Tradisi Belajar Agama Suku Kokoda

 
Tradisi Belajar Agama Suku Kokoda

LADUNI.ID, Sorong - Bagi saya, menyelami jiwa anak-anak memang gampang-gampang susah. Terlebih, pada anak-anak yang hidup dalam budaya dan tradisi yang berbeda. Kok anak-anak, orang dewasa pun terkadang demikian.

Pada suatu sore, ketika madrasah sudah tiba waktunya, hingga beberapa menit, belum ada satu anak pun yang muncul. Hal ini tidak seperti biasanya yang mana kemunculan saya pasti disusul oleh kedatangan mereka kemudian.

Penasaran, saya keluar ruangan. Suasana komplek terlihat sepi sekali dari anak-anak. Saya pun coba berjalan. Tentu saja bukan ke arah pemukiman. Sambil kedua mata menyisir ke arah kiri yang mana ada pemukiman masyarakat, saya terus berjalan. Terus berjalan sembari memfokuskan mata kalau-kalau melihat anak-anak atau salah satu dari mereka.

Kira-kira 80-an meter kemudian, telinga saya mendengar ada suara obrolan anak-anak. Dengan melangkahkan kaki agak cepat, saya tuju sumber suara tersebut. Setelah belok ke arah kiri, saya lihat segerombol anak tengah duduk-duduk entah sedang bermain apa.

"Haduhh... lagi ngapain ini?" tanya saya ketika ada di dekat mereka.

"Pak guru, mengaji kah?" pertanyaan balik dari mereka yang sangat sering saya dengar dari mereka setiap kali bertemu dengan saya di waktu sore maupun malam hari. Padahal, sudah kerap kali saya mengatakan pada mereka kalau sore dan malam hari setelah Maghrib adalah waktunya mengaji.

"Libur sudah, pak guru. Kita orang belum makan," ucap mereka dengan memasang raut wajah memelas dan nada memohon.

Ikan dan udang di wadah atom terlihat tengah dibersihkan oleh mereka. Mereka pun menjelaskan pada saya dari mana mereka memperolehnya. Yaitu dari hasil "berburu" di satu tempat yang tak jauh dari sini.

Cara belajar agama dengan sistem madrasah memang belum dikenal oleh masyarakat suku Kokoda pada umumnya. Hal ini saya ketahui kemudian dari beberapa orang diantara mereka. Kendati sudah muslim sejak abad ke-15 yang lampau, sistem yang mereka gunakan dalam menuntut ilmu agama adalah dengan talaqqi. Yaitu siapa yang ingin belajar harus datang sendiri ke rumah sang guru. Tak ada madrasah atau anak-anak sengaja dikumpulkan dalam satu majelis untuk belajar.

Hal inilah yang kemudian menjelaskan pada saya kenapa anak-anak kerap datang lebih akhir daripada saya. Di satu sisi mungkin kesadaran mereka untuk menuntut ilmu masih mengikuti tradisi lama orang-orang tua mereka, dan sisi lain, orang tua mereka yang belum sepenuhnya mengingatkan anak-anak untuk datang belajar agama ketika waktunya sudah tiba karena juga masih terinfeksi oleh tradisi lama mereka.

Betapapun, untuk mengubah tradisi memang bukan pekerjaan yang mudah. Kalau mudah, tentu tak ada yang namanya perjuangan, bukan??? Demikianlah kerap saya sekedar untuk menghibur diri dan membesarkan jiwa saya sendiri dengan membisiki pikiran dan hati saya yang terkadang juga "nglokro" menghadapinya.

===============================================================

Catatan tambahan:

Anda bisa turut serta membantu dalam bentuk dana untuk pengembangan dakwah Islam di wilayah pedalaman Papua Barat dengan mengirimkan ke:

Rekening bank Mandiri
atas nama Yayasan Dakwah Islam Aswaja
nomor rekening 070.00.0664.8054.
Konfirmasi ke Koordinator SGTP III dengan bapak Aidy Ilmy HP/WA 0812.1011.796.
Mohon menambahkan jumlah transfer dengan akhir digit "99", contoh Rp 500.099;

 Catatan:
1. Kami tidak memungut biaya administrasi dan menyalurkan keseluruhan dana ke kegiatan di Papua Barat.
2. Untuk mengunjungi lokasi dapat menghubungi koordinator di tempat dengan ustadz Agus Setyabudi di HP./WA. 0852.2774.8441.
3. Bangunan Madrasah Diniyyah Al-Ibriz Iru Nigeiyah di kompleks pemukiman suku Kokoda di Kurwato adalah sumbangan dari kegiatan SGTP I-III.
4. Yayasan Dakwah Islam Ahlussunnah wal Jamaah memperoleh Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia nomor AHU: 0028651.AH.01.04.