Anda Istiqamah Berpeci? Rasakan Magic dan Kekuatan di Balik Berpeci

 
Anda Istiqamah Berpeci? Rasakan Magic dan Kekuatan di Balik Berpeci

LADUNI. ID, KOLOM-Dayah atau pesantren merupakan lembaga pendidikan tertua di dunia ini.Penyebaran Islam di nusntara tidak lepas dari peran dayah. Dayah itu sendiri berasal dari kata “zawiyah” yang bermakna sudut atau pojok mesjid. Kata zawiyah itu pada mulanya dikenal di Afrika Utara pada awal perkembangan Islam. Zawiyah dimaksdukan kala itu adalah pojok mesjid yang menjadi halaqah para sufi, mereka biasanya berkumpul dan bertukar pikiran dan pengalaman, berzikir, berdiskusi dan beriktikaf di mesjid. Di Aceh dalam khazanah pendidikannya, istilah zawiyah itu berubah menjadi dayah, hal ini sama seperti kata “madrasah” berubah menajdi “meunasah” di kalangan masyarakat Aceh. (Helmi Abu Bakar el-Langkawi, Dayah Dalam Perspektif Sejarah, 2017).


Era modern saat ini yang dikenal dengan era 4.0, keberadaan Dayah menjadi benteng terakhir untuk memfilter generasi dari berbagai pengaruh luar. Dan sejak awal mulanya menjadi tempat menerpa generasi penerus dalam membekali para santrinya dengan berbagai macam disilpin ilmu agama dan mendidik akhlak dan budi pekerti.

 Dayah dewasa ini lahir dengan inovasi baru di zaman semakin canggih imformasi dan    teknologinya, diharapkan mampu untuk menjawab tantangan.

Berbicara dunia dayah tentunya ada nilai keunikan dan pengalaman yang tidak dapat dilupakan. Fenomena itu pasti masih terlukis dalam memori mereka yang pernah nyantri. Kehidupan dunia dayah tidak terlepas dari kain sarung dan peci. 

Sejarah Peci 

Ada yang mempercayai bahwa peci awalnya dibuat oleh Sunan Kalijaga yang menyebutnya dengan 'kuluk'. Ia menghadiahi Sultan Fatah, anak dari raja terakhir Kerajaan Majapahit sebuah kuluk yang melambangkan persamaan antara rakyat dan raja di mata Tuhan.


Selain itu, ada pula cerita bahwa peci dibawa oleh Laksamana Ceng Ho ketika berlayar ke Indonesia. Peci konon berasal dari kata pe yang artinya delapan dan chi yang artinya energi. Maka, bisa kita maknai peci adalah sebuah benda yang memiliki energi besar.


Di Turki, penutup kepala seperti peci ini disebut dengan Fez, sedangkan dalam bahasa Belanda disebutnya adalah petje yang artinya adalah topi kecil. Sementara itu, ada juga yang menyebutnya dengan kopiah yang artinya adalah kosong karena dipyah. Pyah adalah sebutan untuk 'dibuang' sehingga harapannya dengan mengenakna kopiah ini kita bisa membuang kebodohan dan sifat tidak terpuji lainnya.

Dari sekian banyak makna peci dengan ragam sebutannya itu, pada akhirnya kita memaknai bahwa peci memang menjadi salah satu pelengkap busana yang akan menambah karisma siapapun yang mengenakannya. Peci bahkan dianggap sebagai barang magis bagi orang-orang terdahulu. Hal ini ditulis oleh Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto dalam buku Sejarah Nasional Indonesia III yang mengatakan demikian, "Peci dari Giri dianggap magis dan sangat dihormati serta ditukar dengan rempah-rempah, terutama cengkeh.”

Peci Identitas dan Marwah Santri

Seperti yang kita bicarakan diatas peci dan sarung dua hal tersebut menjadi simbol dan ciri khas aneuk dayah walaupun mereka sudah menjadi alumni. Namun dari dua simbol itu peci menjadi ciri khas santri saat mereka tidak lagi di dayah atau alumni dan ini berbeda dengan kain sarung. 

Memakai kain sarung terkadang dengan kondisi dan aturan suatu lembaga mengharuskan dengan pakaian tersendiri seperti harus bercelana dan lainnya tentu saja ciri khas terakhir milik sang peci. 

Mereka yang berpeci itu tidak sedikit dari kalangan nonsantri bahkan terkadang peci disaat bukan saat beribadah dan sejenisnya peci itu juga di pakai masyarakat pada umumnya. Menyikapi hal ini tentunya peci tidak mesti sebagai simbol kaum sarungan alias santri namun sudah menjadi milik bersama.

Namun kita yang merupakan santri atau pernah nyantri tentunya berpeci itu sudah menjadi "kewajiban" dan simbol identitas dimanapun berada dan dalam kondisi apapun. Ada ruh tersendiri kita santri yang berpeci, ruh itu akan menjadi benteng kita saat beraktifitas dalam keseharian.

Kita yang pernah nyantri tidak menyadari dan terkadang mengabaikan ruh itu menyemat dalam jiwa kita, salah satunya kita melepaskan tidak berpeci saat berada ditempat yang umum atau di pasar atau tempat kita beraktifitas. 

Sebagian mereka merasa malu dan tidak pantas memakai peci, takut diketahui jatidiri sebagai santri dan tidak bisa bebas beraktifitas, masih kelas satu dan beribu alasan lainnya. Satu sisi kita terimalah mereka masih tahjizi atau kelas ibtidaiyah, namun sangat kita sayangkan mereka yang sudah kelas tsanawiyah dan aliyah bahkan sudah menjadi santri senior baik sebagai dewan guru ataupun tidak melepaskan simbol dan jatidiri sebagai santri. Pantaskah begitu? 

Kenapa harus malu dengan simbol dayah yang merupakan "kebun surga dunia". Santri merupakan penghuni kebun surga dunia dengan salah satu simbolnya berpeci hendaklah kita pertahankan identitas kita. Mereka yang ogah dan apatis dengan simbol ini pasti akan berdalil yang penting akhlak dan ilmunya, peci itu tidak begitu penting. Biarkan mereka berdalil dan berhujjah dengan seribu alasan. Presiden Sukarnao Sang proklamator negeri ini menyebutkan , peci menjadi simbol kepemimpinan. Sejarah telah mencatat setidaknya itulah yang ia perdebatkan dengan dirinya sendiri ketika akan menghadiri rapat Jong Java.

Kita hendak berbicara identitas dan simbol walaupun ilmu dan akhlaknya juga sangat penting tentunya tidak harus menunggu sempurna dalam berbuat, apakah masih teringat dengan sebuah kaedah untuk hal ini,

ما لا يدرك كله لا يترك كله

“Jika tidak didapati seluruhnya, jangan tinggalkan seluruhnya (yang mampu dikerjakan).”

Beranjak dari penjelasan diatas salah satu pesan yang hendak kita sampaikan, jangalah kita merasa minder dan malu dengan identitas dan simbol diri sendiri termasuk peci yang menjadi bagian dan simbol serta identitas dayah. Ruh peci itu akan mewarnai nuansa kehidupan kita dalam keseharian, peci itu akan memberikan aura lewat rabitah kepada mereka yang akan memakai, rasakan dan resapi di balik the power relegi peci, Insya Allah akan tertransfer nilai positif dan "magic"nya. Tidak percaya? Tanyakan kepada sang peci dan sang ilahi. 

 

***Helmi Abu Bakar el-Langkawi, Penggiat Literasi dan Penikmat Kopi BMW Cek Pen Lamkawe