Wisata Ziarah dan Bertawassul di Makam KH Hasan Anwar Gubug

Memperoleh Donasi Sebesar : Rp 0. Donasi Sekarang
 
Wisata Ziarah dan Bertawassul di Makam KH Hasan Anwar Gubug

Lintas Sejarah

Nama kecilnya adalah Sarman. Beliau dilahirkan pada 1878 M dari pasangan Syarif dan Salimah, petani kecil di Desa Ngluwuk, Dempet, Kabupaten Demak. Sarman memiliki empat orang saudara, yakni Sukir, Mataham, Sagirah, dan Sijah.

Sarman merupakan nama pemberian kedua orang tuanya. Namun, saat mondok di Pesantren Tebu Ireng, namanya berubah menjadi Hasan Anwar. Nama itu diberikan langsung oleh Hadratussyaikh Hasyim Asy'ari atas bantuannya dalam menghadapi para perusuh di sekitar Pondok Pesantren Tebu Ireng.

Awalnya, ia merasa prihatin yang mendalam atas banyaknya hinaan dan ejekan yang diterima oleh KH. Hasyim Asy'ari. Sebab, hampir setiap saat ulama pendiri Jam'iyyah Nahdlatul Ulama (NU) itu dilempari dengan kotoran manusia.

Jalan-jalan di sekitar Pondok Pesantren Tebu Ireng selalu dipenuhi dengan duri. Atas hal itu, Sarman memberanikan diri memohon izin kepada KH Hasyim Asy'ari untuk menghadapi para perusuh itu, namun, KH Hasyim Asy'ari tidak mengizinkannya. Ia pun bersabar dan menunggu perintah atau izin dari KH Hasyim. Apa hendak dikata, saat izin belum juga diberikan, dan kondisi terus genting, terjadilah peristiwa yang membuat Sarman marah.

Saat malam hari, ia keluar asrama pondok pesantren untuk ke masjid, jalan yang akan dilewati oleh KH Hasyim Asy'ari ia bersihkan, saat itulah sekelompok preman dan perusuh menantang dirinya. Maka, dengan prinsip lawan jangan dicari dan kalau bertemu musuh maka jangan lari, ia pun melawan para perusuh itu, dalam perkelahian itu, sebanyak 12 orang perusuh tewas ditangannya.

KH Hasyim yang kaget mendengar kegaduhan di luar segera menemui, KH Hasyim mendapati tubuh Sarman bersimbah darah dan sebanyak 12 orang tergeletak tak bernyawa disekelilingnya, Sarman tidak terluka. Hanya luka-luka dari perusuh itulah yang membuat tubuhnya berlumuran darah. Sarman menyampaikan bahwa ia membela diri karena sedang membersihkan kotoran manusia dan duri di sepanjang jalan dan tiba-tiba ia diajak berkelahi dengan para perusuh itu.

Menyaksikan hal itu, KH Hasyim Asy'ari kemudian memerintahkan para santrinya untuk segera menguburkan jenazah para perusuh itu dalam satu lubang. Sejak kejadian itu, KH Hasyim Asy'ari menjuluki dan memberinya nama Hasan Anwar yang berarti lelaki yang baik hati dan selalu bercahaya dalam kegelapan.

Murid Generasi Pertama Tebu Ireng

Hasan Anwar adalah santri generasi pertama di Tebu Ireng, Hasan Anwar juga berteman baik dengan Maksum (KH Maksum), pendiri Pondok Pesantren Lasem, Rembang, Jateng. Di Ponpes Tebu Ireng, ia belajar berbagai ilmu pengetahuian agama, mulai dari fikih, tafsir, nahwu, dan kitab-kitab lainnya. Namun, saat KH Hasyim berhalangan, ia menjadi badal (pengganti) KH Hasyim Asy'ari untuk mengajar santri dan rekan-rekannya. Sebelum mondok dan membantu di Pesantren Tebu Ireng, Hasan Anwar mondok di berbagai pesantren di Jawa Tengah.

Karena itu, tak heran ia banyak dimintai bantuan oleh KH Hasyim Asy'ari, termasuk saat KH Hasyim mendirikan Nahdlatul Ulama pada 31 Januari 1926. Ia tinggal di Ponpes Tebu Ireng itu selama beberapa tahun. Selepas dari Tebu Ireng, Hasan Anwar melanjutkan pendidikannya di Pondok Pesantren Jesromo Lumajang dan Cempaka di Surabaya di bawah asuhan KH Manshur.

Selepas dari kedua pesantren itu, Hasan Anwar meneruskan ke Pesantren Kademangan Bangkalan, Madura, yang diasuh oleh KH Kholil. Tak kurang dari delapan tahun ia menuntut ilmu dan mengabdi di Pesantren Bangkalan ini. Setelah itu, ia meneruskan pendidikannya di Tanah Suci, Mekkah, selama lebih kurang tiga tahun. Di Kota Suci ini, ia belajar langsung kepada para ulama terkenal dari Indonesia yang menjadi guru di Masjidil Haram, seperti Syekh Abdullah Sunkara, Syekh Ibrahim al-Huzaimi, dan Syekh Manshur.

Setelah dirasa cukup, ia pun kembali ke Tanah Air, kekampung halamannya di Desa Ngluwak, Dempet, Demak. Ternyata ayahandanya sudah wafat, sedangkan ibunya ikut dengan saudara kandung Hasan Anwar yang menikah dengan warga Gubug, Purwodadi, Grobogan.

Di Gubug ini, KH Hasan Anwar membantu Kiai Jalil (Jalal) untuk mengajar mengaji warga sekitar di mushala, tepatnya di sebelah timur Pasar Gubug. Melihat ketekunan KH Hasan Anwar dalam mengajar meng aji, Kiai Jalil berkenan mengambil beliau menjadi menantunya. Iapun menikah dengan salah seorang putri Kiai Jalil.

Hingga akhir hayatnya, KH Hasan An war menikah dengan tiga orang istri, yakni Kalimah binti Kiai Marwi, Maemunah binti Kiai Samsuri, dan Muntamah binti Kiai Abdul Jalil (Jalal).

Perkawinannya dengan Kalimah tidak dikaruniai anak, sedangkan pernikahannya dengan Maemunah dikaruniai tujuh orang putra-putri (Mahfudhoh, Mansuron, Sarijah, Ruqoyah, Saerozi, Juned, dan Romlah). Adapun, buah perkawinannya dengan Muntamah, KH Hasan Anwar mendapat empat putra-putri, yakni Ahmad Syahid (yang kelak menjadi penerus perjuangan KH Hasan Anwar), Zaenudin, Khumaidi, dan Saidah.

Cinta Tanah Air dan Antipenindasan

Kebencian KH Hasan Anwar terhadap penjajah Belanda sudah memuncak. Ia tak tahan lagi melihat rakyat Indonesia dihina dan dijajah. Bersama santri-santri di Gubug, ia menyerang Belanda yang ingin kembali ke menjajah Indonesia, khususnya di Grobogan. Belanda yang mengetahui maksud dari KH Hasan Anwar berusaha membujuk dan bekerja sama. Ajakan itu ditolaknya dan Belanda pun marah. Mereka ingin menjebloskan KH Hasan Anwar ke penjara.

Karena tahu kalau ia akan ditangkap Belanda, ia pergi ke pondok pesantren di daerah Klambu. Bersama sejumlah santrinya dan laskar fi sabilillah, KH Hasan Anwar menyusun kekuatan untuk mengusir penjajah dari bumi pertiwi yang sudah merdeka pada 17 Agustus 1945. Ratusan pasukan Belanda terbunuh.

Sayang, kekuatan tidak seimbang. Pertempuran yang terjadi di dekat markas Belanda itu, beliau gugur bersama 19 orang laskar fisabilillah. Beliau wafat sebagai syuhada dengan menyungging senyum. Atas jasa-jasanya, Pemerintah Indonesia menganugerahinya dengan gelar Pahlawan Pejuang Kemerdekaan.

Lokasi Makam

Makam KH. Hasan Anwar berada di sebelah timur pasar Gubug berada dalam Masjid KH Simbah Hasan Anwar di jalan KH. Hasan Anwar I, Krajan, Kec. Gubug, Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah.