Dayah dalam Kehidupan Masyarakat Aceh

 
Dayah dalam Kehidupan Masyarakat Aceh

 

LADUNI.ID, SEJARAH- Sejarah telah mencatat bahwa ketika Islam datang, surau diislami- sasikan. Di samping sebagai tempat pertemuan dan tempat tidur, surau menjadi tempat untuk mempelajari ajaran Islam, membaca al-Quran dan tempat shalat. Manakala menjadi tempat shalat diawali berkembangnya Islam, surau telah berfungsi sebagai masjid kecil.

Biarpun demikian, dalam rentang waktu, dibangun dua tempat yang berbeda, yaitu surau dan masjid. Masjid dijadikan sebagai tempat yang hanya untuk peribadatan belaka, seperti shalat lima waktu, shalat Jumat dan shalat dua hari raya.

Sementara itu di sisi lain, surau berfungsi sebagai tempat asrama bagi pemuda dan tempat belajar membaca al-Qur‟an dan pengetahuan agama, untuk praktik ritual keagamaan, suluk, dan tempat orang-orang berkumpul untuk berbagai pertemuan.

Dengan demikian, dayah, pesantren dan surau mempunyai latar belakang  sejarah  yang  berbeda,  kendatipun  mempunyai  fungsi  yang sama. Penting dicatat bahwa dayah, seperti pesantren, mungkin juga dikembangkan dari lembaga pendidikan Hindu.

Hindu telah ada di Aceh sebelum kedatangan Islam meskipun tidak begitu kuat pengaruhnya seperti yang terjadi di Jawa. Hal ini membuktikan bahwa pengaruh Islam terhadap  rakyat  Aceh  sangat  kuat,  dalam  banyak  aspek  kehidupan mereka, sehingga orang-orang Aceh telah menghilangkan warna-warna pengaruh Hindu.

Dalam beberapa hal, lembaga-lembaga ini mempunyai kemiripan dimana para murid diharuskan menetap di kampus, yang di sana terdapat rumah-rumah untuk guru dan asistennya, asrama siswa, satu masjid atau mushalla (mesjid kecil) dan ruang-ruang belajar untuk murid.

Kampus ini diatur oleh seorang atau beberapa orang yang dipanggil teungku. Sementara  itu,  pesantren  di  Jawa  telah  mendapat  perhatian banyak para sarjana, sedangkan dayah di Aceh belum dikaji secara mendalam. James T. Siegel dalam bukunya The Rope of God menelaah dengan singkat tentang lembaga tersebut, namun dalam buku itu hanya mengkaji tentang dayah pada akhir abad ke-19 dan hingga pertengahan abad ke-20.

Meskipun C. Snouck Hurgronje mengatakan deah (dayah) dan rangkang beberapa kali dalam The Atjehnese-nya, dia tidak membicarakannya secara komprehensif atau memberikan kontribusi yang berarti bagi pemahaman kita mengenai lembaga tersebut.

***Helmi Abu Bakar El-Langkawi, Penggiat Literasi Asal Dayah MUDI Masjid Raya Samalanga

 

Sumber: Nuraini, Potret Islam Tradisional “Dayah Dan Ulama Di Aceh Abad Ke-20” Dalam Perspektif Sejarah, 2014