Santri dan Sarung, Satu Kesatuan Dalam Bungkus Fleksibilitas Pola Pikir

 
Santri dan Sarung, Satu Kesatuan Dalam Bungkus Fleksibilitas Pola Pikir

LADUNI.COM - Pada lawatannya ke Bali minggu lalu (2 sd 4/2), Ustadz Ach Dhofir Zainy atau akrab disapa Gus Dhofir mengunjungi beberapa daerah antara lain Jembrana, Buleleng, dan Denpasar.

Dalam rangka kegiatan bedah buku 'Peradaban Sarung' yang ditulisnya, Rektor Sekolah Tinggi Ilmu Filsafat (STIF) Malang itu berbicara tentang banyak hal, khususnya mengenai fenomena pembusukan dalam tubuh NU yang disinyalir adalah upaya pelemahan paham aswaja di Nusantara melalui ideologi Islam transnasional yang dibawa oleh sebagian kelompok yang terdoktrin faham sistem khilafah.

Ditulisnya buku Peradaban Sarung oleh Kyai muda ini adalah untuk mempertegas peranan santri dalam menjaga Aswaja dan Negara saat ini. Menurut Gus Dhofir filosofi sarung yang dimaknai sebagai bungkus, demokratis, dan fleksibel ini cukup mempresentasikan karakter santri yang sangat tepat saat ini untuk menghadang gerakan-gerakan pembusukan NU dari dalam.

Santri dan sarung yang terkesan tradisional tak serta merta tertinggal dalam pola pikir progresif dalam menyikapi perkembangan kondisi zaman. Ditunjukkan oleh kalangan para kyai muda pada tahun 1924 dengan gerakan melawan faham Wahabi yang muncul di negara Saudi Arabia melalui inisiatif Kyai Wahab Hasbullah dengan komite Hijaznya. Gerakan inilah yang menjadi embrio lahirnya Nahdlatul Ulama.

 

baca juga: Sarungan Tidak Menghalangi Pola Pikir Progresif Santri  

Berdirinya Nahdlatul Ulama di tahun 1926 di bawah komando Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari itu menjadi tonggak awal pembangunan benteng Aswaja Nusantara, bahkan sekarang dunia. Ini dibuktikan dengan banyaknya negara-negara mayoritas berpenduduk muslim dunia saat ini menjadikan Indonesia sebagai rujukan dalam menjalankan konsep Islam ramatan lil ‘alamin yang toleran dan moderat dan terbungkus dalam ideologi orisinil bangsa ini yaitu Pancasila.

Gus Dhofir yang juga salah satu penulis LTN NU Kabupaten Malang ini mengatakan, "Tdak akan ada penghuni yang dengan sengaja membakar rumahnya sendiri”, menanggapi upaya-upaya melemahkan eksistensi NU dalam tugasnya menjaga keutuhan dan persatuan bangsa yang diwariskan oleh para ulama terdahulu.

Beliau juga menjelaskan makna kata 'Nahdlah' pada nama Nahdlatul Ulama yang mempunyai arti "Sekali bangkit/bangun pantang untuk tumbang atau tertidur lagi". Ini menegaskan bahwa adalah kewajiban generasi sekarang untuk merawat serta menjaga marwah Nahdlatul Ulama sesuai azas-azasnya yaitu toleran, ramah, seimbang, dan moderat ditengah keragaman bangsa yang terbungkus dalam bingkai NKRI sesuai kesepakatan para founding fathers.

Islam di Indonesia (Islam Nusantara) saat ini banyak dilirik dan menjadi role model negara-negara Islam di seluruh dunia dalam menjaga keutuhan bangsa terlebih bagi negara-negara multikultur.

(dad)