Penulis Forbes dan Pendiri Appnext Ini Juluki Indonesia Sebagai Macan Baru di Asia

 
Penulis Forbes dan Pendiri Appnext Ini Juluki Indonesia Sebagai Macan Baru di Asia

LADUNI.ID, Jakarta - Adalah Elad Natanson, penulis ekonomi digital di Majalah Forbes dan pendiri Appnext, dalam artikelnya yang berjudul "Indonesia: The New Tiger Of Southeast Asia" menyebut Indonesia telah mendorong perkembangan ekonomi digital di Asia Tenggara.

Hal ini terlihat bahwa saat ini Hong Kong, Singapura, Korea Selatan, dan Taiwan dikenal sebagai ekonomi macan Asia karena industrialisasi, perdagangan, dan pengembangan keuangan yang cepat menyebabkan tingginya tingkat pertumbuhan berkelanjutan.

Natanson memaparkan alasan Indonesia bisa menjadi macan Asia Tenggara. Pertama, usia rata-rata Indonesia adalah 29, dan 60 persen dari populasi adalah 40 atau di bawah. Dua negara pertama adalah pusat keuangan terkemuka dunia dan dua negara kedua dikenal karena industri manufaktur.

Kedua, Indonesia adalah salah satu negara pertama yang paling mobile di dunia, yang mana dari 150 juta pengguna internet di Indonesia, 95 persen atau 142 juta orang adalah mobile. Ketiga, 60 persen dari semua orang dewasa Indonesia sekarang memiliki smartphone.

"Ketiga faktor ini membuat Indonesia mewakili populasi besar penduduk asli digital muda yang paham mobile," tulis Natanson dalam laman Forbes.com

Orang Indonesia menghabiskan 206 menit sehari di media sosial dibandingkan dengan rata-rata global dari 124 negara. Platform teratas seperti Youtube, Whatsapp, dan Facebook semuanya digunakan oleh lebih dari 80 orang Indonesia online.

Dan 76 persen dari semua pengguna internet di Indonesia melakukan pembelian dari ponsel mereka, tingkat tertinggi e-commerce seluler dari negara mana pun di dunia.

Beberapa tahun terakhir telah terjadi peningkatan yang pesat dalam ekonomi internet Indonesia. Selain e-commerce, permainan online, iklan, musik dan video berlangganan, serta layanan perjalanan online atau pengiriman makanan, semuanya menikmati adopsi yang penuh semangat dari konsumen muda Indonesia.

"Negara kepulauan digital Indonesia sedang menembaki semua silinder. Didukung oleh basis pengguna internet terbesar di kawasan ini (150 juta pengguna pada 2018), Indonesia memiliki terbesar (US$ 27 miliar/Rp 288 triliun pada 2018) dan pertumbuhan tercepat (49 persen CAGR 2015- 2018) ekonomi internet di wilayah ini. Dengan ruang kepala yang besar di semua sektor, Indonesia siap untuk tumbuh hingga US$ 100 miliar (Rp 1.439 triliun) pada tahun 2025, terhitung US$ 4(Rp 57 ribu) dari setiap US$ 10 (Rp 144 ribu) yang dihabiskan di wilayah tersebut," tulis laporan mendalam oleh Google dan Temasek yang dirilis tahun ini. (Kurs US$ 1=Rp14.390, per 25 Mei 2019)

Melonjaknya ekonomi seluler Indonesia telah dipicu oleh lonjakan besar investasi ventura, dengan US$ 6 miliar (Rp 86 triliun) meningkat selama empat tahun terakhir.

Seperti yang ditulis oleh salah satu pemodal ventura di Venture Beat, peluang di Indonesia hari ini adalah seperti berinvestasi di Cina pada 2008.

Unicorn miliaran dolar telah muncul di beberapa sektor utama, seperti Tokopedia, Traveloka, dan Go-Jek.

"Apa yang membuat pemodal ventura (VC) begitu bersemangat adalah kemampuan untuk mendukung model bisnis yang telah terbukti dari Cina dan AS sambil mengadaptasinya ke pasar besar yang belum dimanfaatkan ini," katanya.

Tantangan dan hambatan signifikan terhadap pertumbuhan tetap ada. Mirip dengan India, Indonesia menderita infrastruktur yang buruk. Meskipun data seluler relatif murah, bandwidth terbilang buruk, yakni kecepatan rata-rata unduhan seluler sekitar 10 mbps, kurang dari setengah rata-rata global.

Yang mengesankan Natanson adalah fakta kurang dari setengah orang Indonesia memiliki rekening bank, dan hanya 2,4 persen orang Indonesia memiliki kartu kredit. Natanson melihat ini sebagai paradoks karena setengah lebih penduduk Indonesia hidup dalam perangkat seluler.

"Dengan semakin banyak dari 180 juta penduduk Indonesia yang tidak memiliki rekening bank saat ini menggunakan telepon pintar, perlombaan ini akan memberikan mereka uang seluler dan layanan keuangan," tambah kontributor Forbes itu, seraya menambahkan besarnya peluang ekonomi digital di pasar Indonesia.

Sementara penggunaan smartphone terus meningkat, ponsel yang relatif murah tidak memiliki banyak penyimpanan data, yang membuat pengguna pilih-pilih aplikasi mana yang mereka gunakan secara teratur.

"Mungkin satu-satunya tantangan (dan peluang) terbesar bagi ekonomi seluler Indonesia adalah dalam pembayaran dan uang elektronik. Google dan Temasek memperkirakan bahwa e-commerce di Indonesia akan mencapai US$ 53 miliar (Rp 762 triliun) pada tahun 2025," tulis Natanson.