Anakku, Adakah akan Mengalir Saja?

 
Anakku, Adakah akan Mengalir Saja?

Aku dan anakku.
Dalam sebuah cengkerama pendek di sebuah sore di masa libur pada masa awal mondoknya, sengaja aku tanyakan pertanyaan yang mungkin sering ditanyakan oleh banyak orang, “mas, kira-kira sampeyan kalau besar mau jadi apa?” Begitu tanyaku padanya.

Seperti kebiasaan anak-anak remaja lainnya, seperti dugaanku, dia menyahut ringan, “ndak tahu Yah, terserah nanti saja, mengikuti air mengalir saja…” Jawabnya ringan, sambil belum beralih dari buku bacaannya.

“Mas…” panggilku perlahan untuk mengajaknya sedikit serius.

Dia pun menoleh dan memperhatikanku, seolah paham ada sesuatu yang harus difokuskan dari perkataanku.

Perlahan bukunya disampingkan, kacamatanya dibetulkan, dia siap menerima penjelasanku.

“Mas, perhatikan dan pikirkan perlahan, apa sebetulnya yang mengalir di aliran air, seperti sungai? Coba sebutkan satu per satu…” godaku.

Perlahan dia menyebutkan ragu-ragu… “daun kering… kertas kering…” Perlahan dia, ragu-ragu. “Kena!” Batinku, dia pasti berpikir, ke hal yang sama.

“Ya, benar, yang mengalir di sungai itu ya daun, kertas, dan lain-lain yang bisa dikategorikan sebagai sampah, serta maaf lho ya, ikan mati ataupun tinja…” jawabku perlahan menambahkan.

Aku lihat ada perubahan di wajahnya, mulai nampak serius.

Begitulah, sudah semestinyalah kita benar-benar mulai memikirkan apa yang akan kita lakukan di kemudian hari, karena keterbatasan kesempatan, ruang, dan waktu masing-masing kita, sehingga mengulang sebuah kesalahan adalah hal yang merugikan.

Sebagai contoh, ketika kenaikan kelas adalah jenjang pendidikan formal yang harus kita tempuh, namun kita harus tertinggal tidak naik kelas, maka pada waktu itulah kita memboroskan waktu satu tahun untuk mengulang kelas yang sama.

Walaupun demikian, tidak semua orang yang ketinggalan kelas pasti rugi dan kalah sukses dibanding yang tidak ketinggalan kelas, mungkin karena yang ketinggalan kelas itu jadi lebih percaya diri dan menjadi pemicu keberhasilannya di kemudian hari.

Namun, normalnya, semuanya harus direncanakan dan dipersiapkan dengan baik, jangan sampai tujuan ke Surabaya, tapi malah menuju Ujung Berung, belum lagi bekal yang mesti dipersiapkan, dan kemungkinan hambatan atau rintangan yang bakal kejadian.

“Maka, percayalah Mas, Allah mengikuti apa yang menjadi ‘krentheg’ hati hambanya, maka berdoalah yang baik, berprasangkalah bahwa apapun yang terjadi pada sampeyan adalah yang terbaik buat sampeyan menurut Allah, berkaryalah dengan sebaik-baiknya secara serius, serta tawakallah selalu hanya pada Allah, insya Allah sampeyan mulia dunia dan akhirat,” cerocosku pada anakku.

“Begitulah, mereka yang mengalir dan mengikuti aliran sungai saja, bagi mereka pasti tidak ada pegangan yang kuat hingga mencegahnya terayun-ayun, timbul-tenggelam, tak bermakna, tak bermanfaat. Sebagaimana kita, manusia, yang tak punya pegangan kepada Allah SWT,” pungkasku.

Kulihat anakku mengangguk, berharap dia memahami apa yang saya maksud. Sore yang cerah, adik-adiknya berdatangan hampir bebarengan, seolah menguntit pembicaraan kami. Kulihat tangan anakku mulai meraih kembali buku bacaannya, perlahan aku bergeser untuk menancapkan cerocosanku pada diriku sendiri.

 

Ditulis oleh Cak Usma.

 

Sumber gambar: Antaranews.