The Santri: Mengangkat Kultur NU di Etalase Budaya Dunia

 
The Santri: Mengangkat Kultur NU di Etalase Budaya Dunia

LADUNI.ID, Jakarta - Belum juga diproduksi the Santri sudah menghebohkan pasar isu di tanah air. Hanya melalui video preview pra produksi tanggapan positif dan lebih-lebih respon negatif sudah banyak berseliweran di media sosial. Walaupun mendapat banyak cibiran dari kelompok tertentu namun naga-naganya proyek film thriller the Santri telah menjadi prioritas di penghujung masa khidmat Prof. Dr. Said Agil Siraj.

Mengapa the Santri bakal memiliki nilai tinggi? Tak lain karena untuk pertama kalinya produk sinema yang mengangkat kultur santri itu dibuat atas inisiasi, produksi dan serta para pemerannya dari internal NU sendiri. Hingga artikel ini ditulis proses audisi dan casting masih berlangsung secara di masing-masing kantor Pengurus Wilayah NU untuk menjaring para bintang baru calon pemain the Santri.

Film ini juga akan menjadi istimewa bagi warga nahdliyin karena atas instruksi pucuk pimpinan PBNU serta restu dan nasehat para masayikh (sesepuh) agar mencari para pemerannya dari kalangan santri pondok pesantren NU tulen. Seakan ingin membuktikan pada dunia bahwa kalangan yang selama ini marjinal sanggup berkontribusi besar dalam membangun budaya.

Selain itu hal ini juga menyiratkan bahwa dengan para pemeran thriller santri haruslah individu yang cukup lama mengalami hidup dalam kultur santri. Harapannya tentu agar produk sinematografi ini dapat sepenuhnya menyajikan naturalitas dan originalitas cara hidup santri. Tanpa distorsi misalnya karena salah akting oleh para pemeran yang kurang cukup mengalami secara langsung kehidupan pesantren sebagai tempat ideal inseminasi dan inkubasi jiwa santri.

Media Milenial
Walaupun agak terlambat memulai namun masih relevan untuk digalakkan produksi film dengan standar mutu dan pesan yang baik. The Santri adalah ijtihad pimpinan pusat NU untuk mempromosikan islam yang damai dan toleran melalui media yang disukai masyarakat milenial.
Selama ini kelompok tradisionalis muslim jauh tertinggal dalam pemanfaatan media milenial dalam menebar islam rahmah. Sehingga posisi kaum sarungan sebagai pihak yang bertahan dalam pertarungan budaya. Karena itu kreativitas dalam berdakwah kaum sarungan perlu ditingkatkan guna memperbesar amunisi dalam perang budaya.

Selain itu penggunaan variasi media milenial semestinya lebih dimasifkan karena hal itu penting untuk memperluas jangkauan dakwah. Pada segmen masyarakat perkotaan umumnya tidak dapat ditembus dengan medium yasinan dan tahlilan rutin karena tidak kompatibel dengan gaya kehidupan sibuk mereka. Sehingga pada masyarakat ini lebih banyak terserap derasnya promosi para da’i islam yang umumnya sudah terkontaminasi ide-ide intoleran.

Kesadaran historis sebagai golongan pemberi andil terbesar pembentukan jatidiri kultural dan semangat kebangsaan Indonesia sangat baik diwujudkan melalui upaya serius dan cerdas menanggulangi bahaya penetrasi paham radikal. Penguasaan ruang publik dengan narasi religio nasionalisme sangat urgent untuk membendung gempuran kampanye paham agama keras nan merusak.
Tak kalah strategis maknanya penggunaan produk-produk budaya dan seni bermuatan pesan damai guna menghadang derasnya provokasi kaum berpemahaman agama yang dangkal. Hal itu karena produk seni dan budaya yang baik layaknya monumen yang butuh energi sangat besar untuk dirubuhkan.

Etalase budaya dunia
Warga nahdliyin layak gembira menyambut diluncurkannya program produksi film yang konsepnya mengusung otentisitas esensi nilai dan kultur ahlussunah wal jama’ah ala Nahdlatul Ulama. Semoga dengan suksesnya produksi dan kemudian distribusinya akan menjadi fajar baru metode dakwah para santri dan kyai.

Sebagaimana orasi KH Yahya Cholil Staquf di hadapan salah satu lembaga berpengaruh dari komunitas Yahudi di dunia. Dalam forum yang digelar di Yerusalem Israel tahun lalu itu Gus Yahya memperoleh optimisme berkaitan dengan respon anggota organisasi nirlaba ICFR (Israel Council on Foreign relations) soal konsep agama rahmah. Konsep yang dikemukakannya itu sepertinya menghadirkan energi positif pada pertemuan tersebut karena dia cukup lama mengalami sendiri pergulatan islam rahmah bersama kapal besar NU di jagad perpolitikan dalam negeri.

Paham moderat dalam beragama model NU layak diinternasionalisasi melalui jalur budaya. Sehingga tidak keliru jika para petingginya mencanangkan proyek kultural yang bernuansa milenial. The Santri sebagai film thriller dengan pengantar dan dialog berbahasa Inggris tentu mempunyai maksud besar untuk dapat dinikmati meskipun secara sporadis oleh publik global.

Asa besar para kyai sepuh melalui back up dan nasehatnya semoga selalu menjadi motivasi besar kepada para pengambil kebijakan struktural NU di era kepengurusan siapapun dan kapanpun untuk tidak berhenti berkarya lewat jalur budaya. Setelah the Santri film pertama dan sequel berikutnya barangkali akan disusul oleh the santri music dan the santri theatre. Begitu seterusnya cara ulama NU berkreasi seni dan budaya sebagaimana dilakukan para pendahulu ratusan tahun sebelumnya.

Dengan produk budaya yang mengedepankan kualitas, orisinalitas dan universalitas pesan akan berpeluang terpajang di halaman muka katalog budaya dunia dan terekspose di etalase peradaban global. Terlebih di era yang ditandai dengan kekuatan politik dan militer mulai kehilangan determinasi dalam turut menata ulang formasi kekuatan dunia. Kita tunggu saja energi moral para kyai pada peluncuran the Santri.

Oleh: Eko Susilo Nurcahyadi
Aktivis & Pengurus GP Ansor di kabupaten Semarang