoh dari Nahdlatul Ulama dengan jabatan terakhir sebagai Dewan Penasihat (Musytasar) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama hingga akhir hayatnya.

Kiai As'ad lahir di Syi'ib Ali, Mekah pada tahun 1897 M/1315 H. Beliau merupakan anak pertama dari pasangan Raden Ibrahim dan Siti Maimunah, keduanya berasal dari Pamekasan, Madura. Beliau mempunyai adik bernama Abdurrahman. KH. R. As'ad Syamsul Arifin dilahirkan di perkampungan Syi'ib Ali, dekat Masjidil Haram, Makkah, ketika kedua orang tuanya menunaikan ibadah haji dan bermukim di sana untuk memperdalam ilmu-ilmu keislaman. KH. R. As'ad Syamsul Arifin masih memiliki darah bangsawan dari kedua orang tuanya. Ayahnya, Raden Ibrahim (yang kemudian lebih dikenal dengan nama K.H. Syamsul Arifin) adalah keturunan Sunan Ampel dari jalur sang ayah. Sedangkan dari pihak ibu masih memiliki garis keturunan dari Pangeran Ketandur, cucu Sunan Kudus.

Pada usia enam tahun, KH. R. As'ad Syamsul Arifin dibawa orang tuanya pulang ke Pamekasan dan tinggal di Pondok Pesantren Kembang Kuning, Pamekasan, Madura. Sedangkan adiknya, Abdurrahman, yang masih berusia empat tahun dititipkan kepada Nyai Salhah, saudara sepupu ibunya yang masih bermukim di Makkah. Setelah lima tahun tinggal di Pamekasan, KH. R. As'ad Syamsul Arifin diajak ayahnya untuk pindah ke Asembagus, Situbondo, yang pada saat itu masih berupa hutan belantara yang terkenal angker dan dihuni oleh banyak binatang buas dan makhluk halus. Kiai As'ad diajak ayahnya pindah ke pulau Jawa untuk menyebarkan agama Islam di sana.

1.2 Wafat
KH. R. As'ad Syamsul Arifin  wafat di usia ke-93 pada 4 Agustus 1990 di Situbondo, Jawa Timur. Jabatan terakhir di PBNU adalah Dewan Penasihat (Musytasar) Pengurus Besar NU.

1.3 Riwayat Keluarga
Ketika beliau mengajar di pesantren milik ayahnya tahun 1938 M Kiai As’ad menikah dengan gadis Banyuanyar, Pamekasan, bernama Tuhfa putri dari KH Abdul Majid pernikahan ini hanya berselang dua tahun dan dikaruniai satu anak (meninggal). Tahun 1940 Kiai As’ad menikah lagi dengan seorang gadis bernama Zubaidah dan dikaruniai 9 orang anak.

Kedua putra beliau (Aini dan Nasihin) meninggal ketika masih kecil. Sejak saat itu Kiai As’ad selalu berdoa untuk mendapatkan lagi seorang anak laki-laki “sengkok mandhar lanjanga omor ban mandhar andia anak lakek sebisa ngosae pesantren” (mudah-mudahan saya diberi panjang umur dan bisa mempunyai ank laki-laki untuk menggantikan kedudukan saya di pesantren). Doa itu terkabul pada 17 November 1968 lahirlah bayi laki-laki yang kemudian diberinama Ahmad Fawaid.

Setelah itu Kiai As’ad menikah lagi dengan seorang gadis dari Desa Mimbaan Situbondo bernama Zainab dan dikaruniai seorang putra bernama Moh Kholil. Setelah menikah dengan Zainab, Kiai As’ad menikah lagi dengan santrinya yang berasal dari Bondowoso, Khoiriyah, yang sempat merasakan bangku perkuliahan dan bergelar sarjana ilmu sayri’ah, dari pernikahan ini lahir seorang anak laki-laki bernama Abdurrahman, namun anak itu meninggal ketika masih kanak-kanak, selain itu Kiai As’ad juga menikah dengan Junaidah dari Besuki, tapi sampai akhir hayatnya belum dikarunia anak.

2. Sanad Ilmu dan Pendidikan

2.1 Mengembara Menuntut Ilmu
Kiai As’ad merupakan anak dari seorang ulama, sejak kecil beliau telah mendapat didikan langsung dari ayahnya.Pada umur 6 tahun As’ad kecil telah terpisah dari kedua orang tuanya dia ditaruh di Pesantren Sumber Kuning Pamekasan. Menginjak usia 11 tahun As’ad di ajak oleh ayahnya menyebarang ke tanah Jawa. Saat beranjak usia 13 tahun As’ad remaja telah dikirim oleh ayahnya ke Pondok Pesantren Banyuanyar dibawah asuhan Kiai Abdul Majid dan Kiai Abdul Hamid.

Sekitar umur 16 tahun As’ad melanjutkan mondok nya ke Makkah guna memperdalam ilmu agamanya dan berhasil diterima sebagai murid madrasah Shalatiyah Mekkah. Di samping itu dia juga menjadi murid dari beberapa guru terkenal di Makkah diantaranya Syaikh Hasan al-Massad yang fokus kajiannya berupa ilmu nahwu dan bahasa Arab, Sayyid Muhammad Amin al Kutby dalam ilmu tauhid dan fiqh, sedangkan dalam ilmu kesusastraan Arab dia belajar kepada Sayyid Hasan al-Yamani, dan menimba ilmu tasawuf kepada Sayyid Abbas alMaliki.

Dalam menempuh pendidikan di Mekkah KH. R. As'ad Syamsul Arifin  berteman dengan Zaini Mun’im , Ahmad Thoha, Ahmad Thoha Sumber Gayam, Baidlowi, dll yang telah menjadi Kiai besar di tanah Jawa khususnya di daerah masingmasing.

Pada tahun 1924, setelah beberapa tahun belajar di Mekah,KH. R. As'ad Syamsul Arifin  kemudian pulang ke Indonesia. Setelah sampai di kampungnya, beliau tidak langsung mengajar di pesantren ayahnya, KH. R. As'ad Syamsul Arifin  memutuskan untuk memperdalam ilmunya dan melanjutkan belajarnya. Ia pergi ke berbagai pesantren dan singgah dari pesantren satu ke pesantren lain, baik untuk belajar maupun hanya untuk ngalaf barakah (mengharap berkah) dari para kiai.

KH. R. As'ad Syamsul Arifin mengaji tabarukkan di beberapa pesantren di tanah Jawa dan Madura, antara lain: Pesantren Sidogiri Pasuruan (asuhan KH. Nawawi), pesantren Siwalan Panji Buduran Sidoarjo (asuhan KH. Khazin), Pesantren an-Nuqayah Guluk-Guluk Sumenep Madura, Pesantren Kademangan Bangkalan (KH. Muhammad Cholil) dan Pesantren Tebu Ireng Jombang (KH. Hasyim Asy'ari).

Pada tahun 1908, setelah pindah ke Situbondo, KH. R. As'ad Syamsul Arifin dan ayahnya beserta para santri yang ikut datang dari Madura membabat alas (menebang hutan) di Dusun Sukorejo untuk didirikan pesantren dan perkampungan. Pemilihan tempat tersebut atas saran dua ulama terkemuka asal Semarang, Habib Hasan Musawa dan Kiai Asadullah.

Usaha Kiai As'ad dan ayahnya tersebut akhirnya terwujud. Sebuah pesantren kecil yang hanya terdiri dari beberapa gubuk kecil, mushala, dan asrama santri yang saat itu masih dihuni beberapa orang saja. Sejak tahun 1914, pesantren tersebut berkembang bersamaan dengan datangnya para santri dari berbagai daerah sekitar. Pesantren tersebutlah yang akhirnya dikenal dengan nama Pondok Pesantren Salafiyah Syafi'iyah.

Di bawah kepemimpinan KH. R. As'ad Syamsul Arifin, Pondok Pesantren Salafiyah Syafi'iyah berkembang semakin pesat, dengan bertambahnya santri hingga mencapai ribuan. Kemudian, lembaga pendidikan dari pesantren tersebut akhirnya semakin diperluas, tanpa meninggalkan sistem lama yang menunjukkan ciri khas pesantren. Pesantren tersebut mendirikan Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah, dan Madrasah Aliyah, kemudian didirikan pula sekolah umum seperti SMP, SMA, SMK, hingga perguruan tinggi Universitas Ibrahimy.

2.2 Guru-Guru
Guru-guru KH. R As'ad Syamsul Arifin ketika mencari Ilmu dari Mekkah dan di Indonesia adalah:

  1. Syeikh Abbas al-Maliki
  2. Syeikh Hasan al-Yamani
  3. Syeikh Muhammad Amin al-Quthbi
  4. Syeikh Hasan al-Massad
  5. Syeikh Bakir (K.H. Bakir asal Yogyakarta)
  6. Syeikh Syarif as-Sinqithi
  7. KH Nawawi (Pesantren Sidogiri )
  8. KH Khozin(Pesantren Buduran Panji Sidoarjo)
  9. KH Kholil (Pesantren Bangkalan)
  10. KH Hasyim Asy’ari (Pesantren Tebu Ireng)
  11. Habib Hasan Musawa
  12. Kiai Asadullah

2.3 Menjadi Pengasuh Pondok Pesantren
Pada tahun 1951, KH. R. As'ad Syamsul Arifin menggantikan ayahnya sebagai pemimpin Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Situbondo.

3. Penerus

3.1 Putera-puteri

  1. Zainiyah
  2. Nur Syarifah
  3. Nafi’ah
  4. Mukarromah
  5. Nyai. Hj. Makkiyah As'ad
  6. Isyaiyah As'ad
  7. KH. R. Fawaid
  8. KH. R. Kholil As’ad Syamsul Arifin       

3.2 Cucu
KH Achmad Azaim Ibarahimy  menjadi pengasuh pondok pesantren  Salafiyah Syafi'iyah, Situbondo.

3.3 Santri-santri
Ulama-ulama yang menjadi Santri KH. R. As'ad Syamsul Arifin adalah:

  1. KH. Mujib Ridwan
  2. KH. Ghozali Ahmadi
  3. Ustadz Zainal Abidin
  4. KH. Sufyan Miftahul Arifin
  5. KHR. Ahmad Fawaid As'ad
  6. KH. Kholil As'ad Syamsul Arifin

4. Jasa dan Karya

4.1 Jasa-jasa
a.  Mediator berdirinya Nahdlatul Ulama
Pada tahun 1924 M, As’ad dipanggil oleh gurunya, Kiai Muhammad Kholil Bangkalan. Belia disuruh menyampaikan sebilah tongkat disertai pesan ayat Al-Qur’an surat Thaha ayat 17-23 kepada Kiai Hasyim Asy’ari di Jombang.

Setelah menerima tugas tersebut, As’ad berangkat ke Jombang, dalam perjalananya sering diolok-olok “ditengah perjalanan, saya dikatakan orang gila sebab masih muda kok membawa tongkat” katanya sambil mengenang. Setelah sampai di hadapan Kiai Hasyim, As’ad menyampaikan tongkat dan pesan dari Kiai Kholil berupa ayat Al-Qur’an tersebut seketika itu wajah dari Kiai Hasyim bercucuran air mata “saya berhasil mau membentuk jam’iyah ulama” ujar Kiai Hasyim dengan lirih.

Setahun kemudian, As’ad di panggil kembali oleh Kiai Kholil untuk mengantarkan sebuah tasbih (dengan cara mengalungkan ke lehernya) dan bacaan Ya Jabbar Ya Qahhar tiga kali kepada Kiai Hasyim di Jombang. Dalam perjalanan menuju ke Jombang, As’ad tidak pernah melepas atau mengubah posisi tasbih tersebut, dia berpendapat bahwa ketika yang mengalungkan itu seorang kiai maka yang melepaskannya juga harus seorang kiai, inilah sifat ke taatanya As’ad terhadap gurunya.

Sejak saat itu Kiai As’ad mondok ke Tebu Ireng, kemudian Kiai As’ad dimintai pertolongan oleh Kiai Hasyim untuk menyampaikan sebuah undangan kepada beberapa ulama Madura. Undangan tersebut berisi rencana pembentukan organisasi para ulama.23 Dan benar pada tanggal 31 Januari 1926 (bertepatan dengan 16 Rajab 1344 H), berkumpulah beberapa ulama terkemuka dari Jawa, Madura, dan Kalimantan agar berkumpul di Surabaya, dan terbentuklah organisasi yang bernama Nahdlotul Ulama atau yang biasa disebut dengan NU.

b.  Memimpin Melucuti Pasukan Jepang di Garahan, Jember
Pada September dan awal Oktober 1945, Kyai As’ad memimpin pelucutan Pasukan Jepang di Garahan, Jember, Jawa Timur. Tindakan ini dilakukan setelah pasukan Jepang tidak mau menyerahkan senjatanya kepada pasukan yang dipimpin oleh Kyai As’ad Syamsul Arifin. Setelah senjatanya diluciti, pasukan Jepang kemudian diberangkatkan dengan menumpang kereta api ke Surabaya.

c.   Memobilisasi dan Mengirim pasukan Sabilillah di Surabaya
Pada 10 November 1945, ia membantu pertempuran di Surabaya dengan mengirim anggota pelopor dan pasukan Sabilillah Situbondo serta yang berasal dari Bondowoso ke daerah Tanjung Perak. Pasukan yang dikirimnya terlibat pertempuran hebat di Jembatan Merah. Dalam pertempuran Surabaya, Kyai As’ad Syamsul Arifin dibantu oleh beberapa kyai lain, seperti: Kyai Gufron, Kyai Ridwan, Kyai Ali, Kyai Muhammad Sedayu, Kyai Maksum, dan Kyai Mahrus.

d.  Memimpin Perang Gerilya di Karesidenan Besuki
Pada masa revolusi fisik tahun 1945-1949. Kyai As’ad Syamsul Arifin memimpin perang gerilya di beberapa daerah Karesidenan Besuki. Dalam perang gerilya tersebut, ia bersama barisan pelopornya mencuri senjata milik pasukan Belanda di daerah Gudang Mesiu Dabasah Bondowoso (sekitar akhir Juli 1947). Senjata hasil curiannya tersebut kemudian dibagikan kepada para anggota pelopor. Senjata tersebut pada akhirnya digunakan untuk menghadang laju pasukan Belanda.

e.  Diangkat Menjadi Penasihat Pribadi Wakil Perdana Menteri KH Idham Khalid
Pada Tahun 1956-1957, ia diangkat menjadi Penasihat Pribadi Wakil Perdana Menteri KH Idham Khalid dalam Kabinet Ali Sastroamidjojo. Selanjutnya, pada tahun 1957-1959 ia diangkat sebagai anggota konstituante dari Partai Nahdlatul Ulama (NU). Jabatan lain yang pernah dijabat atara lain sebagai penasihat beberapa pengurus dan politisi NU, di antaranya Subchan ZE.

f.  Ikut mendirikan Majelis Ulama Indonesia (MUI)
Pada 1975, ia ikut mendirikan Majelis Ulama Indonesia (MUI). Pada tahun berikutnya sampai meninggal, Kyai As’ad Syamsul Arifin lebih banyak mengembangkan pendidikan di pondok pesantren yang dipimpinnya.  Kyai As’ad Syamsul Arifin wafat pada 4 Agustus 1990 dan dimakamkan di Situbondo, Jawa Timur.

 4.2 Karya - karya Beliau

A. Ekonomi dalam Islam
Buku ini berbahasa Madura, ditulis dengan huruf arab, berukuran 15 x 21,5 cm, tebalnya 31 halaman. Ditulis pada saat malam pemilihan umum yang pertama (15 Desember 1955). Kitab ini aslinya berjudul At-Tajlib al-Barokah fi Fadli as-Sa’yi wa al Harokah tersebut berisikan beberapa ayat al Quran dan hadis nabi tentang asal usul kehidupan, bercocok tanam dan dalam mencari rezeki lainnya. Dalam kitab ini Kiai As’ad lebih memposisikan diri sebagai penyeru moral, tidak sampai pada tataran konsep strategi ekonomi Islam.

Kiai As’ad memaparkan, penghidupan manusia telah disediakan oleh Allah.Manusia sebagai khalifaj Allah di bumi dianjurkan oleh Allah untuk menggali dan mengelola alam ciptan-Nya sebagai sumber ekonomi, baik daratan, lautan, udara, tumbuh-tumbuhan dan lain sebagainya.

B. Syair Madura
Syair yang ditulis dengan huruf Arab ini berbahasa Madura.Sekitar 232 baris.Syair ini ditulis pada bulan Ramadhan tahunnya tidak ditemukan. Buku ini bisamemberikan informasi bahwa Kiai As’ad pun seorang penyair dan memiliki cita rasa seni.Kitab ini hanya sebagian kecil hasil karya seninya, yang sempat dibukukan atau memang yang dapat ditemukan. Kitab ini juga menandakan Kiai As’ad sebagai seorang pengamat sosial, khususnya masalah remaja, disertai petuah-petuah yang tidak terlalu menggurui namun diselingi dengan humor yang cukup segar.34 Diantara isinya: sekilas tentang Kiai As’ad, nasihat-nasihat buat kawula muda dari tata cara berguru, kondisi bujangan (yang saat tidur berselimut ”kain tak bernyawa”, walaupun berbantal guling tapi tak ada “rasanya” dan akhirnya betapa merananya saat sakit karena tak ada yang melayani apa lagi teman bermanja) sampai tata cara memilih jodoh. Sedangkan dalam masalah tatacara nyantri, Kiai As’ad menganjurkan sebelum belajar agar orang tua dan anaknya mengahadap guru, pasrah dunia akhirat.Dalam pergaulan sehari-hari, si santri hendanya bersikap tenang, berpakain sederhana, tidak suka bercanda namun selalu tersenyum, jarang berbicara namun selalu berkata yang baik, rajin belajar, dan sering membaca al Quran. Yang tidak kalah menarik, Kiai As’ad menganjurkan agar kita menjaga kesehatan (bahkan wajib menyediakan obat-obatan dan wajib mengetahui ilmu kesehatan)..

C. Risalah Sholat Jum’at
Kitab berukuran 16,5 x 21,5 cm tebalnya 19 halaman. Ditulis dengan huruf Arab. Pada permulaan kitab yang membahas sholat jum’at ini berisi kutipan-kutipan ulama dari sebelas kitab (di antaranya: al-Umm, Fiqh al Madzahib al-Arba’ah danNihayah al-Muhtaj) tanpa di terjemahkan. Kiai As’ad kemudian memaparkan (dengan bahasa Madura) sejarah sholat Jumat di satu masjid.Kemudian karena beberapa alasan (Kiai As’ad menyebut 6 sebab) maka disebuah daerah yang luas dan padat penduduknya diperbolehkan sholat Jumat di beberapa tempat.Kitab ini berakhir pada halaman 13. Sedangkan halaman 14-19 berisi tentang masalah ziaroh kubur dan istighosah.Untuk memperkokoh hujjahnya, Kiai As’ad merujuk kepada al Quran, Hadist, dan beberapa ulama terkemuka. Pada dasarnya, istighosah tersebut sama dengan tawassul: yaitu minta pertolongan kepada orang lain (para nabi, ulama dan para wali) namun pada hakikatnya, yang memberi pertolongan Allah.

D. Isra’ Mi’raj
Buku ini bercerita tentang perjalanan isra’ mi’raj Nabi Muhammad SAW, ditulis dengan huruf Arab dan berbahasa Madura, ditulis pada tanggal 27 Syawal 1391 H atau 17 Desember 1971 yang berukuran 15x 21,5 cm, dan tebalnya 21 halaman. Buku ini, menjelaskan tentang peristiwa isra’ mi’raj nya nabi.Diakhir tulisannya Kiai As’ad mengharapkan kepada para pembaca agar memberi masukan berupa saran dan koreksi terhadap karyanya. Disamping itu ia menyerukan kepada saudara kaum muslimin agar menjadi laki-laki yang sejati, lelaki sejati adalah orang yang mengetahui kewajiban dan tugasnya sebagai lelaki. Begitu pula kepada kaum muslimat agar menjadi wanita yang sejati yang dapat mengetahui hakikatnya sebagai wanita.

E. Tsalats Risa’il
Kitab ini berukuran 14,5 x 21 cm, tebalnya 21 halaman. Kitab ini ditulis dengan huruf arab dan berbahasa Indonesia dalam kata pengantarnya dijelaskan bahwa materi kitab ini berasal dari kitab Mafahim Yajib an Tushahhah karangan Sayyid Muhammad bin Alwi al Maliki dan beberapa kitab dan ulama yang lain. Kitab ini mengandung tiga bahasan.Pertama masalah hakikat Asyariyah (paham pemikiran Imam al Asyari dan pengikutnya), kedua tentang Qodaniyah atau Ahmadiyah, ketiga membahas sekelumit akidah, syariat dan akhlak paham ahlus-sunnah wal jamaah.

F. Tarikh Perjuangan Islam Indonesia
Buku ini tebalnya 43 halaman, berukuran 15,5 x 21 cm menggunakan tulisan Arab berbahasa Indonesia yang isinya membahas tentang sejarah wali songo dan tokoh-tokoh penyebar Islam di Pulau Jawa dan Madura. Dalam buku ini menurut Kiai As’ad setelah nabi wafat para sahabat mengadakan musyawarah untuk menyebarkan Islam ke berbagai negara. Dalam buku ini juga membahas tentang kunci sukses dalam cara berdakwah wali songo yang mengunnakan pendekatan langsung kepada masyarakat dengan penuh ikhtiar dan tawakkal yang disertai sabar, qonaah dll. Diakhir tulisan, Kiai As’ad memaparkan para ulama, terutamaanak cucu Wali Songo dan para pengikutnya yang menyebarkan agama Islam sehingga bisa mengahasilkan ratusan pondok pesantren dan madrasah di Indonesia.Buktinya, adanya persamaan dalam tarikat perjuangan, ilmu, dan madzhab yang dianut, seperti KH Muhammad Khalil Bangkalan, KH Hasyim Asy’ari dan para Kiai lainya.

Dalam pandangan Kiai As’ad, istilah “Wali Songo” bukan berarti orangnya berjumlah Sembilan tapi Sembilan dalam pangkat, derajat, dan pengaruhnya.

G. Risalah at tauhid
Kitab berbahasa Madura ini, tebal nya 42 halaman. Kitab ini ditulis dengan huruf arab yang ditujukan kepada santri Sukorejo yang telah terjun ke masyarakat. Apalagi di masyarakat sekarang muncul beberapa usaha yang merongrong dan menghancurkan Islam. Kitb ini membahas tentang ilmu tauhid namun lebih banyak mengupas masalah tasawuf. Misalnya, membahas tingkatan iman, macam macam fana fillah, tujuan masuk tarekat, guru tarekat, dan waliyullah. Menurut Kiai As'ad, waliyullah tersebut terdapat dua pengertian. Pertama wali berarti orang yang dijadikan kekasih oleh Allah. Kedua wali berarti orang yang selalu taat tanpa sempat melakukan maksiat. Dalam kitab ini Kiai As'ad juga mengingatkan agar kita tidak usah meminta menjadi orang yang keramat dan terkenal. Tapi kita berdoa agar menjadi orang yang cinta dan ridho kepada Allah. Menurut Kiai As'ad kalau ada seorang yang mengaku wali sesungguhnya orang tersebut bukan wali.

5. Kisah Teladan

5.1 Menerima Pancasila
Tanggal 21 Desember 1983, Munas memutuskan menerima Pancasila dan revitalisasi Khittah 1926. Pada bulan Desember 1984 dalam Muktamar NU XXVII diputuskan asas Pancasila dan Khittah NU. Dan NU menjadi Ormas pertama yang menerima Pancasila.

Gagasan besar KH Achmad Shiddiq dalam menerima Pancasila ini diiyakan oleh KH As’ad bersama KH Mahrus Ali, KH Masykur dan  KH Ali Maksum.  Itu semua beliau lewati dengan penuh kebijaksanaan. Sehingga secara pelan-pelan Kiai NU dan para nahdliyyin bisa menerima dan memahami di balik makna NU berpancasila, semata-mata untuk keutuhan NKRI.

5.2 Sikap Zuhud dan Wara’
Wara’ adalah sikap hati-hati dengan meninggalkan sesuatu yang syubhat dan tidak bermanfaat. Wara’ merupakan kestabilan hati, ketika sedang menggebu-gebu mengerjakan sebuah perbuatan, sehingga mampu membedakan antara yang benar dan yang salah.

Begitulah Kiai As’ad mengapa beliau dulu rumahnya amat sederhana dan sengaja tidak direhabilitasi. Bukan saja karena rumah tersebut mempunyai nilai tersendiri (karena dibangun saat ia belum kawin dengan hasil jerih payah sendiri) tapi juga untuk menghindari barang-barang pesantren terpakai untuk pembangunan rumahnya. Ini menunjukkan sikap zuhud dan wara’nya Kiai As’ad.

“Saya khawatir, ketika memperbaiki rumah tersebut, ada barang-barang pesantren yang terpakai untuk pembangunannya,” tutur beliau.

6. Pengabdian di Nahdlatul Ulama (NU)

6.1 Inisiator Pendirian NU
Kiai As'ad adalah satu ulama besar yang berjasa mendirikan organisasi NU, dan memperjuangkan kemerdekaan serta pendidikan di Indonesia. Beliau menanamkan nilai-nilai cinta tanah air melalui pesantren bersama ayahnya, Kiai Syamsul Arifin pada 1914. Kiai As'ad juga bersama ulama NU membentuk Sabilillah dan Hizbullah. Bahkan Kiai As'ad menjadi pemimpin Sabilillah di Jawa Bagian Timur.

6.2 Membesarkan partai NU
Ketika NU memutuskan untuk menjadi partai politik dan meninggalkan Masyumi pada 1952, Kiai As’ad dan para ulama Nusantara mengembangkan dan memperluas pengabdian menuju politik kenegaraan yang sebelumnya hanya fokus di politik kebangsaan dan kerakyatan. Bahkan pada 1957-1959 Kiai As’ad menjadi juru kampanye Partai NU dan dipercaya mengemban amanat sebagai penasihat pribadi wakil perdana menteri kala itu, KH Idham Khalid.

Menurutnya, peran masyarakat Islam dalam mendukung Partai NU ketika pemilu sangatlah penting. Karena berazazkan Ahlusunnah Waljama’ah dan konsepsi pemikiran yang diajukan dalam sidang bersumber dari ajaran Islam serta para calon yang diajukan berasal dari ulama nasional. Alasan inilah yang menjadikannya  berjuang dari satu tempat ke tempat lain yang tak lain demi membela NU di ranah politik.

6.3 Berhasil Mengembalikan NU kembali ke Khittah 1926  
Berhasil melaksanakan Munas tahun 1983 dan Muktamar NU ke 27 tahun 1984 yang berhasil mengembalikan NU kembali ke Khittah 1926 dan menerima Pancasila sebagai asas dalam organisasi NU.

7. Karomah

7.1 Pejuang Kemerdekaan
Diantara kisah-kisah mengenai bukti kekaromahan  KH. R. As'ad Syamsul Arifin  semasa hidupnya pun terkuak dari KH. Fawaid.

“Pada zaman dulu, murid-murid beliau itu banyak dari kaum bromocorah (preman,red), sehingga beliau pun banyak mendalami ilmu beladiri,” tutur KH. Fawaid memulai cerita.

Ilmu-ilmu beladiri yang dimiliki KH As’ad, sambung KH. Fawaid, juga diajarkan kepada para muridnya.

Beliau menceritakan, saat santrinya dibekali sebilah pedang serta celurit dan disuruh saling membacok, tapi, tebasan pedang dan celurit itu tidak ada yang mencederai mereka. Sebagian murid yang lain, ada yang diuji melompat dari pohon kelapa yang tinggi dan ternyata badannya tetap utuh serta segar bugar. Yang ajaib adalah saat antara para murid itu mampu menjatuhkan puluhan buah kelapa hanya dengan sekali pandang.

Tidak hanya itu, kemasyhuran kekaromahan  KH. R. As'ad Syamsul Arifin juga terbukti pada saat perang kemerdekaan. KH. Fawaid juga mengisahkan jika pada saat perang gerilya, beberapa pejuang tampak membawa pasir. Pasir itu konon adalah pemberian dari  KH. R. As'ad Syamsul Arifin kepada para pejuang. Pasir tersebut kemudian ditaburkan ke kacang hijau di dekat markas tentara Belanda atau jalan yang akan banyak dilewati tentara Belanda.

“Aneh, suatu keajaiban terjadi. Puluhan tentara Belanda yang bersenjata lengkap itu tiba-tiba lari terbirit-birit ketakutan sambil meninggalkan senjatanya. Mungkin mereka mengira suara pasir itu adalah suara dentuman senjata api. Para pejuangpun memungut satu persatu senjata yang ditinggal Belanda, “ kisah KH. Fawaid.

7.2 Bisa Muncul di Banyak Tempat
Lebih jauh, KH. Fawaid bahkan menceritakan, ada kisah lain yang mengisyaratkan bahwa   KH. R. As'ad Syamsul Arifin memang bukanlah ulama sembarangan. Kisah itu terjadi pada saat Kiai Mujib (teman KH As’ad) diajak  KH. R. As'ad Syamsul  menghadiri delapan acara walimah haji yang berada di luar kota.

Keduanya pun berangkat dari rumah, sekitar pukul 20.30 WIB. Namun anehnya, Kiai Mujib baru merasakan keajaiban yang dialaminya setelah kembali ke Sukorejo. Dia kaget lantaran delapan lokasi acara walimah haji yang didatangi oleh  KH. R. As'ad Syamsul Arifin  ternyata hanya ditempuh dalam waktu dua jam.

“Padahal, perjalanan pulang pergi aja memerlukan waktu dua jam, sementara mereka harus mengunjungi delapan kali acara yang tempatnya masing-masing sangat berjauhan. Ini belum lagi dihitung waktu  KH. R. As'ad Syamsul Arifin memberi ceramah dan jamuan makan, yang tentu saja memakan waktu tidak sebentar. Ini ajaib. Mana mungkin perjalanan yang seharusnya memakan waktu dua jam plus semua acara yang tempatnya saling berjauhan dan memakan waktu berjam-jam itu, bisa dilakukan hanya dengan dua jam?” ungkap KH. Fawaid.

Kiai Mujib pun mengemukakan kebingungannya itu kepada sopir KH. R. As'ad Syamsul Arifin,  H Abdul Aziz.

“Iya..ya, kenapa bisa begitu?” katanya sambil berulang kali melihat jam tangannya untuk meyakinkan diri bahwa saat itu memang baru pukul 22.30 WIB.

“Usut punya usut, seminggu kemudian. Di Sukorejo, Haji Aziz akhirnya memperoleh info mengenai keributan yang hampir saja terjadi di antar pemilik delapan acara walimah tersebut karena masing-masing ngotot didatangi kiai pada saat yang bersamaan. Akhirnya, mereka sama-sama heran, sebab masing-masing mempunyai bukti berupa foto ketika kiai berada di rumah-rumah mereka,” imbuh KH. Fawaid.

Peristiwa seperti itu tampaknya juga pernah dialami sendiri oleh  KH. R. As'ad Syamsul Arifin ketika muda. Dia heran, ada kiai yang menjadi imam salat Jumat di tiga masjid dalam waktu yang bersamaan. Menurut kisah, KH. R. As'ad Syamsul Arifin bermakmum saat salat Jumat dengan imam Kiai Asadullah di Masjid Besuki. Bupati Situbondo, yang mendengar hal itu, membantah dan sambil ngotot mengatakan bahwa Kiai Asadullah hari itu mengimmi salat Jumat di Situbondo, bahkan sang bupati mengaku berdiri tepat di belakangnya. Penghulu Asembagus yang kebetulan mendengar pertikaian itu, malah menimpali bahwa Kiai Asadullah menjadi imam masjid di daerahnya.

Hal itu mengingatkan  KH. R. As'ad Syamsul Arifin pada dawuh (perintah) Habib Hasan Musawa bahwa Kiai Asadullah telah mencapai maqam fana fi adz dzat, bisa menjadi tiga bahkan sepuluh dalam waktu bersamaan. Ilmu yang sama kelak akan dimiliki juga oleh  KH. R. As'ad Syamsul Arifin. 

Dikiisahkan pula, ketika Nahdhatul Ulama mengadakan hajatan di Sukorejo, yaitu Munas Alim Ulama 1983 dan Muktamar NU 1984, bantuan logistik mengalir, bahkan melimpah, dari masyarakat, khususnya warga NU. Tujuh hari sebelum acara, tercatat telah terkumpul 20 ekor sapi, 50 ekor kambing, 200 ekor ayam kampung, 15 ton beras, dan lima truk gula, telur, sayur, dan buah-buahan. Semuanya berdatangan di Sukorejo.

Acara yang melayani 1.500 orang itu, tiap hari rata-rata menghabiskan lima sampai enam kuintal beras, 130 sampai 300 ekor ayam, lima ekor kambing dan sapi, satu sampai tiga truk sayur mayur dan buah kelapa, dan tak terhitung kayu bakar, baik yang diantar dengan truk maupun di antar sendiri secara rombongan dengan sepeda ontel. Juru masaknya pun tak dibayar, mereka mengharapkan barakah dari para kiai.

Saking tingginya minat menyumbang dari warga, panitia sampai menolak ternak-ternak sapi dan kambing lantaran mereka tidak mempunyai tempat penampungan. Namun mereka tak habis pikir, binatang-binatang itu kemudian mereka antar lagi dalam bantuk daging.

Bantuan itu tidak hanya berasal dari warga yang kaya. Ada seseorang warga yang hanya memiliki dua ekor sapi yang satunya sedang hamil. Karena untuk acara keagamaan dia menyumbang salah satunya kepada  KH. R. As'ad Syamsul Arifin.

Anehnya, beberapa hari kemudian seorang “tamu asing” mendatangi warga tersebut. Padahal saat mmberikan sapi itu, selain tulus ikhlas, warga tersebut juga tidak mencatatkan nama dirinya. Lalu, siapa yang memberitahukan tamu asing itu? Lucunya, tamu asing itu ngotot memberikan sejumlah uang beberapa kali lipat dari harga sapi. Karena ikhlas menyumbang untuk kiai, uang itu ditolak dengan tegas. Tapi, si tamu asing menegaskan tak mau meninggalkan rumah itu bila tetap ditolak. Akhirnya, dengan terpaksa uang itu diterimanya juga.

Siapa orang asing itu? Manusia atau mahkluk alam lain? Wallahu a’lam.

7.3 Pasir Jadi Dentuman Senjata
Ketika mengadakan gerilya, beberapa pejuang tampak membawa pasir. Konon, pasir itu adalah pemberian dari   KH. R. As'ad Syamsul Arifin   kepada para pejuang itu. Pasir tersebut kemudian ditaburkan ke kacang hijau di dekat markas tentara Belanda atau di jalan yang akan banyak dilewati tentara Belanda.

Aneh, suatu keajaiban terjadi. Puluhan tentara Belanda yang bersenjata lengkap itu tiba-tiba lari terbirit-birit ketakutan sambil meninggalkan senjatanya. Mungkin mereka mengira suara pasir itu adalah suara dentuman senjata api. Padahal, saat itu para pejuang tidak membawa senjata api. Bagaikan mendapatkan rejeki nomplok, para pejuang itu seakan berpesta pora dan memunguti satu per satu senjata-senjata yang ditinggal Belanda itu.

Dalam kesempatan lain, sebanyak 50 anggota Laskar Sabilillah mohon jaza’ kepada  KH. R. As'ad Syamsul Arifin ke Sukorejo sebagai bekal untuk berjuang melawan Belanda. Pertama-tama yang ditanyakan oleh Kiai As’ad adalah keteguhan mereka untuk berjuang. “Apakah kalian betul-betul ingin berjuang?” tanya   KH. R. As'ad Syamsul Arifin.

“Kami memang ingin berjuang, Kiai, asalkan kami diberi azimat,” jawab pemimpin rombongan.

“Oh, itu gampang,” jawab  KH. R. As'ad Syamsul Arifin . “Be en entar bungkol, moleh bungkol (kamu berangkat perang utuh, pulang pun utuh).”

Lalu   KH. R. As'ad Syamsul Arifin  mengambil air putih dan menyuruh mereka meminumnya sambil membaca sholawat. Setelah itu  KH. R. As'ad Syamsul Arifin berpesan, “Kalian tidak boleh menoleh ke kiri dan ke kanan. Terus maju, jangan mundur. Kalau maju terus dan tertembak mati, kalian akan mati syahid dan masuk surga. Tapi, bila kalian mundur dan tertembak, kalian akan mati dalam keadaan kafir!”

7.4 Mecah Diri
Pada suatu hari, Kiai Mujib diajak Kiai As’ad menghadiri delapan acara walimah haji di luar kota. Kiai Mujib baru merasakan keajaiban yang dialaminya setelah kembali ke Sukorejo. Mereka berangkat pukul 20.30, dan pukul 22.30 telah berada lagi di Sukorejo. Padahal perjalanan pulang pergi saja memerlukan waktu dua jam, sementara mereka harus mengunjungi delapan kali acara yang tepatnya masing-masing sangat berjauhan. Ini belum lagi dihitung waktu Kiai As’ad memberi ceramah dan jamuan makan, yang tentu saja memakan waktu tidak sebentar.

Ini ajaib. Mana mungkin perjalanan yang seharusnya memakan waktu dua jam plus semua acara yang tempatnya saling berjauhan dan memakan waktu berjam-jam itu bisa dilakukan hanya dengan dua jam? Kiai Mujib mengemukakan kebingungannya itu kepada sopir kiai, H. Abdul Aziz.

“Iya…iya, kenapa bisa begitu?” katanya sambil berulang kali melihat jam tangannya untuk menyakinkan diri bahwa saat itu memang baru pukul 22.30.

Seminggu kemudian, di Sukorejo, Haji Aziz memperoleh info mengenai keributan yang hampir saja terjadi di antara pemilik delapan acara walimah tersebut karena masing-masing ngotot didatangi kiai pada saat yang bersamaan. Akhirnya mereka sama-sama heran, sebab masing-masing mempunyai bukti berupa foto ketika kiai berada di rumah-rumah mereka.

Peristiwa seperti itu pernah dialami sendiri oleh Kiai As’ad ketika muda. Dia heran, ada kiai yang menjadi imam salat Jumat di tiga masjid dalam waktu yang bersamaan. Menurut kisah, Kiai As’ad bermakmum saat shalat Jumat dengan imam Kiai Asadullah di Masjid Besuki. Bupati Situbondo, yang mendengar hal itu, membantah, dan sambil ngotot mengatakan bahwa Kiai Asadullah hari itu mengimami shalat Jumat di Situbondo, bahkan sang Bupati mengaku berdiri tepat di belakangnya. Penghulu Asembagus, yang kebetulan mendengar pertikaian itu, malah menimpali bahwa Asadullah menjadi imam salat di daerahnya.

Hal itu mengingatkan Kiai As’ad pada dawuh (perintah) Habib Hasan Musawa bahwa Kiai Asadullah telah mencapai maqam fana fi adz dzat, bisa menjadi tiga bahkan sepuluh dalam waktu bersamaan. Ilmu yang sama kelak kemudian hari juga dimiliki oleh Kiai As’ad

7.5 Seorang Wali Quthub
Tidak ada yang menyangka, ternyata Mursyid 13 thariqah dan ulama besar NU ini adalah seorang Wali Quthub (pimpinannya para wali). Berikut adalah kesaksian dari Kyai Mujib, putera KH. Ridwan Abdullah pencipta lambang NU.

KH. R. As'ad Syamsul Arifin laksana samudera tak bertepi. Beliau semakin didekati kian bertambah tidak kelihatan. Saya sangat berpengalaman. Bahkan saya pernah mencium seluruh tubuhnya, kecuali yang memang tidak boleh.

Setelah saya pijat selama hampir 3 jam, beliau tertidur sangat pulas. Saya ciumi sekujur tubuhnya, dari ujung kepala sampai telapak kaki. Saya tidak mendapatkan bau apa-apa. Sampai hati saya berkata, "beliau ini ada atau tidak ada? Apakah ini orang yang dikatakan sudah berada di maqam fana?"

Hampir 20 tahun saya hidup bersama beliau. Tambah dekat dan tambah lama, semakin tidak kelihatan, sulit ditebak. Saya baru diberi tahu dan mengerti, baru yakin siapa beliau ini, setelah saya sampai di Madinah tahun 1987 saat ditunjuk sebagai petugas haji oleh pemerintah. Sebelum berangkat haji, saya pun minta izin ke beliau.

"Pak Mujib, pergi haji Sampean ini sunnah tapi sampai (datang) ke Haramain tahun ini wajib (fardhu kifayah). Kalau anda tahun ini tidak datang ke tanah Haram, dosa besar," kata  KH. R. As'ad Syamsul Arifin.

"Kenapa?" tanyaku.

"Jawabnya nanti di sana, bukan di sini," kata Kyai As'ad. "Namun jangan berkecil hati. saya pinjami ijazah. Setelah pulang, ijazah tersebut harus dikembalikan. Tidak boleh dipakai terus."

"Kalau saya sudah hafal bagaimana, Kyai?" tanyaku.

"Ya terserah, kalau anda jadi bajingan."

Sampai larut malam, saya tidak diperbolehkan pulang. Saya disuruh pulang besok pagi. Tapi ijazah itu, tidak 'dipinjamkan' sampai saya tertidur. Ternyata, dalam tidurku itu saya ditalqin ijazah. Lalu saya ditanya apakah masih punya wudhu. Saya jawab, masih punya. Baru kemudian saya ditalqin.

Menjelang Shubuh saya pun terbangun. Ternyata di bawah bantal ada secarik kertas yang ditulis oleh  KH. R. As'ad Syamsul Arifin 

Setelah saya pulang dari haji, beliau sudah ada di rumah saya ingin mengambil ijazah itu. "Saya tidak minta oleh-olehnya, Pak Mujib. Hanya saja ijazah itu harus dilembalikan," kata Kyai As'ad. Mungkin, ijazah itu takut disalahgunakan.

Alhamdulillah saya berhasil menunaikan ibadah haji. Ada beberapa peristiwa yang saya alami, yang hanya bisa saya ceritakan kepada Kyai As'ad. Semuanya saya ceritakan. Lalu saya bertanya: "Ada satu Kyai, yang menyangkut anda."

"Lho, kamu ke sana mau ngurus saya juga ya?" Tanya Kyai As'ad dengan nada marah.

Saya pun dimarahi oleh beliau. "Kamu ke sana dengan saya pinjami ijazah segala, jadi ngobyek saya juga ya? Kurang ajar kamu ini!" katanya agak marah.

"Ya tidak begitu, Kyai. Masa saya sudah ikut Anda hampir 20 tahun, kok tidak tahu siapa sebenarnya Panjenengan?" jawabku.

"Lha iya, kamu ngobyek, ingin tahu saya. Apa hasilnya?"

"Saya disuruh membacakan ayat di hadapan Anda!"

"Ayat apa?" Tanya Kyai As'ad.

"Ayat al-Quran. Dengan syarat, kalau anda mau. Kalau tidak mau ya tidak usah!" jawabku.

"Mana ada kyai yang tidak mau dibacakan al-Quran? Gila kamu ini!" kata  KH. R. As'ad Syamsul Arifin .

"Lha wong 'Bos( seorang pimpinan)' di sana bilang begitu, Kyai," kata saya melucu.

Ceritanya, sewaktu di tanah Haramain saya bertemu 'Bos'. Kata Bos: "Kalau Kyai As'ad tidak mengaku siapa sebenarnya beliau, bacakan ayat ini. Dengan catatan beliau harus mau."

"Kalau tidak mau, ya saya tidak akan pernah tahu siapa  KH. R. As'ad Syamsul Arifin ," jawabku. Karena itu saya pun mendesak 'Bos' itu.

Lalu 'Bos' berkata: "Ya... tidak maunya itu ngakunya!"

Saya lalu membacakan ayat yang dimaksud di hadapan KH. R. As'ad Syamsul Arifin :

فَكَيْفَ إِذَا جِئْنَا مِنْ كُلِّ أُمَّةٍ بِشَهِيدٍ وَجِئْنَا بِكَ عَلَى هَؤُلَاءِ شَهِيدًا 

"Maka bagaimana jika Kami mendatangkan saksi dari setiap umat dan Kami mendatangkanmu sebagai saksi atas mereka?" (QS. an-Nisa ayat 41).

Belum selesai saya membaca ayat tersebut, beliau menangis sejadi-jadinya, menjerit sampai bercucuran air mata. Inilah pengakuan yang tidak bisa dihindari. Saya tembak di tempat dengan resep 'Bos' tadi. Ya, jangan tanya siapa 'Bos' tersebut.

Saya tunggu. Beliau nangis hampir satu jam, itu pun masih terisak-isak seperti anak kecil. Lalu saya diajak salaman. Ketika saya mau mencium tangan beliau, tidak diperbolehkan. "Kali ini Sampean tidak saya izinkan mencium tangan saya," kata  KH. R. As'ad Syamsul Arifin masih dalam keadaan terisak.

Saya pucat. "Wah, haji saya kali ini mardud (tertolak)," begitu dalam benak saya. Mengapa? Sebab saya telah membuka rahasia besar, yang di dunia ini orangnya hanya satu. Wali Quthub ini, di dunia hanya satu. Itu rahasianya saya buka, walaupun saya disuruh 'Bos'.

"Pak Mujib, apa Sampean tidak keberatan belas kasihan sama saya. Saya minta belas kasihan anda. Saya minta belas kasihan anda agar jangan sampai ngomong kepada orang lain selama saya masih hidup, siapa diri saya ini!" Pinta  KH. R. As'ad Syamsul Arifin.

8. Penghargaan

KH. R. As'ad Syamsul Arifin Dianugerahi Pahlawan Nasional
Penganugerahan Tanda Jasa dan Tanda Kehormatan Bintang Mahaputera itu berdasar Keputusan Presiden RI Nomor 91/TK/Tahun 2016 tanggal 3 November 2016. Selain Wapres M Jusuf Kalla, tampak hadir dalam acara itu sejumlah Menteri Kabinet Kerja dan keluarga penerima anugerah. Pada kesempatan itu juga hadir Pengasuh Ponpes Sukorejo Situbondo KHR Ahmad Azaim Ibrahimy.

9. Referensi

https://sukorejo.com/


Artikel ini sebelumnya diedit tanggal 29 Maret 2021, dan terakhir diedit tanggal 29 Agustus 2022.

 

Lokasi Terkait Beliau

List Lokasi Lainnya