Muamalah Orang Tua Kepada Anak

 
Muamalah Orang Tua Kepada Anak

عَنْ عَامِرٍ قَالَ سَمِعْتُ النُّعْمَانَ بْنَ بَشِيرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا وَهُوَ عَلَى الْمِنْبَرِ يَقُولُ أَعْطَانِي أَبِي عَطِيَّةً فَقَالَتْ عَمْرَةُ بِنْتُ رَوَاحَةَ لَا أَرْضَى حَتَّى تُشْهِدَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَتَى رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ إِنِّي أَعْطَيْتُ ابْنِي مِنْ عَمْرَةَ بِنْتِ رَوَاحَةَ عَطِيَّةً فَأَمَرَتْنِي أَنْ أُشْهِدَكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ أَعْطَيْتَ سَائِرَ وَلَدِكَ مِثْلَ هَذَا قَالَ لَا قَالَ فَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْدِلُوا بَيْنَ أَوْلَادِكُمْ قَالَ فَرَجَعَ فَرَدَّ عَطِيَّتَهُ (متفق عليه)

Artinya: Dari Amir, aku mendengar (khutbah) Nu’man bin Basyir di atas mimbar. Ia berkata, “Aku pernah diberi sesuatu oleh ayahku.” Kemudian Amrah bin Rawahah menyatakan keberatan, “Aku tidak rela sehingga kamu mempersaksikannya di hadapan Rasulullah.” Kemudian ayahku menghadap Rasulullah dan berkata, “Aku telah memberikan suatu pemberian kepada anakku (yang lahir) dari Amrah binti Rawahah. Sekarang ia menyuruhku untuk bersaksi di hadapan engkau, wahai Rasulullah!”. Rasulullah bertanya, “Apakah kamu juga memberi anak-anakmu yang lain seperti ini?” Ia menjawab, “Tidak.” “Kalau demikian, kata Rasulullah, takutlah kepada Allah dan berbuat adillah terhadap anak-anakmu.” Nu’man berkata, “Ayah lalu pulang dan ia pun mengambil kembali pemberiannya.” (Hadis Shahih, Riwayat al-Bukhari: 2398 dan Muslim: 3055. teks hadis di atas riwayat al-Bukhari)

Menurut al-Minawi dalam kitabnya Faidh al-Qadir, sebuah kamus hadis yang mensyarahi kitab Jami’ al-Shaghir karya al-Suyuthi, bahwa seorang anak, sejak dilahirkan oleh ibunya sampai beranjak dewasa (baligh), mereka mempunyai hak yang harus dipenuhi oleh orang tuanya. Hak-hak mereka itu antara lain, (1) diberi nama yang bagus, (2) ketika sudah dapat menggunakan akalnya, diberi pelajaran membaca al-Qur’an, dan (3) ketika sudah matang (dewasa), ia cepat-cepat dinikahkan. Ketiga hal tersebut merupakan hak asasi bagi seorang anak yang harus ditunaikan oleh orang tuanya. (al-Minawi:1356 H: 2/538)

1. Pemberian Nama

Pemberian nama itu walaupun tidak berfungsi menunjukkan hakekat anak yang diberi nama, namun juga mempunyai tujuan, berupa pengharapan yang baik (tafaulan), agar yag diberi nama tersebut sesuai maksud namanya atau juga berupa sekedar peringatan atas kejadian agar selalu terkenang dan diperingati sepanjang masa. Misalnya seseorang menamai anak atau cucunya dengan nama “Kamaluddin” atau “Rahmatul Ummah” dengan harapan agar anaknya menjadi orang yang sempurna agamanya atau merahmati segala bangsa.

Memberikan nama kepada seorang anak seperti nama-nama Nabi, misalnya Muhammad, Zakariya, Isa, Ibrahim, dan lain sebagainya, adalah sangat dianjurkan. Tetapi memberikan kuniyah (julukan) seperti kuniyah Nabi Muhammad s.a.w. adalah tidak diperkenankan. Misalnya julukan Abul Qasim (Bapak al-Qasim) tidak diperkenankan, karena ia sudah menjadi julukan bagi Nabi s.a.w. Sebuah hadis dari Anas bin Malik menjelaskan hal itu sebagai berikut:

نَادَى رَجُلٌ رَجُلاً بِالْبَقِيعِ يَا أَبَا الْقَاسِمِ فَالْتَفَتَ إِلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنِّي لَمْ أَعْنِكَ إِنَّمَا دَعَوْتُ فُلاَنًا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَسَمَّوْا بِاسْمِي وَلاَ تَكَنَّوْا بِكُنْيَتِي (رواه البخاري ومسلم)

Artinya: Ada seorang laki-laki memanggil temannya di Baqi, “Wahai Abul Qasim!” Kemudian Rasulullah (yang saat itu mendengar panggilan itu) menoleh kepada arah si pemanggil. Maka si pemanggil itu mengklarifikasi, “Wahai Rasulullah, saya tidak bermaksud memanggil engkau, saya hanya memanggil si Fulan.” Nabi s.a.w. menjawab, “Namailah dengan namaku dan jangan memberikan kuniyah seperti kuniyahku.” (Hadis Shahih, Riwayat al-Bukhari: 1977 dan Muslim: 3974. teks hadis di atas riwayat Muslim)

2. Mengajar dan Mendidik

Orang tua mempunyai tanggung jawab agar anak-anak dan keluarganya mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat. Untuk meraih kebahagiaan tersebut tentu dengan memberikan pendidikan dan pelajaran agama sewaktu di dunia sebagai medianya. Penerapan pendidikan dan pengajaran kepada anak-anak haruslah disesuaikan dengan proses pertumbuhan jiwa seseorang dalam mencapai kedewasaan, sebagai beban pemberian taklif. Proses ini menurut Abdul Qadir Audah melalui tiga tahap (marhalah); (1) In’idam al-Idrak (belum mempunyai kesadaran), yakni sejak seorang anak dilahirkan sampai usia 7 tahun. Anak pada masa usia ini disebuh ghair mumayyiz (belum bisa membedakan). (2) al-Idrak al-Dha`if (belum sempurna kesadarannya), yaitu sejak seorang anak berusia 7 sampai 15 tahun. Anak dalam tahapan ini dapat disebut sebagai mumayyiz. Dan selanjutnya (3) al-Idrak al-Tam (sempurna kesadarannya), yaitu sejak seorang anak berusia 15 tahun sampai seterusnya. (Fatchurrahman: 1966: 1/155)

Fitrah anak dalam tahapan pertama hendaklah disiram dan dipupuk dengan pelajaran kepercayaan, melatih, dan membiasakan gemar beribadah, cinta kepada sesama, cinta mengerjakan kebaikan-kebaikan, menjauhkan diri dari kemungkaran-kemungkaran, mengajarkan membaca al-Qur’an, dan ilmu-ilmu lainnya sesuai dengan kemampuan yang ada pada tahapan tersebut. Semuanya dilakukan agar fitrah itu dapat hidup dengan subur, tidak kering dan tidak layu. Kalau dalam tahapan pertama, anak-anak tersebut hanya dilatih dan dibiasakan, maka dalam tahapan kedua, anak sudah dapat diberi pelajaran dan sekaligus untuk diamalkan, sebab anak sudah menjadi tamyiz (dapat membedakan yang baik dan benar), ia dapat makan dan minum sendiri, membedakan yang benar dan salah dalam pengertian yang sederhana, bahkan dapat melakukan pekerjaan sehari-hari secara mandiri.

Pada usia tujuh tahun, seorang anak harus mulai disuruh untuk mengerjakan shalat. Jika sudah remaja menjelang dewasa (murahiq), yakni mencapai usia 10 tahun, pembangkangan seorang anak untuk shalat harus dikenakan sangsi yang tegas. Demikianlah pokok-pokok pendidikan yang diajarkan oleh Rasulullah s.a.w., sebagaimana tercantum dalam hadisnya:

عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُرُوا أَوْلاَدَكُمْ بِالصَّلاَةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِينَ وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرٍ وَفَرِّقُوا بَيْنَهُمْ فِي الْمَضَاجِعِ (رواه أبو داود)

Artinya: Dari Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, Rasulullah s.a.w. bersabda, “Perintahkanlah anak-anakmu untuk melakukan ibadah shalat, ketika mereka berusia tujuh tahun. Dan berikanlah sanksi kepada mereka jika meninggalkan ibadah shalat, ketika mereka berusia sepuluh tahun. Lalu pisahkanlah tempat-tempat tidur di antara mereka.” (Hadis Hasan, Riwayat Abu Dawud: 418)

Dari hadis tersebut muncul suatu masalah. Apakah shalat yang dikerjakan oleh seorang anak berusia tujuh atau sepuluh tahun sebagai pemenuhan beban taklif atau tidak? Jika jawabannya “ya”, maka seandainya mereka meninggalkan shalat dalam masa usia tersebut, maka mereka bakal dikenakan siksa di akhirat kelak. Dan hal ini tentu bertentangan dengan syarat sah seseorang menerima khitab, yaitu harus berusia baligh. Maka jawabannya adalah “tidak”. Hal itu memberi pengertian bahwa perintah dalam hadis di atas merupakan peringatan keras pada orang tua untuk bersungguh-sungguh memperhatikan pendidikan anak-anaknya dalam hal ibadah, sebab mereka akan dimintai pertanggungjawabannya oleh Allah.

3. Menikahkan

Apabila anak-anak tersebut sudah dewasa, maka orang tua juga hendaknya menikahkannya. Menikahkan di sini harus diartikan dengan luas, bukan sekedar mencarikan jodoh yang cocok dengan kemauan orang tua saja, tetapi juga memperhatikan unsur-unsur yang akan membawa ketentraman dan kebahagiaan hidup mereka bersama di masa depan.

Tentang hal ini, sebuah hadis mengisahkan. Fatimah binti Qais, seorang sahabat wanita, dicerai tiga sekaligus oleh Abu Amr bin Hafsh. Ia disuruh Nabi untuk menghabiskan masa iddahnya di rumah Ummi Maktum yang buta. Ketika sudah habis iddahya, banyak para sahabat yang melamar kepada Fatimah. Ia menuturkannya kepada Nabi, di antaranya yaitu Mu’awiyah, Abu Jahm, dan Usamah bin Zaid. Nabi saat itu memberikan pertimbangan, “Abu Jahm itu tidak lepas dari tongkat (suka memukul), sedangkan Mu’awiyah adalah orang miskin yang tidak mempunyai harta sama sekali. Oleh karena itu, nikahlah dengan Usamah bin Zaid.” Pertama-tama Fatimah tidak mau, baru kemudian setelah Nabi menyuruhnya untuk kedua kali, ia pun bersedia. Akhirnya Allah memberikan kebahagiaan dalam mahligai rumah tangga mereka. (Hadis Shahih, Riwayat Muslim: 2709, al-Tirmidzi: 1054, al-Nasa'i: 3192. teks hadis riwayat Muslim).

Oleh: Dr. KH. Zakky Mubarak, MA