Kebencian yang 'Dipersenjatai'

 
Kebencian yang 'Dipersenjatai'

LADUNI.ID, Jakarta - Jumat, 15 Maret 2019 lalu adalah salah satu hari terkelam dalam sejarah kehidupan bernegara dan bermasyarakat di Selandia Baru. Di hari itu Brenton Tarrant, seorang warga negara Australia yang tinggal di Christchurch, Selandia Baru, dengan berbusana taktikal ala militer dan dengan mempersenjatai dirinya dengan dua senapan semi otomatis, dua senapan shotguns dan satu senapan lever-action, melakukan penembakan secara brutal terhadap jemaat yang sedang melaksanakan salat Jumat di Masjid Al-Noor dan di Masjid Linwood.

Tindakan penembakan brutal yang kemudian disebut oleh Perdana Menteri Selandia Baru sebagai aksi teroris ini menewaskan 49 orang dan melukai puluhan lainnya. Yang membuat aksi teror ini berbeda dengan yang lainnya adalah karena si penembak melakukan siaran langsung saat dia menembaki orang-orang yang tidak berdosa tersebut.

Dari sisi keamanan, yang pertama kali akan dilakukan oleh aparat keamanan adalah profiling dengan membuka seluruh riwayat kehidupan dari pelaku teror tersebut. Mereka akan melihat rekam jejak kriminalitas pelaku, latar belakang keluarga, pendidikan, pertemanan baik offline maupun online, riwayat perjalanan pelaku di dalam maupun di luar negeri dan siapa yang dia temui saat dia berada di luar negeri.

Seluruh kehidupannya akan dibuka untuk mengetahui motivasi atau alasan pelaku melakukan tindakan teror tersebut, apa yang menjadi pemicu bagi dia untuk melakukan serangan tersebut, dan apa rencana dia setelah melakukan serangan tersebut. Hal ini tentu membutuhkan waktu dalam pengumpulan bahan keterangan maupun proses analisisnya sampai aparat memiliki gambaran yang lengkap tentang sang pelaku, maupun untuk mengantisipasi terjadinya aksi serupa yang mungkin saja dilakukan oleh orang dengan profil yang sama.

Berdasarkan informasi yang sudah beredar di media online , sang pelaku memang memiliki sentimen kebencian yang luar biasa terhadap imigran maupun terhadap warga muslim. Kemungkinan besar karena asumsi dia bahwa imigran itu rata-rata adalah warga muslim.

Dia merasa bahwa dirinya sebagai warga kulit putih yang terancam atas kehadiran kaum imigran yang berniat menguasai daerahnya, dan kebudayaannya. Debat tentang kebijakan imigrasi yang dilakukan oleh Pemerintah Selandia Baru sendiri terjadi secara terus menerus dan selalu menjadi topik debat para politisi dan partai-partai politik di negara dengan penduduk hanya sekitar 4,8 juta jiwa ini. Hal ini membuat kaum imigran yang beragama Islam dianggap sebagai ancaman bagi sang pelaku.

Rasa kebencian yang dimiliki oleh pelaku ini kemudian bisa termanifestasi menjadi aksi teror ketika pelaku memiliki akses ke senjata api. Sebagai negara dengan jumlah penduduk yang mendekat lima juta jiwa, jumlah senjata api yang terdata di Selandia Baru adalah sekitar 1,2 juta.

Artinya bahwa akses senjata api itu cukup gampang. Sang pelaku sendiri diketahui memiliki izin resmi kepemilikan senjata api yang dipergunakan dalam aksi terornya, di mana dia memakai lima senjata api dan ratusan amunisi saat menjalankan aksinya.

Ada hal penting yang bisa diambil sebagai lessons learned dari aksi teror di Selandia Baru kemarin yaitu bahwa kebencian yang luar biasa terhadap satu komunitas tertentu yang dianggap menjadi ancaman, bisa menjadi motif bagi orang untuk berbuat kejahatan. Kejahatan ini bisa berubah menjadi kekerasan ekstrem atau teror ketika orang punya akses ke kepemilikan senjata api dan merasa bahwa dirinya terancam.

Di Indonesia, ujaran-ujaran kebencian bahkan provokasi-provokasi antiidentitas tertentu itu sangat sering kita lihat di media online . Ada kelompok-kelompok radikal maupun ekstrem yang selalu memainkan narasi kebencian bahwa mereka, sebagai kaum mayoritas, sedang terancam oleh kaum minoritas.

Ujaran-ujaran ini masih sebatas ujaran kebencian karena belum memperoleh katalis yang tepat. Akan tetapi, konflik dan kekerasan berbasis identitas yang terjadi di beberapa daerah di Indonesia menunjukkan bahwa di saat orang yang terpengaruh ujaran kebencian memiliki akses ke kepemilikan senjata api dan bahan peledak, maka eskalasi dari sebatas ujaran ke aksi teror itu bisa dengan cepat terjadi.

Untuk itu maka pemerintah Indonesia perlu melakukan mitigasi terhadap penetrasi ujaran kebencian dan pemikiran ekstrem ke institusi maupun kelompok yang memiliki akses ke kepemilikan senjata api, seperti TNI dan Polri, maupun melakukan peningkatan kewaspadaan dan pengawasan terhadap kemungkinan masuknya senjata api secara ilegal dari negara-negara tetangga.

Aksi teror di Christchurch menunjukkan bahwa kebencian yang ekstrem dan rasa sebagai mayoritas yang terancam, apabila diberi akses ke kepemilikan senjata api, bisa mempercepat berubahnya ujaran kebencian menjadi aksi kebencian dalam bentuk teror yang mematikan.


Artikel ini ditulis oleh Altho Luger dengan judul awal: Senjata Api sebagai Katalis: Belajar dari Teror di Selandia Baru