Belajar Hidup dari Gerakan Shalat

 
Belajar Hidup dari Gerakan Shalat

LADUNI.ID - Ini adalah sebuah pemikiran yang berangkat dari ketakjuban penulis terhadap gerakan-gerakan shalat, gerakan-gerakan ini dapat menjadi pelajaran dalam mengarungi kehidupan, dimana kehidupan ini dipenuhi kompleksitas permasalahan, sehingga membuat kehidupan kita berkelindan; kegundahan, kesedihan, pesimistis dan hal itu membuat kita stress. Gerakan shalat, menurut penulis dapat dijadikan sebuah gambaran hidup, untuk menuju kesuksesan, kebahagiaan (dunia dan akhirat).

Gerakan shalat terdiri dari dua makna, ada makna luar (makna al-dhahir) dan ada makna dalam (ma’na bathin). Makna luar, adalah gerakan-gerakan tubuh ketika melakukan shalat seperti takbir, bersedekap, berdiri, rukuk, I’tidal ( bangun dari rukuk), sujud, bangun dari sujud, tumakninah, tahiyyat awal, dan tahiyyat akhir. Sedangkan makna dalam adalah ucapan-ucapan dalam shalat, seperti tak’bir, al-fatihah, iftitah, ayat-ayat al-Qur’an, tasbih, dll.

Gerakan shalat, dari sisi kesehatan sudah banyak dikaji, misalnya Madyo Prosoko MBA. Tetapi penulis, mencoba memberikan makna dari segi kehidupan :

Gerakan : Mengangkat tangan, adalah sebuah kepasrahan total dan sikap menyerah, ia dalam posisi tidak memiliki apa-apa, baik kekuatan tubuh atau pun batin, ia menyerahkan semuanya pada Dzat yang memiliki kekuasaan dan keagungan yang laur biasa. Ia pasrah dalam ketidakberdayaanya sebagai manusia, ia hanya mengangungkan-Nya karena tubuhnya dan ruhnya dalam kekuasaan-Nya. 
Misalnya, seseorang yang ditangkap musuhnya dalam peperangan, dan ia tidak mempunyai kekuatan untuk melawan, maka ia menyerahkan kekuasaan dirinya, dengan mengangkat tangannya, dan mengangkat tangan ini sebagai tanda ketidakmampuannya untuk melawan (menyerah).

Gerakan Takbir menurut Madyo adalah dapat memberikan aliran darah dari pembuluh balik yang terdapat di lengan untuk diisi ke mata, telinga, mulut.

Tangan diletakkan di dada, 
Ucapan : Allah akbar (Allah maha besar), Allah memiliki kekuasaan, kekuatan, kehebatan yang luar biasa, Dia maha besar (akbar), bukan besar (kabir), apapun yang ada di muka bumi bahkan seluruh alam ada dalam kekuasaan-Nya, kebesarannya melampaui segala apa yang kita ketahui atau kita rasakan, dan kita perkirakan.

Kalau dalam anggapan kita gedung pencakar langit besar, Allah swt lebih besar dari itu, kalau dalam anggapan gunung adalah besar, Allah swt lebih besar dari gunung, kalau bumi (yang kita tempati lebih dari 5 miliar manusia, adalah pelanit yang sangat kecil dibandingkan dengan keberadaan langit) menurut anggapan kita sangat luas dan besar, Allah swt lebih besar dari bumi, kalau semesta kita anggap besar, Allah swt jauh lebih besar dari semesta ini. Dan seterusnya. Sungguh kita seperti pasir, bahkan lebih kecil dari pasir, jika kita menghayati akan kebesaran Allah yang kita tidak mampu menghitungnya atau bayangan kita pun tidak akan pernah sampai.

Ta’bir ini sering kita ulang-ulang dalam shalat, dari satu gerak kegerak lainnya, kita mengucapkannya–kecuali bangun dari rukuk-, dari pengulangan ini mengajarkan kepada kita bahwa dalam setiap gerak yang harus selalu kita ingat adalah kebesaran-Nya (akbar), kita tidak mampu menggerakkan tubuh, pikiran dan hati kecuali atas kebesaran-Nya, kita tidak mampu berbuat apa-apa kecuali atas kehendaknya, kita bisa sukses juga atas kehebatannya, semuanya kita kembalikan kepada-Nya, karena kita tidak mempunyai sedikit pun kekuasaan untuk mengendalikan diri apalagi harus harus sombong, karena kesombongan itu hanya milik-Nya.

1.Optimis 
Seseorang yang selalu ingat atas kebesarannya dalam setiap gerak, ia akan selalu optimis karena dia merasa bahwa Allah lah yang maha berkehendak,jika Dia berkehendak dalam sesuatu, tidak ada yang mampu menghalanginya dan tidak ada yang dapat memudarkannya dari harapan, kalau Allah sudah berkendak, tidak ada kekuatan besar apa pun yang akan mampu menghalagi, karena kebesaran hanya milik-Nya. Demikian juga sebaliknya, ketika kita gagal yang harus kita ingat adalah kebesarannya, karena Dia yang lebih tahu akan perjalanan hidup kita, Dia akan memberikan sebuah keteguhan dan kekuatan, bagi orang-orang yang beriman kegagalan hanyalah kesuksesan yang tertunda, dia tidak akan pernah pesimistis untuk selalu maju dan meraih kesuksesan, dan ia yakin kesuksesan akan selalu bersama orang-orang yang optimis (mutafail)

2. Keberanian 
Allah akbar, mengajarkan keberanian (syaja’ah), seseorang yang dalam hidupnya selalu dipenuhi dengan kepercayaan bahwa tiada penguasa yang hebat dan luar biasa selain Allah, dia tiadak akan pernah takut oleh apa pun dan siapa pun, mengapa harus takut, sedangkan yang hanya patut ditakuti adalah Allah, dia akan selalu bergerak maju untuk menegakkan kebenaran yang diyakini, tanpa harus takut kepada siapa pun. Maka kita sering menyaksikan para mujahid yang bertempur di medan laga, tidak pernah gentar oleh ribuan bahkan jutaan tentara musuh yang menghantam, ini dibuktikan ketika perang Badar terjadi, di mana umat Islam dari segi jumlah sangat jauh dibandingkan para kaum kuffar, dengan semangat yang luar biasa yang digerakkan oleh keberanian dan keyakinan, maka umat Islam mampu memukul mundur kaum kafir.

3. Tawadhu’ 
Kebesarannya tidak dapat dirangkai oleh kata, tidak dapat dilukiskan oleh tinta, dan tidak dapat dipikirkan oleh otak. KebesaranNya menghilangkan semua ciptaannya, karena ciptaannya dalam pantawannya, tiada yang dapat bersembunyi dari pengetahuannya (‘alim), dan pengetahuannya juga tidak terbatas. Kebesarannya dapat menghilangkan keakuan kita, karena kita tidak ada apa-apa-Nya dihadapanya. Keakuan manusia hanya, keakuan yang kosong, karena semuanya yang ada di alam semesta dalam kuasaanya dan kebesarannya.

Kalau kita sudah memahami, bahwa hanya Allah yang memiliki kebesarannya, maka manusia tidak akan pernah sombong, karena sombong hanya milik Allah, manusia tidak punya hak untuk sombong, karena manusia tidak punya kuasa, tidak dapat memberi manfaat dan mudarat (la yanfa’ wa yadhurr). Maka dari pengakuan inilah, manusia bisa tawadhu’ (rendah hati).

Mengangkat tangan dalam ta’bir, juga pernah ditanyakan oleh seseorang pada Ali bin Abi Thalib, “Ia berkata, artinya Allah Maha besar yang satu, yang tidak ada sesuatu pun yang meneyerupai-Nya, yang tidak dapat di sentuh oleh panca indra (akhmas), dan tidak dapat dipahami oleh perasaan 
Allah ‘alam bisshawab

Oleh: Halimi Zuhdy