Tarian Sufi #1: Gerakan Sufi Mengingat Kematian

 
Tarian Sufi #1: Gerakan Sufi Mengingat Kematian

 

LADUNI.ID, KOLOM- ISLAM merupakan agama dengan syariat yang universal. Setiap gerak dan aktifitas itu akan bernilai ibadah apabila kita mampu merealisasikan dengan qaidah dan aturan yang telah digariskan dalam syariat sebagaimana dijelaskan ulama sebagai warisatul ambiya.

Gerak gerik dan untaian kalimat mengingat kematian ada yang disebut zikir maut. Jalan mengingat kematian sangat banyak. Kita mengetahui bahwa kematian merupakan akhir dari sebuah kehidupan dunia dan pintu gerbang menuju akhirat.

Rasulullah dalam banyak hadist menganjurkan kepada kita untuk merenungkan kepada maut (kematian), diantaranya, beliau bersabda:

“Perbanyaklah mengingat-ingat sesuatu yang melenyapkan segala macam kelezatan(kematian).” (HR. At-Tirmidzi). Dalam hadist yang beliau juga bersabda: “Orang yang paling banyak mengingat mati dan paling baik persiapannya untuk kehidupan setelah mati. Mereka itulah orang-orang yang cerdas.” (HR. Ibnu Majah no. 4259).

Islam sebagai agama yanga bersifat universal, disamping dalam ajarannya diajarkan etika, Islam juga mengajarkan estetika dalam aplikasi kehidupan sehari-hari.

Salah satu estetika dalam menerjemahkan kematian sebagai mana yang diajarkan oleh Syekh Jalaluddin Ar-Rumi lewat tarekat Maulawiyah yang dikenal dengan nama Tarian Sufi. Di antara nilai yang ditonjolkan dalam gerakan tarian ini untuk mengingatkan kita kepada kematian.

Syekh Jalaluddin Ar-Rumi merupakan sosok ulama pencetus lahirnya tarekat Maulawiyah dalam implementasinya tarekat ini dengan gerak-gerik yang berputar disertai dengan zikir dan alunan musik.

Tarian ini dikenal dibelahan dunia barat dikenal dengan nama “The Whirling Darvishes”, sedangkan didunia timur disebut dengan Sama’ / Sema (mendengar). Syekh Ar- Rumi lahir di Balkh (Afganistan) pada tanggal 6 Rabiul Awwal tahun 604 Hijriah, atau tanggal 30 September 1207 Masehi.

Ayahnya masih keturunan Abu Bakar, bernama Bahauddin Walad. Sedang ibunya berasal dari keluarga kerajaan Khwarazm, keturunan Ali bin Abi Thalib.

Sebelum terjun kedunia sufistik, Syekh ar-Rumi terkenal seorang teolog yang handal pada masanya, namun ketika bertemu dengan Syams al-Din Tabrizi pada tahun 1244 M.

Akhirnya perjumpaan ini ternyata telah mengubah hidup Syekh Rumi menjadi seorang penyair sufi yang sangat terkemuka. Hal ini dilukiskan dalam bait syairnya:

Hasratku pada Sang Kekasih telah membawaku terbang melintasi samudera ilmu dan keluasan al-Qur’an. Aku menjadi gila. Kutelusuri bentangan sajadah dan masjid dengan segenap hasrat dan kekhusyukan. Kukenakan pakaian pertapa untuk memperkaya kebajikan. Cinta menghampiriku, dan berkata ”Wahai sang Guru, lepaskan dirimu! Mengapa kau terp[aut pada sajadah? Tidakkah kau ingin hatimmu bergetar di hadapan-Ku! Tidakkah kau ingin melampaui pengetahuan dengan penglihatan? Maka tundukan kepalamu..”. (Aflaki, Menaqib Al-Arfian, h. 20.)

Syekh Ar-Rumi meninggalkan warisan pemikiran spiritual yang banyak menginspirasi umat Islam. The Whirling Darvishes salah satu inspirasi yang ditinggalkan Rumi yang merupakan paduan warna dari tradisi, sejarah, religi, dan budaya Turki.

Dalam persepsi ar-Rumi kondisi dasar semua yang ada di dunia ini adalah berputar. Tidak ada satu benda dan makhluk yang tidak berputar. Keadaan ini diakibatkan oleh perputaran elektron, proton, dan neutron dalam atom merupakan partikel terkecil penyusun semua benda.

Ar-rumi mengibaratkan perputaran partikel tersebut sama halnya dengan perputaran jalan hidup manusia dan perputaran bumi.

Prosesi kehidupan manusia mengalami perputaran, dari ‘adam (tidak ada), menjadi wujud (ada), kemudian kembali menjadi ‘adam.

Manusia merupakan makhluk ahsanu at-taqwim (sebaik-baik bentuk) yang dibekali akal dan kecerdasan membuatnya berbeda dan lebih utama dari makhluk ciptaan Allah yang lainnya. (Bersambung)

***Helmi Abu Bakar El-Langkawi, Penggiat Literasi asal Dayah MUDI Mesjid Raya Samalanga