Biografi Teungku Abu Ibrahim Woyla

 
Biografi Teungku Abu Ibrahim Woyla
Sumber Gambar: Istimewa, Ilustrasi: Dens_art1 laduni.ID

Daftar Isi Biografi Teungku Abu Ibrahim Woyla

  1. Kelahiran
  2. Wafat
  3. Keluarga
  4. Pendidikan
  5. Kisah-Kisah
  6. Karomah
  7. Teladan

Kelahiran

Teungku Ibrahim bin Teungku Sulaiman bin Teungku Husen atau yang kerap dipanggil dengan sapaan Abu Ibrahim Woyla dilahirkan di kampung Pasi Aceh, Kecamatan Woyla, Kabupaten Aceh Barat pada tahun 1919 M.

Wafat

Teungku Abu Ibrahim Woyla wafat pada hari sabtu pukul 16.00 WIB, tanggal 18 Juli 2009 di rumah anaknya di Pasi Aceh, Kecamatan Woyla Induk, Kabupaten Aceh Barat dalam usia 90 tahun.

Teungku Abu Ibrahim Woyla adalah seorang ulama pengembara. Ulama ini dalam masyarakat Aceh lebih dikenal dengan Abu Ibrahim Keramat. Sebab belum pernah terjadi dalam sejarah di Woyla (Aceh Barat), bila seseorang meninggal ribuan orang datang melayat (takziah) kecuali pada waktu wafatnya Teungku Abu Ibrahim Woyla.

Selama hampir 30 hari meninggalnya Teungku Abu Ibrahim Woyla masyarakat Aceh masih berduyun-duyun datang melayat ke kampung Pasi Aceh, Kecamatan Woyla Induk, Aceh Barat sebagai tempat pemakaman Abu Ibrahim Woyla.

Selama 30 hari itu ribuan orang setiap hari tak kunjung henti datang menyampaikan duka cita mendalam atas wafatnya Teungku Abu Ibrahim Woyla, sehingga pihak keluarga menyediakan 400 kotak air gelas dan tiga ekor lembu setiap hari dari sumbangan mantan Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf, untuk menjamu tamu yang datang silih berganti ke tempat wafatnya Teungku Abu Ibrahim Woyla.

Begitulah pengaruh Teungku Abu Ibrahim Woyla dalam pandangan masyarakat Aceh, terutama di wilayah Aceh Barat dan Aceh Selatan. Sosok ulama yang dekat dengan masyarakat, dicintai dan mencintai umat.

Keluarga

Teungku Abu Ibrahim Woyla memiliki dua orang istri, istri pertama bernama Rukiah, dari hasil pernikahan ini Abu Ibrahim Woyla dikaruniai 3 orang anak, seorang laki-laki dan 2 perempuan. Anak laki-laki bernama Zulkifli dan yang perempuan bernama Salmiah dan Hayatun Nufus.

Sementara pada istri kedua yang dinikahi di Peulantee, Aceh Barat, beliau tidak dikaruniai anak, sebab dua tahun setelahnya beliau meninggal.

Menurut cerita, saat istri pertamanya hamil 6 bulan untuk anak pertama yang dikandung Ummi Rukiah, kondisi Teungku Abu Ibrahim Woyla saat itu seperti tidak stabil, sehingga beliau mengatakan pada istrinya "Saya mau belah perut kamu untuk melihat anak kita," kata Teungku Abu Ibrahim Woyla pada istrinya. Saat itu keluarganya tak habis pikir terhadap apa yang diucapkan oleh Teungku Abu Ibrahim Woyla. Karena perkataan seperti itu dianggap sudah di luar akal sehat. Maka keluarga dengan cemas mengatakan kita tidak tahu apa yang dimaksudkan oleh Teungku Abu Ibrahim Woyla yang meminta untuk membelah perut istrinya yang sedang mengandung 6 bulan. Meskipun begitu, perkataan yang pernah diucapkan itu tak pernah dilakukannya.

Pada tahun 1954 sebenarnya tahun yang sangat membahagiakan bagi mereka karena pada tahun itu lahir anak pertama dari pasangan Abu Ibrahim Woyla dan Ummi Rukiah, akan tetapi kehadiran seorang pertama itu bagi Teungku Abu Ibrahim Woyla bukanlah sesuatu yang istimewa. Abu Ibrahim Woyla saat itu hanya pulang sebentar menjenguk anaknya yang baru lahir, kemudian beliau pergi kembali mengembara entah kemana.

Ketika anak pertamanya yang diberi nama Salmiah sudah besar, menurut cerita Teungku Nasruddin barulah kondisi Teungku Abu Ibrahim Woyla kembali normal hidup bersama keluarganya. Dan saat itu Teungku Abu Ibrahim Woyla sempat membuka lahan perkebunan di Suwak Trieng sebagai harta yang ditinggalkan untuk keluarganya di kemudian hari.

Pada saat itu kehidupan Abu Ibrahim Woyla bersama keluarganya sudah sangat harmonis hingga lahir anak kedua, Hayatun Nufus dan anaknya yang ketiga Zulkifli. Semua keluarganya sangat bersyukur karena Teungku Abu Ibrahim Woyla telah tinggal bersama keluarganya.

Namun apa mau dikata, tak lama setelah lahir anaknya yang ketiga Abu Ibrahim Woyla kembali meninggalkan keluarganya dan entah kemana lagi. Sehingga Ummi Rukiah tidak tahan lagi dengan ketidakpedulian Abu Ibrahim Woyla terhadap nafkah keluarganya, istrinya minta untuk pulang ke Blang Pidie daerah asalnya.

Alasan istrinya untuk pulang ke Blang Pidie memang tepat, karena menurutnya Teungku Abu Ibrahim Woyla tidak lagi peduli kepada keluarga, beliau hanya asyik berdzikir sendiri dan pergi kemana pun beliau suka. Akan tetapi, keinginan Ummi Rukian untuk kembali ke Blang Pidie tidak terwujud karena takdir Allah memang mempersatukan Teungku Abu Ibrahim Woyla dan isterinya sampai akhir hayatnya.

Pendidikan

Abu Ibrahim Woyla  memulai pendidikan formalnya di Sekolah Rakyat (SR) Dan selebihnya menempuh pendidikan Dayah (Pesantren Salafi/Tradisional) selama hampir 25 tahun.

Dalam sejarah masa hidupnya Teungku Abu Ibrahim Woyla pernah belajar 12 tahun pada Syaikh Mahmud seorang ulama asal Lhok Nga Aceh Besar yang kemudian mendirikan Dayah Bustanul Huda di Blang Pidie Aceh Barat. Di antara murid Syaikh Mahmud selain Teungku Abu Ibrahim Woyla, juga adalah Syaikh Muda Waly Al-Khalidy yang kemudian menjadi seorang ulama Thoriqoh Naqsyabandiyah tersohor di Aceh.

Menurut keterangan, Syaikh Muda Waly hanya sempat belajar pada Syaikh Mahmud sekitar 4 tahun, kemudian pindah ke Aceh Besar dan belajar pada Abu Haji Hasan Krueng Kale selama 2 tahun. setelah itu Syaikh Muda Waly pindah ke Padang dan belajar pada Syaikh Jamil Jaho Padang Panjang.

Dua tahun di Padang Syaikh Muda Waly melanjutkan pendidikan ke Makkah atas kiriman Syaikh Jamil Jaho. Setelah 2 tahun di Makkah kemudian Syaikh Muda Waly kembali ke Blang Pidie dan melanjutkan mendirikan pesantren tradisional di Labuhan Haji Aceh Selatan. Saat itulah Teungku Abu Ibrahim Woyla sudah mengetahui bahwa Syaikh Muda Waly telah kembali dari Makkah dan mendirikan Pesantren, maka Teungku Abu Ibrahim Woyla kembali belajar pada Syaikh Muda Waly untuk memperdalam ilmu Thoriqoh Naqsyabandiyah.

Namun sebelum itu, Teungku Abu Ibrahim Woyla pernah belajar pada Abu Calang (Syaikh Muhammad Arsyad) dan Teungku Bilyatin (Suak) bersama rekan seangkatannya yaitu (Alm) Abu Adnan Bakongan.

Setelah lebih kurang 2 tahun memperdalam ilmu thoriqoh pada Syaikh Muda Waly, Teungku Abu Ibrahim Woyla kembali ke kampung halamannya. Tapi tak lama setelah itu Abu Ibrahim Woyla mulai mengembara kembali dan keluarganya sendiri tidak mengetahui kemana Teungku Abu Ibrahim Woyla pergi mengembara.

Menurut sebuah cerita dari Teungku Nasruddin (menantu Teungku Abu Ibrahim Woyla) semasa hidupnya beliau pernah menghilang dari keluarga selama tiga kali. Pertama, Teungku Abu Ibrahim Woyla menghilangkan diri selama 2 bulan. Kedua, Teungku Abu Ibrahim Woyla menghilang selama 2 tahun. Ketiga, Teungku Abu Ibrahim Woyla menghilangkan diri selama 4 tahun yang tidak diketahui oleh siapapun kemana perginya.

Dalam kali terakhir inilah Teungku Abu Ibrahim Woyla kembali pada keluarganya di Pasi Aceh, pihak keluarga tidak habis pikir pada perubahan yang terjadi pada Teungku Abu Ibrahim Woyla. Rambut dan jenggotnya sudah demikian panjang tak terurus, pakaiannya sudah compang camping dan kukunya panjang seadanya. Mungkin bisa kita bayangkan seseorang yang menghilang selama 4 tahun dan tak sempat untuk mengurus dirinya. Begitulah kondisi Teungku Abu Ibrahim Woyla ketika kembali ke tengah keluarganya setelah 4 tahun menghilang. Karena itu, maka wajar bila secara duniawiyah dalam kondisi seperti itu sebagian masyarakat Woyla menganggap beliau sudah tidak waras lagi. Namun, anggapan ini tidaklah bisa dibenarkan.

Kisah-Kisah

Bila mendengar kisah tentang Teungku Abu Ibrahim Woyla semasa hidupnya, tak ubahnya seperti membaca kisah para sufi dan ahli tasawuf. Banyak sekali tindakan yang dikerjakan oleh Teungku Abu Ibrahim Woyla semasa hidupnya yang terkadang tidak dapat diterima secara rasional, karena kejadian yang diperankannya termasuk di luar jangkauan akal pikiran manusia.

Untuk mengenal prilaku Teungku Abu Ibrahim Woyla haruslah menggunakan pikiran alam lain sehingga menemukan jawaban apa yang dilakukan beliau itu ternyata benar adanya.

Banyak sekali hal-hal di luar nalar melekat pada sosok Teungku Abu Ibrahim Woyla, yang oleh sebagian ulama di Aceh dinilai bahwa Abu Ibrahim Woyla adalah seorang ulama yang sudah mencapai tingkat kewalian atau orang yang dekat dan dicintai Allah.

Hal itu diakui Teungku Nasruddin, memang banyak sekali laporan masyarakat yang diterima keluarga dalam menceritakan seputar keajaiban kehidupan Teungku Abu Ibrahim Woyla. Hal ini terbukti semasa hidupnya Teungku Abu Ibrahim Woyla selalu mendatangi tempat-tempat di mana umat selalu dalam kesusahan, kegelisahan dan musibah. Beliau selalu ada di tengah-tengah masyarakat itu.

Namun orang sulit memahami maksud dan tujuan Teungku Abu Ibrahim Woyla untuk apa beliau mendatangi tempat-tempat seperti itu. Karena kedatangannya tidak membawa pesan atau amanah apapun bagi masyarakat yang didatanginya. Teungku Abu Ibrahim Woyla hanya datang berdoa di tempat-tempat yang didatanginya, tutur Teungku Nasruddin.

Dalam hal ini, Ustadz (Teungku disingkat Tgk) Muhammad Kurdi Syam (seorang warga Kayee Unoe, Calang yang sangat mengenal Teungku Abu Ibrahim Woyla menceritakan bahwa Teungku Abu Ibrahim Woyla kebetulan sedang berjalan kaki, beliau terkadang masuk ke sebuah rumah tertentu milik masyarakat yang dilewatinya, lalu mengelilingi rumah tersebut sampai beberapa kali kemudian berhenti pas di halaman rumah itu dan menghadapkan dirinya ke arah rumah tersebut dengan berdzikir La Ilaha Illallah yang tak berhenti keluar dari mulutnya, setelah itu Teungku Abu Ibrahim Woyla pergi meninggalkan rumah itu.

Cerita ini sudah masyhur, tapi tidak ada yang tahu makna yang terkandung di balik semua itu, apakah agar penghuni rumah itu terhindar dari bahaya yang akan menimpa mereka atau mendoakan penghuni rumah itu agar dirahmati Allah? Wallahu A'lam.

Karomah

Menurut Tgk. Nasruddin, dilihat dari kehidupannya, Teungku Abu Ibrahim Woyla sepertinya tidak lagi membutuhkan hal-hal yang bersifat duniawi. Tgk. Nasruddin mencontohkan, kalau misalnya Teungku Abu Ibrahim Woyla memiliki uang, uang tersebut bisa habis dalam sekejap mata dibagikan kepada orang yang membutuhkan dan biasanya Teungku Abu Ibrahim Woyla membagikan uang itu kepada anak-anak dalam jumlah yang tidak diperhitungkan (sama seperti amalan Rasulullah). Begitulah kehidupan Teungku Abu Ibrahim Woyla dalam kehidupan sehari-hari.

Karomah lain yang membuat masyarakat tak habis pikir dan bertanya-tanya adalah soal kecepatan beliau melakukan perjalanan kaki yang ternyata lebih cepat dari kendaraan bermesin. Memang kebiasaan Teungku Abu Ibrahim Woyla kalau pergi kemana-mana selalu berjalan kaki tanpa menggunakan sandal.

Bagi orang yang belum mengenalnya bisa beranggapan bahwa Abu Ibrahim Woyla sosok yang tidak normal. Karena disamping penampilannya yang tidak rapi, mulutnya terus komat kamit mengucapkan dzikir sambil jalan.

Teungku Muhammad Kurdi Syam menceritakan suatu ketika Teungku Abu Ibrahim Woyla sedang jalan kaki di Teunom menuju Meulaboh (perjalanan yang memakan waktu 1 atau 2 jam dengan kendaraan bermotor), yang anehnya Teungku Abu Ibrahim Woyla ternyata duluan sampai di Meulaboh, padahal yang punya mobil tadi tahu bahwa tidak ada kendaraan lain yang mendahului mobilnya. Kejadian ini bukan sekali dua kali terjadi, malah bagi masyarakat di pantai barat yang sudah mengganggap itulah kelebihan sosok ulama keramat Teungku Abu Ibrahim Woyla yang luar biasa tidak sanggup dinalar oleh pikiran orang biasa.

Dikisahkan juga, kalau Abu Ibrahim Woyla berada di suatu tempat, seperti di pasar, misalnya, maka semua pedagang di pasar itu berharap agar Teungku Abu Ibrahim Woyla dapat singgah di toko mereka. Orang-orang melakukan hal tersebut karena ingin mendapatkan berkah Allah melalui perantara Teungku Abu Ibrahim Woyla.

Namun tidak segampang itu karena Teungku Abu Ibrahim Woyla punya pilihan sendiri untuk mampir di suatu tempat. Seperti yang diceritakan Tgk. Muhammad Kurdi Syam, bahwa suatu ketika Teungku Abu Ibrahim Woyla sedang berada di Lamno Aceh Jaya lalu bertemu dengan seseorang yang bernama Samsul Bahri yang sedang bekerja di Abah Awe, saat itu kebetulan Teungku Abu Ibrahim Woyla membawa dua potong lemang. Ketika mampir di situ, Teungku Abu Ibrahim Woyla meminta sedikit air. Setelah air itu diberikan oleh Samsul lalu Teungku Abu Ibrahim Woyla memberikan dua potong lemang tersebut kepada Samsul tapi Samsul menolaknya karena menurut Samsul bahwa lemang tersebut adalah sedekah orang yang diberikan kepada Teungku Abu Ibrahim Woyla.

Karena tidak diterima, maka lemang itu dibuang Abu Ibrahim Woyla yang tak jauh dari tempat duduknya. Spontan saja Samsul tercengang dengan tindakan Abu yang membuang lemang begitu saja. Karena merasa bersalah lalu Samsul ingin mengambil lemang yang sudah dibuang tersebut, namun sayang, ketika mau diambil lemang itu hilang secara tiba-tiba.

Dalam kejadian lain, Tgk Nasruddin menceritakan suatu ketika (sebelum Tgk. Nasruddin menjadi menantu Teungku Abu Ibrahim Woyla), tiba-tiba Shubuh pagi Teungku Abu Ibrahim Woyla datang ke almamaternya, di Pesantren Syaikh Mahmud. Tampak saat itu kaki Teungku Abu Ibrahim Woyla kelihatan sedikit pincang sebelah, disebabkan perjalanan yang cukup jauh.

Kedatangan Teungku Abu Ibrahim Woyla disambut Tgk. Nasruddin dan teman-teman sepengajian lainnya. Lalu beliau meminta sedikit nasi untuk sarapan pagi. "Nasinya ada, tapi tidak ada lauk pauk apa-apa Abu," kata Tgk. Nasruddin. "Nggak apa-apa, saya makan pakai telur saja, coba lihat dulu di dapur mungkin masih ada satu telur tersisa," jawab Teungku Abu Ibrahim Woyla. Lalu Tgk. Nasruddin menuju ke dapur, ternyata di tempat yang biasa disimpan telur, terdapat satu butir tersisa, padahal seingatnya tidak ada sisa telur lagi karena sudah habis dimakan.

Lantas sambil menyuguhkan Nasi kepada Abu Ibrahim Woyla, Tgk Nasruddin bertanya lagi, "Kenapa dengan kaki Abu ?"

Teungku Abu menjawab: "Saya baru pulang dari bukit Qaf (Makkah), di sana banyak sekali tokonya tapi tidak ada penjualnya. Namun kalau kita ingin membeli sesuatu kita harus membayar di mesin, kalau tidak kita bayar kita akan ditangkap polisi."

Teungku Abu meneruskan: "Setelah saya belanja di toko-toko itu lalu saya naik kereta api dan sangat cepat larinya. Karena saya takut duduk dalam kereta api itu, maka saya lompat dan terjatuh hingga membuat kaki saya sedikit terkilir, makanya saya agak pincang, tapi sebentar lagi juga sembuh."

Kejadian serupa juga dialami oleh keluarga dekat Teungku Abu Ibrahim Woyla sendiri. Suatu hari, Abu mengunjungi salah seorang saudaranya untuk meminta sedikit nasi dengan lauk sambel udang belimbing. Lalu tuan rumah itu mengatakan pada istrinya untuk menyiapkan nasi dengan sambel udang belimbing untuk Teungku Abu Ibrahim Woyla. Tapi istrinya memberi tahu bahwa pohon belimbingnya tidak lagi berbuah, "baru kemarin sore saya lihat pohon belimbingnya lagi tidak ada buahnya," kata sang istri pada suaminya.

Tapi suaminya terus mendesak istrinya, "coba kamu lihat dulu, kadang ada barang dua tiga buah sudah cukup untuk makan Abu," katanya. Lalu istrinya pergi ke pohon belakang rumah, ternyata belimbing itu memang didapatkan tak lebih dari tiga buah di pohon yang kemarin sore dilihatnya.

Demikian pula ketika hendak melangsungkan pernikahan anak pertama Abu Ibrahim Woyla, yang bernama Salmiah. Masyarakat di kampung melihat sepertinya Abu Ibrahim Woyla tidak peduli terhadap acara pernikahan anaknya.

Padahal acara pernikahan itu akan berlangsung beberapa hari lagi, tapi Abu Ibrahim Woyla tidak menyiapkan apa-apa untuk acara pernikahan anaknya itu. Bahkan uang pun tidak beliau kasih pada keluarga untuk kebutuhan acara tersebut.

Namun ajaibnya pada hari "H" (hari pernikahan berlangsung) ternyata acara pernikahan anaknya berlangsung lebih besar dari pesta-pesta pernikahan orang lain yang jauh-jauh hari telah mempersiapkan segala sesuatunya.

Teladan

Abu Ibrahim Woyla oleh banyak orang dikenal sebagai ulama agak pendiam dan ini sudah menjadi bawaannya sewaktu kecil hingga masa tua. Beliau hanya berkomunikasi bila ada hal yang perlu untuk disampaikan, sehingga banyak orang yang tidak berani bertanya terhadap hal-hal yang terkesan aneh yang dikerjakan oleh Teungku Abu Ibrahim Woyla.

Sikap Teungku Abu Ibrahim Woyla seperti itu sangat dirasakan oleh keluarganya, namun karena mereka sudah tau sifat dan pembawaannya demikian, keluarga hanya bisa pasrah terhadap pilihan jalan hidup yang ditempuh oleh Teungku Abu Ibrahim Woyla yang terkadang sikap dan tindakannya tidak masuk akal. Tapi begitulah orang mengenal sosok Teungku Abu Ibrahim Woyla. Orang yang secara lahir terlihat selalu senang menyendiri, tapi siapa yang menyangka kalau Allah ada selalu membersamainya, dan menjadikannya seorang wali.


Artikel ini sebelumnya diedit tanggal 08 September 2020, dan kembali diedit dengan penyelarasan bahasa tanggal 18 Juli 2023.

 

Lokasi Terkait Beliau

    Belum ada lokasi untuk sekarang

List Lokasi Lainnya