Nyai Khairiyah Hasyim Asyari: Ulama Perempuan Nusantara di Haramain

 
Nyai Khairiyah Hasyim Asyari: Ulama Perempuan Nusantara di Haramain
Sumber Gambar: Pinterest, Ilustrasi: laduni.ID

Laduni.ID, Jakarta - Siapa yang tidak kenal dengan Kitab Shahih Bukhari, kumpulan Hadis baginda Nabi Muhammad SAW yang dihimpun oleh Imam Al-Bukhari dari berbagai ulama dari belahan dunia Islam. Kitab ini disepakati para ulama sebagai kitab yang paling shahih setelah kitab suci Al-Qur’an. Dalam Kutubussittah, Kitab Shahih Bukhari menempati peringkat pertama, yang kemudian disusul oleh Shahih Muslim, Sunan Abu Dawud, Sunan Al-Tirmidzi, Sunan Al-Nasai, kemudian Sunan Ibnu Majah.

Selain sebagai sumber hukum terkuat setelah kitab suci Al-Qur’an, Kitab Shahih Bukhari diyakini mempunyai keberkahan yang luar biasa bagi orang yang mau membaca dan mengamalkan isi yang terkandung di dalamnya. Banyak ulama berwasilah melalui Kitab Shahih Bukhari supaya Allah menghilangkan penderitaan yang terjadi di Nusantara, seperti ketika bangsa Indonesia (Aceh) dijajah, kemudian mereka mengumandangkan perang Sabil, banyak doa bertebaran di Haramain yang ditujukan untuk kemenangan rakyat Aceh (umumnya bangsa Indonesia).

Ulama Nusantara yang di Haramain selalu memanjatkan doa untuk kemenangan bangsa Indonesia, salah satu medianya adalah dengan wasilah membaca Kitab Shahih Bukhari di tempat yang mustajab seperti di Multazam. Oleh sebab itu, maka tidak mengherankan, jika kompeni merasa kuwalahan dalam melawan rakyat Aceh, sehingga mereka mencari rahasia di balik sulitnya Aceh ditaklukkan, ternyata kuncinya ada di Haramain. Mereka mengutus Snock Hurgronje untuk meneliti semua itu, aktivitas ulama Nusantara di Haramain.

Selain digunakan sebagai wasilah untuk kemenangan bangsa Indonesia dalam mengusir penjajah, Kitab Shahih Bukhari juga pernah digunakan sebagai wasilah untuk menghilangkan mara bahaya, bencana gunung merapi yang hendak meletus. Ketika gunung merapi di Magelang hendak meletus, Kyai Dalhal Watucongol membacakan Kitab Shahih Bukhari dekat gunung tersebut, sehingga Allah-pun mengabulkan doanya, gunung merapi tidak jadi meletus, bencana tidak jadi menimpa wilayah Jawa Tengah dan sekitarnya.

Karena pentingnya Kitab Shahih Bukhari bagi umat Islam, maka seorang kyai belum dikatakan sempurnya keulamaannya jika belum pernah mengaji Kitab Shahih Bukhari. Oleh sebab itu, dalam sejarah ulama-ulama besar Nusantara, seperti Syaikh Nawawi Al-Bantani, Syekh Mahfudz Al-Termasi, dan Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi pernah mengaji dan menghatamkan kitab tersebut. Mereka semua adalah guru besar di Masjidil Haram yang menjadi rujukan dunia Islam. Halaqahnya dikitari thalabah dari berbagai penjuru dunia, terlebih yang berasal dari Nusantara.

Tradisi mengajar Kitab Shahih Bukhari dan merawat silsilah keilmuannya telah diteladankan oleh Syekh Nawawi Al-Bantani yang kemudian dilanjutkan oleh kedua muridnya, yaitu Syekh Mahfudz Al-Termasi dan Syaikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi. Bahkan untuk Al-Termasi, setiap membaca satu Hadis dalam Kitab Shahih Bukhari, ia sering membaca rawi dari gurunya sampai rawi sahabat, yang meriwatkan dari Shahibu Al-Syariah, baginda Nabi Muhammad Saw.

Tradisi semacam ini dilestarikan oleh murid-murid Al-Termasi, seperti Syekh Umar Hamdan Al-Mahrusi dan Kyai Hasyim Asy’ari. Kedua murid Al-Termasi ini merupakan pakar hadis yang masyhur. Al-Mahrusi dijuluki sepakai muhaddistu al-haramain (pakar hadisnya tanah Haramain), sedangkan Kyai Hasyim Asy’ari dikenal sebagai pakar hadis dari tanah Jawa. Ia sering membalagh (membacakan kitab) Hadis Bukhari ketika bulan Ramadhan tiba. Pengajiannya ini diikuti banyak kalangan, bahkan gurunya sendiri, Syaikhona Khalil Bangkalan ikut menghadiri halaqah tersebut. Hal ini sebagai bukti, pengakuan atas keilmuan yang tersemayam dalam diri Kyai Hasyim Asy’ari.

Tradisi mengajar Kitab Shahih Bukhari yang pernah dilakoni oleh Kyai Hasyim Asy’ari dilanjutkan oleh putri tertuanya, yaitu Syaikhah Khairiyah Hasyim. Ia dikenal dengan kealimannya. Menurut sebagian pendapat, ia merupakan anak Kyai Hasyim Asy’ari yang paling alim dalam bidang keagamaan. Hal ini merupakan sebuah kuwajaran, sebab ia menerima transmisi keilmuan langsung di bawah bimbingan sang ayah, kemudian dilanjutkan belajar kepada suaminya, Kyai Ma’shum Ali Kwaran, yang masyhur dengan kealimannya.

Setelah sang suami meninggal, ia menikah untuk yang kedua kalinya, yaitu dengan Syekh Muhaimin Al-Lasemi, salah seorang ulama Nusantara (Rembang, Jawa Tengah) yang menjadi pengajar di Masjidil Haram dan menjadi mudir ‘am di Madrasah Darul Ulum di Makkah Al-Mukarramah.

Semenjak menikah dengan Syekh Muhaimin Al-Lasemi, maka kencah keilmuan Syaikhah Khairiyah Hasyim menjadi semakin terasah. Ia berhasil membangun jaringan keilmuan di Haramain dengan gemilang. Puncaknya, ia mendirikan Madrasah kuttabul banat di Haramain. Madrasah ini merupakan madrasah pertama kali di Saudi Arabia yang diperuntukkan bagi Kaum Hawa.

Ia diangkat menjadi direktur utamanya semenjak didirikannya (1942 M), hingga ia diminta oleh Presiden Soekarno untuk kembali ke tanah air, mencerdaskan kehidupan bangsanya (1957 M). Syaikhah Khairiyah Hasyim berkenan kembali ke Nusantara, selain karena faktor permintaan Bung Karno, juga disebabkan sang suami, Syekh Muhaimin Al-Lasemi sudah kembali ke Rahmatullah pada 1946 M.

Apa yang sudah diprestasikan oleh Syaikhah Khairiyah Hasyim dalam mengajar Kitab Shahih Bukhari ini, melanjutkan prestasi yang pernah ditorehkan oleh salah seorang ulama perempuan Nusantara, yang mengajar di Haramain. Ia adalah Syaikhah Fathimah binti Abdusshamad Al-Palimbani. Ia mengajar Kitab Shahih Bukhari yang sanad keilmuannya dijaring oleh Syekh Nawawi al-Bantani.

Syaikhah Fathimah Al-Palimbani meriwayatkan Kitab Shahih Bukhari dari ayahnya, Syekh Abdusshamad ibn Abdurrahman Al-Palimbani yang meriwayatkan dari Syekh ‘Aqib ibn Hasanudin ibn Ja’far Al-Palimbani yang meriwayatkan dari Syaikh Thayyib ibn Ja’far Al-Palimbani yang meriwayatkan dari Syekh Ja’far ibn Muhammad ibn Badrudin Al-Palimbani yang meriwayatkan dari Syekh Muhammad ibn ‘Alaudin Al-Babili yang meriwayatkan dari Syekh Ali ibn Yahya Al-Ziyadi yang meriwayatkan dari Syekh Ali ibn Ibrahim Al-Halbi yang meriwayatkan dari Al-Syam Muhammad ibn Ahmad Al-Ramli yang meriwayatkan dari Syekh Al-Islam Al-Qadhi Zakaria ibn Muhammad al-Anshari yang meriwayatkan dari al-Hafidz Syihabuddin Ahmad ibn Ali ibn Hajar Al-Asqalani yang meriwayatkan dari Syekh Ibrahim ibn Ahmad ibn Abdul Wahid Al-Syami yang meriwayatkan dari Abil Abbas Ahmad ibn Abi Thalib al-Dimasyqi yang meriwayatkan dari Al-Siraj Al-Husein ibn Al-Mubarak Al-Zabidi yang meriwayatkan dari Abi Al-Waqt Abdul Awwal ibn Isa Al-Harawi yang meriwayatkan dari Abi Al-Hasan Abdurrahman ibn Mudhaffar Al-Dawudi yang meriwayatkan dari Abi Muhammad, Abdullah ibn Muhammad Al-Sarkhasi yang meriwayatkan dari Abi Abdillah, Muhammad ibn Yusuf Al-Farbawi yang meriwayatkan dari Imam Al-Bukhari.

Untuk sampai kepada sanad Syaikhah Fathimah Al-Palimbani, Syaikhah Khairiyah Hasyim meriwayatkan sanad Shahih Bukhari tersebut dari sang ayah dan sang suami, Kyai Hasyim Asy’ari dan Syekh Muhaimin Al-Lasemi. Keduanya ini adalah murid dari Syekh Mahfudz Al-Termasi yang dikenal sebagai syaikhul masyayikh ulama Nusantara Haramain, Al-Jawi Al-Makki, yang meriwayatkan sanad keilmuan tersebut dari Syekh Abu Bakar Syatha dan Syaikh Nawawi Al-Bantani yang merupakan murid dari Syaikhah Fathimah Al-Palimbani. Wallahu A’lam. []


Catatan: Tulisan ini telah terbit pada tanggal 6 Mei 2019. Tim Redaksi mengunggah ulang dengan melakukan penyuntingan dan penyelarasan bahasa.
__________________
Editor: Kholaf Al Muntadar