Biografi KH. Muhammad Wahib Wahab

 
Biografi KH. Muhammad Wahib Wahab
Sumber Gambar: Istimewa, Ilustrasi: Dens_art1 laduni.ID

Daftar Isi Biografi KH. Muhammad Wahib Wahab

1.    Riwayat Hidup dan Keluarga
1.1  Lahir
1.2  Riwayat Keluarga
1.3  Wafat
2.    Sanad Ilmu dan Pendidikan
2.1  Guru-guru
3.    Perjalanan Hidup dan Dakwah
3.1  Perjalanan Perjuangan Beliau
3.2  Perjalanan Karier Beliau
4.    Karya-karya Beiau
5.    Kisah Kyai Wahib Wahab, Bung Karno dan Jimat Sabuk Mbah Chasbullah Tambakberas
6.    Referensi

 

1.  Riwayat Hidup dan Keluarga

1.1 Lahir
KH. Muhammad Wahib Wahab atau yang kerap disapa dengan panggilan Gus Wahib lahir pada 1 November 1918. Gus Wahib merupakan putra pertama salah satu pendiri NU KH. Abdul Wahab Chasbullah dengan Nyai Hj. Maimunah, putri KH. Musa yang berasal dari Surabaya.

1.2 Riwayat Keluarga
Pada 1935, ketika Wahib baru berusia 19 tahun dan masih menjalani pendidikan di Madrasah Al-Falah Mekkah, beliau menikah dengan Siti Hannah, puteri K.H. Faqih dari Gresik. Dari pernikahan tersebut, beliau dikaruniai lima orang anak, yaitu:

  1. Umroh Mahfudzoh
  2. Nurjat Malihah
  3. Wahibah Maghfuroh
  4. Muhammad Ghozi
  5. Faizah.

Sedangkan pernikahan beliau dengan istri kedua beliau dikaruniai tiga orang anak

1.3 Wafat
KH. Muhammad Wahib Wahab meninggal dunia di Jakarta pada 12 Juli 1986 di usia 68 tahun. Jenazah beliau dimakamkan di samping makam ayahandanya KH. Wahab Chasbullah di kompleks makam keluarga di Tambakberas.

2. Sanad Ilmu dan Pendidikan

Semasa kecil Kiyai Wahib Wahab belajar di pesantren orang tuanya sendiri, yakni di mulai dari Pondok Tambakberas. Setelah selesai belajar kepada orang tuanya, beliau melanjutkan belajar ke beberapa pesantren, di antaranya, Pesantren Seblak Jombang, Pesantren Mojosari, Pesantren Nganjuk, Pesantren Kasingan Rembang dan Pesantren Buntet Cirebon. Hingga kemudian melanjutkan pendidikan tingginya di Merchantile Institute of Singapore tahun 1936 hingga 1938.

Pada 1939, Kiyai Wahib berangkat ke Tanah Suci selama setahun untuk memperdalam ilmu agama sekaligus menunaikan ibadah haji. Kehidupannya pun terus berlanjut dan semakin matang dalam keilmuannya.

2.1 Guru-guru Beliau

  1. KH. Abdul Wahab Chasbullah
  2. KH. Mas’hum Ali Seblak
  3. KH. Abbas Djamil Buntet

3. Perjalanan Hidup dan Dakwah

Meski kiprahnya di dunia militer hingga politik sangat mentereng, sebagaimana umumnya, di masa kecil, saat masih dipanggil Gus, adalah anak yang cukup bandel dan nakal. Meski sebagai anak Kiyai besar, Gus Wahib biasa menghabiskan waktu dengan bermain bersama teman-teman sebayanya.

Seorang temannya bernama Abdul Aziz, pernah menceritakan bahwa Gus Wahib itu sering lupa pulang ketika bermain, bahkan seringkali terlampau jauh dari tempat tinggalnya. Pribadinya memang dikenal sebagai anak yang nakal dan susah diatur. Namun kebiasannya ini menjadikan pergaulannya luas. Serta pembawaannya yang periang membuat siapa saja gemar bertemu dan berlama-lama untuk sekadar ngobrol dengannya. tulis Abdul Aziz di bukunya.

Masih menurut temannya, bahwa kebiasaan nyeleneh itu juga terus berjalan ketika Gus Wahib menimba ilmu di berbagai pesantren saat masih remaja. Gus Wahib memang pernah berkelana ke berbagai pesantren, namun tak pernah lama karena jiwa petualangnya sejak kecil. Bahkan pernah tidak pulang dalam waktu lama hanya karena mengikuti sebuah romboingan ludruk yang melakukan pertunjukan.

Ketika menimba Ilmu di Pesantren Buntet beberapa temannya mengakui bahwa Gus Wahib lebih senang menimba ilmu kanuragan, daripada belajar ilmu keagamaan laiknya santri umum.

Ia terlihat jarang memelajari ilmu agama, lebih-lebih ia lebih suka belajar cara membuka gembok lemari yang terkunci dengan amalan-amalan wirid. Dan beliau sangat senang ketika berhasil melakukannya,” kata H. Mustamid, teman mondok Gus Wahib dalam sebuah kesempatan.

Meski demikian, di balik sikapnya yang urakan tersebut, Gus Wahib di mata teman-temannya tetaplah sahabat yang baik, dermawan, cerdas dan bersolidaritas tinggi. Hal ini juga diakui sendiri oleh adiknya.

Yang jelas beliau itu banyak mengikuti sepak terjang abah, orangnya organisatoris dan senang terjun di masyarakat. Kepribadiannya itu tegas, bijaksana, kepemimpinannya menonjol dan sisi sosialnya itu tinggi sekali,” kata Bu Nyai Hj. Umroh Mahfudzoh.

3.1 Perjalanan Perjuangan Beliau

KH. Wahib Wahab yang saat itu menginjak usia dewasa memulai karier militer dengan bergabung dalam pasukan PETA. Hingga kemudian dirinya ikut pula bergabung dalam Laskar Hizbullah dan sempat menjadi komandan untuk wilayah Jombang, hingga bergabung ke barisan TNI Jombang.

Perjalanan KH. Wahib Wahab dalam kiprahnya di dunia militer diawali sekitar tahun 1940. Setelah Jepang berhasil mendarat di Indonesia menggantikan pendudukan Belanda sebelumnya, atas saran sang ayah, beliau akhirnya masuk tentara PETA setelah sebelumnya menjalani latihan di Bogor selama empat bulan.

Meski menjabat sebagai Shodanco atau komandan pleton, sikapnya juga terhitung cukup aneh dan konfrontif kepada Jepang. Semisal dengan keengganannya memakai seragam tentara hingga kedekatannya pada mayarakat yang juga digunakannya untuk mengobarkan semangat pemberontakan terhadap penjajah.

Di waktu bersamaan, Kiyai Wahib juga telah bergabung dengan Laskar Hizbullah, organisasi semi militer di bawah PETA yang berisikan anggota pemuda-pemuda Islam. Kariernya pun cukup mentereng. Bahkan Kiyai Wahib pernah tercatat mengomandani Laskar Hizbullah Jombang atas perintah KH. Hasyim Asy'ari untuk memobilisasi pemuda dan santri di wilayah Jombang, yang disampaikan  KH. Wahab Chasbullah kepada H. Affandi (Kaji Pandi Jagalan).

Putra sulung KH. Wahab Chasbullah ini menyanggupi, asal mendapat restu dari markas Kiyai yang saat itu sudah menempati front pertahanan di daerah Kedungsari Surabaya menjelang kedatangan pasukan sekutu. Suasana kota Surabaya memang mulai memanas sejak akhir Agustus 1945, karena sebagian besar pasukan Jepang yang kalah perang, ternyata menolak menyerahkan senjata kepada pejuang Indonesia. Hingga akhinya terbentuk Laskar Hisbullah Jombang yang dikomando langsung KH. Wahib Wahab.

Pasukan ini terus bertahan setelah beberapa kali berganti nama, seperti menjadi TRI Hizbullah hingga menjadi TNI Resimen 293 yang tetap di bawah komandonya. Meski ternyata Komandan Resimen 293, Letkol Wahib Wahab tidak lama memimpin pasukan ini, karena kemudian dia mengundurkan diri. Sebab, Letkol Wahib Wahab lebih dibutuhkan tenaga serta pikirannya untuk berjuang di jalur politik dengan menjadi politisi di Partai Masyumi dan di parlemen.

Selanjutnya, jabatan Komandan Resimen 293 diserahkan pada Letkol Mansyur Solichi, yang sebelumnya menjabat Kepala Staf Resimen 293. Namun, ada juga yang menyebut, alasan pengunduran diri dari karier militer itu karena Kiyai Wahib Wahab sangat kecewa dan menolak keras hasil Perundingan Linggarjati tahun 1947. Hal ini dikarenakan perjanjian tersebut, menunjukkan lemahnya posisi Indonesia mempertahankan kedaulatan. Karena sebagian besar wilayah Indonesia masih dikuasai Belanda dan sekutu.

3.2 Perjalanan Karier Beliau
Karier politik KH. Wahib Wahab cukup cemerlang. Beliau dikenal sebagai inisiator perwakilan NU ke luar negeri, seperti ke Singapura, Malaysia, Kamboja dan Saigon (Vietnam).  Selain pernah menjabat sebagai anggota DPR, beliau juga pernah menjadi Menteri Agama dan Menteri Perhubungan Sipil-Militer. Pensiun dari jabatan Menteri Agama, Kiyai Wahib Wahab memilih berbisnis dengan membesarkan usahanya di bidang pabrik ubin dan menetap di Kota Bandung.

Kiprahnya dalam dunia politik juga cukup sentral. Memanasnya hubungan politik antara kaum sipil politik dengan militer menyusul saling serangnya DPR dan pihak militer membuatnya kembali harus turut berperan aktif. Memang Kiyai Wahib pernah ditunjuk oleh Soekarno untuk memimpin sosialisasi langsung BKS (Badan Kerja Sama) Sipil-Militer ke berbagai penjuru Indonesia. Dalam Buku Menteri-Menteri Agama RI dijelaskan bahwa hal ini juga yang mengantarkan Kiai Wahib memikul tugas selanjutnya sebagai Menteri Negara Urusan Kerja Sama Sipil-Militer di masa genting pergolakan partai dan militer karena pengalaman di BKS yang dianggap berhasil.

Hingga puncaknya, Kiyai Wahib juga sempat menduduki kursi Menteri Agama Republik Indonesia setelah ditunjuk langsung Presiden Soekarno. Dalam masa kepemimpinanya banyak kebijakan revolusioner dilakukan. Sebut saja pendirian gedung Departemen Agama di tahun 1958, pendirian Masjid Istiqlal di tahun 1960 dan pembentukan IAIN serta penyerahan Al-Qur'an pusaka di tahun yang sama.

Adapun jabatan yang pernah beliau pegang, adalah:

  1. Anggota DPR.
  2. Menteri Penghubung Sipil Militer.
  3. Menteri Agama Kabinet Kerja I & II, 1959-1962.
  4. Ketua Departemen Penerangan Ansor di Surabaya, 1949.
  5. Ketua Umum GPII Jombang, 1942.
  6. Ketua I Pengurus Departemen Siasat PP GP Ansor, 1959.
  7. Ketua Pertanu (Persatuan Tani Nahdlatul Ulama).
  8. pembentuk kepengurusan perwakilan/cabang NU dan Ansor di Singapura, Malaysia, Kamboja dan Saigon (Vietnam).
  9. Komandan PETA (pembela tanah air), 1942-1947
  10. Panglima Hizbullah Divisi Sunan Ampel Jawa Timur.

4. Karya-karya Beliau

KH. Wahib Wahab adalah sosok yang aktif dalam menulis, sehingga beliau menghasilkan karya-karya, diantaranya adalah:

Beberapa karyanya antara lain:

  1. Bimbingan hidup bahagia 2, Muhammad Wahib Wahab, Jawatan Penerangan Agama, Departemen Agama, 1960.
  2. Fungsi wanita dalam masjarakat, K. H. M. Wahib Wahab, Djawatan Penerangan Agama, Departemen Agama, 1960.
  3. Menjambut ulang tahun Ke-XV Departemen Agama[pranala nonaktif permanen], K. H. M. Wahib Wahab, Djawatan Penerangan Agama, Departemen Agama, 1961.
  4. Menyambut ulang tahun kelima belas Departemen Agama, Muhammad Wahib Wahab (Haji.), Indonesia. Departemen Agama. Jawatan Penerangan Agama, 1961.
  5. Mutiara hikmah; kumpulan pidato-pidato K.H.M. Wahib Wahab dalam berbagai upatjara, M Wahib Wahab, [Djakarta] Djawatan Penerangan Agama, 1962.

5. Kisah Kiai Wahib Wahab, Bung Karno dan Jimat Sabuk Mbah Chasbullah Tambakberas

Terdapat suatu kisah menarik antara Kyai Wahib Wahab, Bung Karno dan jimat sabuk Mbah Chasbullah Tambakberas, Jombang, Jawa Timur. Kisah mengenai jimat sabuk tersebut dituturkan oleh KH. Maimun Zubair, pengasuh Pondok Pesantren Al-Anwar, Sarang, Rembang, Jawa Tengah. Kyai Maimun Zubair sangat mengenal dan memahami Kyai Wahib Wahab karena keduanya masih termasuk saudara.

Kyai Wahib Wahab juga sering disapa dengan panggilan Gus Wahib, merupakan putra pertama dari KH. Abdul Wahab Chasbullah dengan Nyai Hj. Maimunah, Gus Wahib pernah menjadi komandan Laskar Hizbullah untuk wilayah Jombang.

Alkisah, berdasarkan cerita dari Kiai Maimun Zubair, sekitar tahun 1950-an, Kiai Wahib muda sudah menjadi menteri. Selaku Menteri Agama  pada masa tersebut, Gus Wahib pernah mengusulkan pembubaran PKI.

Gagasan tersebut termasuk sebuah gagasan yang amat berani, mengingat pada waktu tersebut PKI sedang dalam masa kejayaannya. Mengapa Gus Wahib bisa seberani itu? Kyai Maimun menjelaskan bahwa keberanian tersebut karena Gus Wahib memiliki sebuah sabuk jimat.

“Mengapa Kyai Wahib berani dan ditakuti PKI? Sebab Kyai Wahib memiliki jimat sabuk atau ikat pinggang dari Mbah Chasbullah,” tutur Kyai Maimun.

Jimat tersebut merupakan peninggalan dari kakeknya, Kyai Chasbullah Said atau Mbah Chasbullah. Sabuk tersebut selalu dipakai oleh Mbah Chasbullah ketika peristiwa-peristiwa penting terjadi. Bahkan saat Gus Wahib diangkat menjadi Menteri Urusan Sipil Militer, beliau selalu memakai sabuk tersebut.

Suatu ketika, Bung Karno harus melakukan kunjungan kenegaraan ke Aceh, namun para menterinya pada waktu itu menyarankan agar Bung Karno tidak pergi ke Aceh. Hal tersebut bukan tanpa alasan, melainkan karena masyarakat Aceh pada waktu itu sangat marah kepada Bung Karno karena dianggap lebih memerhatikan rakyat Jakarta dan Pulau Jawa daripada rakyat Aceh. Padahal kontribusi rakyat Aceh bagi kemerdekaan Indonesia waktu itu sangat besar. Rakyat Aceh merasa dianaktirikan.

Namun, siapa sangka, ketika hampir semua menteri melarang Bung Karno berkunjung, Kyai Wahib justru menyarankan agar Bung Karno melakukan kunjungan tersebut.

Kyai Wahib berkata, “Pak Presiden, jangan takut, Pak Presiden harus ke Aceh, saya yang akan mendampingi dan saya yang menjadi jaminan keselamatan Pak Presiden.”

Akhirnya Bung Karno pun setuju untuk melakukan kunjungan ke Aceh bersama Kyai Wahib. Ternyata, sesampainya di Aceh, masyarakat Aceh justru menyambut hangat kehadiran Bung Karno dan Kyai Wahib. Kyai Maimun menjelaskan dalam ceritanya bahwa hal tersebut bisa terjadi kemungkinan besar karena barokah dari sabuk Mbah Chasbullah yang dipakai oleh Kyai Wahib.

6. Referensi

  1. https://ansorjatim.or.id
  2. https://hidayatuna.com/kisah-kiai-wahib-wahab-bung-karno-dan-jimat-sabuk-mbah-chasbullah-tambakberas/
  3. https://radarjombang.jawapos.com/nasional/66990469/mengenal-muhammad-wahib-wahab-sang-komandan-laskar-hisbullah
 

Lokasi Terkait Beliau

List Lokasi Lainnya