Suluk Ibadah Mendekatkan Diri kepada Ilahi di Bulan Ramadhan

 
Suluk Ibadah Mendekatkan Diri kepada Ilahi di Bulan Ramadhan

LADUNI. ID, KOLOM-Kita saat ini telah berada di bulan Ramadhan  sebagai bulan ibadah, sebagian ahli  ibadah atau masyarakat menjadikan  bulan  ini  untuk memfokus  diri lebih  taqarrub kepada  Allah SWT. Salah  satu medianya  lewat bersuluk. Suluk merupakan implementasi dari tarekat Naqsyabandiah. Ibadah suluk merupakan bentuk pengamalan dari tarekat naqsyabandiah.

Suluk menjadi ibadah ritualitas terhadap mereka para ahli ibadah dalam bulan suci ramadhan ini., disamping ramadhandengan durasi maksimalnya suluk ada 40 hari, namun dalam bulan rabiul Awal dan Zulhijjah juga merupakan agenda rutin tarekat ini, durasinya minimal 10 hari dan ada juga sebagian tempat suluk yang menjalaninya 20 hari. 

Pengertian dan Dalil Suluk

Suluk secara etimologinya bermakna “menempuh jalan”. Jalan yang dimaksud adalah ‘jalan kembali kepada Allah’, yaitu ‘jalan taubat’ artinya ‘kembali’), atau jalan ad-diin. ‘Suluk’ secara harfiah berarti ‘menempuh’, (Sin – Lam – Kaf) asalnya dari firman Allah berbunyi : “…dan tempuhlah jalan Rabb-mu yang telah dimudahkan (untukmu).” (Q. S. An-Nahl [16] : 69).

Dalam literatur sejarah disebutkan bahwa Rasulullah melaksanakan suluk (berkhalwat) di Gua Hira sampai datang perintah untuk berda’wah, sebagaimana tersebut dalam hadits Bukhari :

“Diberi kesenangan kepada Nabi SAW, untuk menjalani khalwat di Gua Hira, maka beliau mengasingkan diri di dalamnya, yakni beribadat beberapa malam yang berbilang-bilang.” Nabi Musa juga menjalani pengasingan diri (khulwah/suluk) selama 40 hari lamanya untuk bertaqarrub kepada Allah Swt, sebagaimana yang  telah diabadikan  dalam  Firman Allah :

“Dan telah Kami janjikan kepada Musa (memberikan Taurat) sesudah berlalu waktu tiga puluh malam, dan Kami sempurnakan jumlah malam itu dengan sepuluh (malam lagi), maka sempurnalah waktu yang telah ditentukan Tuhannya empat puluh malam. Dan berkata Musa kepada saudaranya yaitu Harun: "Gantikanlah aku dalam (memimpin) kaumku, dan perbaikilah, dan janganlah kamu mengikuti jalan orang-orang yang membuat kerusakan."(Q.S. Al-A’Raaf : 142).

Ibadah suluk merupakan implementasi dari tarekat Naqsyabandiah itu berasal Dari Rasulullah.Tarekat ini berhulu pada diri Nabi Muhammad saw yang kemudian mengalir kepada Abu Bakar as-Siddiq ra, sahabat Nabi saw dan khalifah pertama, sebagaimana diterangkan Nabi saw sendiri:

“Tidak ada sesuatu pun yang dicurahkan Allah ke dalam dadaku, melainkan aku mencurahkan kembali ke dalam dada Abu Bakar.”

Oleh sebab itu, kendatipun pada abad 1 Hijriah orang Islam belum mengenal istilah tasawuf, tetapi benih-benihnya sudah tampak, seperti pada diri Abu Bakar. Dan pada masa itu banyak sekali ditemui perilaku atau sifat-sifat yang dimiliki Rasulullah SAW dan sahabat-sahabatnya, yang mencirikan pengajaran dan amalan ilmu tasawuf.

Tarekat yang diterima Abu Bakar yang nantinya populer dengan nama Tarekat Naqsyabandiyah Al-Khalidiah telah mengalami pergantian penyebutan beberapa kali.

Dalam silsilah keguruan tarekat ini, Sayyidina Abu Bakar as-Siddiq berada pada urutan pertama. Periode antara Sayyidina Abu Bakar as-Siddiq sampai Sayyidi Syaikh Abu Yazid al-Bistami berada pada urutan ke-5 dinamakan Shiddiqiah.

Periode antara Syaikh Tayfur sampai Sayyidi Syaikh Abdul Khalik Fajduani, silsilah ke-9 dinamakan Tayfuriah. Periode antara Khawajah Abdul Khalik Fajduani sampai Sayyidi Syaikh Bahauddin Naqsyabandi, silsilah ke-15 dinamakan Khawajakaniah.

Periode antara Syaikh Bahauddin Naqsyabandi sampai Sayyidi Syaikh Nashiruddin Ubaidullah Al-Ahrar, silsilah ke-18 dinamakan Naqsyabandiyah (H Abu Bakar, Esensi Ibadah Suluk, 2015).

Ibadah suluk yang dilakukan oleh orang yang hendak mendekatkan diri kepada Allah dengan mengintensifkan ibadah wajib dan ibadah sunnah, maka masing-masing dari mereka berpedoman kepada Alquran dan Sunnah.

Dan jika seorang dari mereka dalam hal itu berbicara dengan perkataan yang tidak ia sandarkan kepada dirinya sendiri, maka perkataan itu atau maknanya disandarkan kepada Allah dan Rasul-Nya; kadang-kadang di antara mereka ada yang mengucapkan kata-kata hikmah, dan hal itu ternyata berasal dari Nabi saw sendiri; ini sama dengan kata-kata hikmah, yang dikatakan orang dalam menafsirkan firman Allah: “Nurun ‘ala nurin yang berati cahaya di atas cahaya” 

 

***Helmi Abu Bakar El-Langkawi, Penggiat Literasi asal Dayah MUDI Samalanga