Begini Hukum Khutbah Jumat seperti Orator Kampanye

 
Begini Hukum Khutbah Jumat seperti Orator Kampanye

Assalamu’alaikum wa Rahmatullah wa Barakatuh

Bapak Imam besar yang terhormat. Dulu saat saya menjadi TKI di Arab, saya tidak menemukan pemisahan antara khatib dan imam shalat Jum’at. Saya tidak pernah melihat penyelenggaraan shalat jum’at dengan khatib dan imam yang berbeda. Lazimnya, khatib adalah imam, imam adalah khatib. Namun di Indonesia saya sering menemukan pemisahan, antara khatib dengan imam. Dari kedua cara tersebut kira-kira mana yang paling benar? Dan apakah seorang Khatib itu boleh berdeklamasi saat khotbah?


Jawaban:

Wa’alaikum Salam Wr. Wb.

Dalam hadits riwayat Imam al-Bukhori dari Abu Hurairah, Rasulullah Saw. bersabda:

إِذَا قُلْتَ لِصَاحِبِكَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ أَنْصِتْ . وَالإِمَامُ يَخْطُبُ فَقَدْ لَغَوْتَ

Artinya: “Apabila kamu berkata kepada temanmu pada hari Jum’at “Diamlah!” sementara imam sedang berkhutbah, maka kamu telah sia-sia.”

Hadis ini menunjukkan, khatib adalah imam itu sendiri. Namun dalam kitab Fath al-Bari karya Ibnu Hajar al­ Asqalani, tidak ada pembahasan perihal pemisahan antara imam dengan khatib Jum’at. Kami sendiri tidak tahu persis, sejak kapan dan dengan alasan apa di Indonesia ada tradisi pemisahan ini tidak ada dasar hukumnya, pengintegrasian antara khatib dan imam shalat Jum’at perlu dikembalikan seperti semula, sesuai tuntunan Nabi Muhammad SAW.

Selanjutnya ada pendapat, pemisahan antara imam dan khatib Jum’at itu disebabkan khatib tidak fasih membaca ayat-ayat al-Quran, sedang imam tidak dapat berkhutbah. Pendapat ini sering dikaitkan dengan hadits riwayat Imam Muslim: “Yaummu al­ qouma aqrouhumlikitabillah” Artinya:” Yang mengimami orang-orang adalah yang paling bagus bacaannya terhadap kitab Allah.”

Kata “aqrauhum” dalam hadis itu ternyata mengandung banyak penafsiran. Ada yang menafsirkan, “aqrouhum” adalah yang paling alim atau faqih terhadap al-Quran. Ada juga yang mengartikan yang paling bagus bacaan al-Qur’annya. Imam Nawawi, dalam kitabnya Syarh Shahih Muslim, menafsirkannya dengan “auro’uhum” (yang paling wara’), yaitu orang ketat menjaga diri dari perbuatan atau barang-barang haram maupun syubhat.

Suatu ketika Nabi Muhammad Saw. dalam keadaan sakit, sehingga udzur menjadi imam shalat jamaah. Kendati banyak sahabat yang bagus bacaan al-Qurannya. Seperti Abu Musa al-Asy’ari, Ubai bin Ka’ab dan lain sebagainya. Namun beliau tidak menunjuk mereka sebagai penggantinya, melainkan menunjuk Abu Bakar al-Shiddiq. Ini mengisyaratkan, bacaan al-Quran yang bagus bukan syarat atau rukun shalat berjamaah. Melainkan alfhadhilah saja. Tapi diakui, yaitu imam mau tidak mau harus belajar membaca al­-Quran dengan baik.

Khatib Berdeklamasi

Seorang petugas azan (muadzin) Masjid Istiqlal Jakarta bertanya kepada kami. “Pak Ustadz,” sapanya pada kami. “Tuntunan khutbah yang benar itu bagaimana? Soalnya belum lama ini di masjid Istiqlal ada khatib yang tangannya ngacung – ngacung, menunjuk-nunjuk ke kiri dan ke kanan, seperti layaknya juru kampanye yang sedang berlaga di alun-alun menjelang pemilihan umum,” paparnya.

“Khatib itu mantan deklamator”, jawab kami. “Di sekolahnya dulu ia pernah menjadi juara deklamasi. Karenanya, pada waktu berkhutbah ia juga masih bergaya deklamasi”, tambah kami

Memang, gerakan gerakan tangan seperti khutbah itu tidak membatalkan, tapi tetap tidak etis, karena khutbah adalah ibadah murni seperti halnya shalat yang perlu ketenangan dan kekhusyu’an.

Ada kisah menarik terkait gerakan tangan berkhutbah. Ketika Bisyr bin Marwah sedang berkhutbah dan ia mengangkat kedua tangannya, tiba­ tiba seorang jamaah bernama Umarah bin Ruaibah berkata: “Semoga Allah Swt memburukkan kedua tangannya itu, karena saya melihat Rasulullah Saw ketika berkhutbah tidak pernah lebih dari berisyarat dengan jari telunjuknya.”

Dalam hadis ini Nabi Muhammad Saw memang menunjuk, tapi dalam berbagai riwayat beliau tidak menunjuk-nunjuk. Nabi Muhammad Saw hanya berisyarat ke atas dengan jari telunjuk ketika membaca kalimat tauhid, sebagai tanda keesaan Allah Swt dan beliau tidak ngacung-ngacung ke kiri dan kanan.

Bagaimana mengangkat kedua tangan saat berdoa dalam khutbah? Tampaknya para ulama berbeda pendapat. Imam Malik dan sebagian ulama mazhab Syafi’i menyatakan, yang sunnah khatib tidak mengangkat tangannya ketika berkhutbah. Sementara madzhab Maliki membolehkannya. Alasannya, pada waktu Nabi Muhammad SAW berkhutbah dan berdoa untuk meminta hujan, beliau mengangkat kedua tangannya. Tapi walau bagaimanapun, mengangkat tangan yang dibolehkan ketika khatib sedang berdoa, itu bukan ngacung-ngacung atau mengepal-ngepal seperti orang yang sedang berdeklamasi. Wallahu  a’lam.

(Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA., Imam Besar Masjid Istiqlal. Sumber: Tebuireng Online)