Biografi Prof. KH. R. Muhammad Adnan

 
Biografi Prof. KH. R. Muhammad Adnan
Sumber Gambar: Istimewa, Ilustrasi: laduni.ID

Daftar Isi Biografi Prof. KH. R. Muhammad Adnan

  1. Kelahiran
  2. Kisah Masa Kecil
  3. Wafat
  4. Keluarga
  5. Pendidikan
  6. Mendirikan Pesantren
  7. Kiprah di Nahdlatul Ulama (NU)
  8. Karya-Karya
  9. Chart Silsilah Sanad

Kelahiran

Muhammad Adnan, lahir pada hari kamis Kliwon tanggal 6 Ramadhan 1818 bertepatan dengan tanggal 16 Mei 1889, di dalam rumah "pengulon" (tempat kediaman Penghulu) di kampung Kauman, tengah-tengah kota Surakarta, Jawa Tengah. Nama lain Muhammad Adnan pada waktu kecil adalah Muhammad Shauman. Orang tuanya Muhammad Adnan adalah almarhum Kanjeng Raden Penghulu Tafsir Anom V (lima), seorang ulama bangsawan sebagai abdi dalem (pegawai) kraton Surakarta.

Penghulu Tafsir Anom V (lima) dilahirkan pada hari Rabu, 17 Rabiul Awal tahun Jimakir 1786 Jawa 1854 M dan wafat pada tanggal 21 september 1933, dalam usia 79 tahun. Penghulu Tafsir Anom V (lima) memangku jabatan pengulu (qadli) ketika Sri susuhunan Paku Buwana IX (1861-1893) berkuasa. Kiai pengulu Tafsir Anom V adalah keturunan kanjeng kiai pengulu Tafsir Anom IV, yang menjabat penghulu semasa pemerintahan Sri Susuhunan Paku Buwana (PB) VII-IX. Jadi Muhammad Adnan adalah keturunan dari tafsir anom IV yang secara turun-temurun menjabat pengulu (qadhi) di keraton kasunanan Surakarta.

Kalau dirunut silsilahnya, maka akan sampai pada Sultan Syah Alam Akbar III (R. Trenggono), sultan Demak terakhir. Adapun putra dan putri Kiai Tafsir Anom V (lima) ayah Muhammad Adnan berjumlah 10 orang yaitu:

  1. Raden Ngabei Diprodipuro alias Muhammad Qomar.
  2. Raden Ngabei Tondhodipuro (Raden Ketib Cendhono), alias Muhammad Ridwan.
  3. Raden Nganten Mursoko alias Mardiyah.
  4. Kiai Haji Raden Muhammad Adnan, alias Shauman.
  5. Kiai Kanjeng Raden Tumenggung Pengulu Tafsir Anom VI. Sebelum bergelar Raden Ketib Winong, dan nama kecilnya Sahlan.
  6. Raden Ngabei Darmosuroto alias Muhammad Thohar, nama kecilnya Muhammad Ishom.
  7. Raden Nganten Maknawi.
  8. Raden Nganten Sumodiharjo, alias Siti Maryam.
  9. Raden Nganten Projowiyoto alias Marfu'ah.
  10. Raden Nganten Condrodiprojo alias Marhaman.

Melihat dari silsilah di atas Muhammad Adnan adalah putra yang ke 4 dari Tafsir Anom V (lima), saudara dari Pengulu Tafsir Anom VI sebagai pengganti Pengulu Tafsir Anom V, adik kandung atau saudara nomor lima.

Kisah Masa Kecil

Muhammad Adnan dilahirkan dan dibesarkan di kampung Kauman dan tinggal di rumah tradisional Jawa berbentuk joglo serta berpendapa besar.  Pada masa kecil dan remajanya suasana hidup yang meliputinya masih dipengaruhi oleh feodalisme; tradisi Kasunanan Surakarta sangat tampak sifat kefeodalannya. Stratifikasi masyarakat Jawa tempo dulu dalam kenyataannya hanya dibagi menjadi tiga bagian; raja (pangeran), bangsawan, dan petani. Feodalisme Jawa berada pada puncaknya bertepatan dengan pengaruh Belanda yang telah masuk bukan saja dalam arti geografis, melainkan juga masuk kedalam struktur masyarakat Jawa.

Sepanjang zaman itu empat tingkat dapat dibedakan; pertama para raja (monarkhi), kedua para kepala daerah (provinsi) lebih kurang setaraf dengan para bupati modern, ketiga para kepala desa, dan keempat massa penghuni desa. Dapat dicontohkan pada penampilan ayahanda Muhammad Adnan, yakni Tafsir Anom V, dalam kesehariannya sering memakai jubah dan bersorban sebagaimana umumnya busanana ulama pada masa itu. Namun ia sebagai pejabat kraton, kiai kanjeng pengulu ini memakai kain batik, berjas beskap hitam berenda-renda dan punggungnya diselipkan keris sebagai kelengkapan busana tradisional jawa.

Tutup kepalanya bercorak khusus, kombinasi model udheng jawa dan serban yang berwarna putih. Pakaian model ini dipakai dalam tugas dinas ke kantor Yogaswara (departemen Urusan Agama Kraton), atau menghadap Sri Susuhunan ke kraton, selain itu ia diiringi oleh para pembantunya yang membawa payung kebesaran yang berwarna hijau kuning keemasan. Orang-orang yang berjumpa dengan iring-iringan pisowanan itu biasanya lalu berjongkok, kadang-kadang disertai sembah (hormat) dengan tangan yang dirapatkan ke hidung.

Muhammad Adnan tinggal bersama orang tuanya di rumah pengulon (tempat pengulu), selain sebagai rumah juga dipakai semacam "kantor" yang mengurusi NTR (nikah, talak, rujuk) dan masalah keagamaan Islam, terutama yang menyangkut keluarga kasunanan. Rumah pengulon berada di kampung kauman di sebelah utara masjid Agung.

Letak yang demikian itu sesuai dengan tradisi kota di Jawa pada umumnya dan tata kota di ibu kota kerajaan Surakarta dan Yogyakarta pada khususnya, yakni istana (kraton), raja (bupati) disebelah selatan, dengan alun-alun di mukanya dan masjid disebelah baratnya, di sekitar Masjid (kauman) tinggal para agamawan (pemimpin, kiai dan santrinya).

Kebijaksanaan meletakkan tempat ulama dan para santrinya dekat dan kraton adalah usaha untuk menjalin hubungan yang dekat antara raja (pemimpin pemerintahan atau umara) dengan ulama (pemimpin agama). Rumah-rumah paman Muhammad Adnan berada di sekeliling rumah induk pengulon.

Wafat

Pada tengah malam dinihari, selasa pon 24 juni 1969, pukul 03.30 Muhammad Adnan dipanggil oleh Allah SWT, setelah mencapai usia 80 tahun. Jenazahnya dimakamkan hari itu juga ke Pajang, Surakarta setelah dishalatkan di masjid Syuhada Yogyakarta dan masjid Tegalsari, Surakarta.

Keluarga

Muhammad Adnan ketika belajar di Makkah kenal dengan Kiai Haji Akram, seorang saudagar berasal dari Laweyan Surakarta dan haji Akram akhirnya menjadi kakak mertua Muhammad Adnan. Haji Akram memilih cucunya untuk dijodohkan dengan Muhammad Adnan. Cucu H. Akram adalah Siti Maimunah putri kedua KH. Shafawi, yang dilahirkan di Surakarta tahun 1907.

Dengan persetujuan kedua keluarga Tafsir Anom V dan H. Shafawi, dilangsungkan pernikahan antara Muhammad Adnan dan Siti Maimunah Keduanya saling mebantu dan melengkapi, Muhammad Adnan seorang yang alim dalam ilmu agama Islam, sedangkan Maimunah keturunan saudagar muslim, dan terdidik taat beragama.

Sesudah pernikahannya dengan Siti Maimunah, kemudian Muhammad tidak lagi tinggal di rumah mertua H. Syafawi akan tetapi Muhammad Adnan tinggal dirumah yang terpisah. Rumah itu terletak di jalan Bumi 9, kampung Tegalsari. Di sebelah jalan Bumi 9 berdiri sebuah masjid yang didirikan atas usaha Haji Shafawi dan Muhammad Adnan, serta dibantu oleh masyarakat muslim Tegalsari.

Dari perkawinannya dengan Siti Maimunah, Allah menganugrahkan amanah (titipan) 15 orang anak, laki-laki dan perempuan. Anak pertama sampai yang keenam atas kehendak Allah tidak diberi umur panjang. Putra-putri Muhammad Adnan yang pertama sampai keenam meninggal pada usia antara 1 sampai 2 tahun. Pada tanggal 21 April 1930 Muhammad Adnan dianugrahi anak laki-laki yang ketujuh dan diberi nama dengan salah satu nama dari asma'ul husna, yakni Abdulhayi (Hamba Allah yang bersifat hidup). Berturut-turut lahirlah putranya yag lain. Adapun jumlah putra-putri Muhammad Adnan berjumlah delapan orang yaitu:

  1. Abdul Hayi (1930-2003) dengan istri Masadah, dikaruniai 6 orang anak.
  2. 'Abdulllah (1931-1999) dengan istri Maryati, dikaruniai 8 orang anak.
  3. Abdul Basit (1933-2003) dengan istri Makrifah, dikarunia 6 orang anak.
  4. Muhtaromah (1936-2002) dengan istri M. Ishom, dikaruniai 5 orang anak.
  5. 'Abdul Hakim (1937-1996) dengan istri Siti Maemunah, berputra 3 orang anak.
  6. 'Abdul Nur (1938) dengan istri Bidayah, berputra 3 orang anak
  7. 'Abdul Hadi (1940) dengan istri Ita Siti Khatijah, dikaruniai 3 orang anak
  8. 'Abdul Latif (1943) dengan istri Normala, dikarunia 3 orang anak.

Selain sebagai ibu rumah tangga Maimunah istri Muhammad Adnan juga menjadi pengusaha batik dan tenun. Ketika usaha tenunnya berkembang, Muhammad Adnan bersama istrinya pindah kerumahnya sendiri, di jalan Bumi 1, sebelah selatan madrasah Ta’mirul Islam, tidak jauh dari rumah mertuanya. Pada 1940 ketika Muhammad Isa, ketua Hoofd Voor Islamitische Zaken meninggal dunia, Gubernur menunjuk Muhammad Adnan sebagai gantinya.

Berhubung dengan jabatan baru itu, ditinggalkannya jabatan sebagai Hoofd Pengulu Landraad Surakarta. Pada bulan Desember 1941 berangkatlah Muhammad Adnan bersama keluarganya ke Jakarta yang pada waktu itu masih bernama Betawi. Ketika tinggal di jalan Kramat Raya, istri Muhammad Adnan mangandung putranya yang bungsu.

Pada tanggal 6 Muharram 1363 Hijriah atau bertepatan dengan 13 Januari 1943, Maimunah melahirkan putranya yang ke-9 (bungsu), bernama Abdul Latif lahir dalam keadaan selamat, akan tetapi ibunya Maimunah mengalami pendaharan terlalu banyak yang akhirnya jiwanya tak tertolong lagi. Almarhumah dimakamkan pada tanggal 13 Januari 1943, dipemakaman Umum "Kawi-Kawi" di kawasan Gang Sentiong, Jakarta.

Setelah tenggang waktu satu tahun dari wafatnya almarhumah Maimunah, Ibu Nyai Pengulu Tafsiranom V menganjurkan kepada putranya Adnan, agar menikah lagi dengan Nyonya Salamah, seorang Janda yang dahulu menjadi istri almarhum adiknya, Muhammad Ishom yang meninggal pada tahun 1941. Muhammad adnan (57 tahun) menerima anjuran ibundanya, dan melangsungkan pernikahannya dengan Salamah binti Masyhuri, yang dilahirkan pada 10 Agustus 1911. pernikahan berlangsung pada bulan Desember 1943.

Pada hari Jumat, 17 Agustus 1945 Tahun Masehi, atau 17 Agustus 2605 menurut tahun Jepang, Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dibacakan oleh Ir. Soekarno yang didampingi oleh Drs. Mohammad Hatta di Jalan Pegangsaan Timur 56, Jakarta Pusat. Peristiwa ini disambut gembira oleh seluruh rakyat Indonesia, dan juga keluarga Muhammad Adnan.

Sejak proklamasi kemerdekaan itu rumah dan kantor Mahkamah Islam Tinggi tempat Muhammad Adnan bekerja tiada lagi dikibarkan bendera "hinomaru". Sebagai gantinya, sang Merah Putih dikibarkarkan di rumahnya di Jakarta, bahkan di seluruh Indonesia. Sebagai wakil sekutu, kedatangan tentara Inggris untuk melucuti tentara Jepang dan membebaskan tawanan perang Sekutu tidak menjadikan kota Jakarta menjadi lebih aman. Ketegangan-ketegangan semakin menjadi karena disamping tentara Inggris, ada tentara Belanda yang menyelundup di belakangnya.

Pertempuran terjadi dimana-mana antara tentara Belanda/Sekutu dengan pemuda-pemuda Indonesia sehingga situasi kota tidak aman. Berhubung dengan itu, Muhamad Adnan memutuskan untuk memindahkan keluarganya ke kota Surakarta. Muhammad Adnan beserta seluruh keluarganya berangkat ke Surakarta pada bulan Oktober 1945, dengan naik kereta api dari stasiun Jatinegara.

Muhammad Adnan dari rumah menuju ke stasiun berkendaraan truk PMI (Palang Merah Indonesia) karena Muhammad Adnan menjadi penasehat PMI pusat Jakarta. Jalan menuju stasiun tampak sepi, dan tembakan-tembakan terdengar disana-sini. Namun perjalanan tiada mengalami hambatan, dan rombongan keluarga Adnan selamat tiba di stasiun Jatinegara.

Kereta api yang ditumpangi Muhammad Adnan yang sarat oleh penumpang berangkat dari stasiun Jatinegara senja hari, dan tiba di stasiun Balapan Surakarta keesokan harinya kira-kira pukul 08.00 pagi. Rumah yang dituju adalah rumah pengulon “Dalem Pengulon”, di Kauman tempat Muhammad Adnan dulu pernah hidup bersama orang tuanya.

Saat itu Dalem Pengulon dalam keadaan kosong setelah Ibunda Nyai Pengulu Tafsir Anom meninggal awal tahun 1945. Pada tahun 1946 Muhammad Adnan kembali lagi ke Jakarta untuk membenahi kepindahan kantor Mahkamah Islam Tinggi dari Jakarta ke Surakarta. Banyak kantor, jawatan, departemen-departemen yang sudah hijrah ke daerah-daerah yang aman, terutama ke Yogyakarta dan Surakarta.

Pemindahan ini mengikuti kebijaksanaan pemerintahan Republik Indonesia yang menghijrahkan Pusat dari Jakarta ke Yogyakarta. Kemudian Yogyakarta menjadi ibu kota revolusi. Dalam menghijrahkan MIT (Mahkamah Islam Tinggi) Muhammad Adnan dibantu oleh paniteranya, Muhammad Junaidi dan beberapa karyawan.

Pendidikan

Muhammad Adnan pertama kali mengenal huruf-huruf Al-Quran (huruf Arab) melalui ayahnya sendiri Tafsir Anom V. Waktu itu belum banyak sekolah yang didirikan, apalagi sekolah yang memberikan baca tulis huruf Al-Quran. Sedangkan sekolah Rakyat baik yang dinamakan Volksscool (sekolah desa) mapun HIS (Hollands Inlandse School) bisa dihitung dengan jari.

Pengetahuan menulis dan membaca Jawa di peroleh di sekolah partikulir di Solo. Sedangkan pengetahuan baca tulis huruf latin dan pengetahuan umum lainnya mula-mula diperoleh dengan belajar secara pribadi dengan mengundang guru dirumahnya. Dengan memperhatikan bahwa ayah Muhammad Adnan adalah seorang kanjeng raden penghulu Tafsir Anom V (lima), seorang ulama bangsawan sebagai abdi dalem (pegawai) kraton Surakarta maka tidak mengherankan jika darah perjuangan mengalir kepadanya.

Dengan dukungan pendidikannya tentang agama, baik di lingkungan keluarga maupun di pesantren, sehingga dapat membentuk jiwanya dengan nilai-nilai agama di kumudian hari, menjadikannya sebagai seorang pejuang untuk nusa, bangsa dan agama. Tetapi kemudian Adnan berkesempatan juga memperoleh pendidikan formal di sekolah rakyat, dan sesudah berdiri Madrasah Manba'ul Ulum, diapun belajar disana sampai selesai.

Selain di Madrasah Manbaul Ulum, pada usia 13 tahun Muhammad Adnanmulai berkelana dan memperdalam ilmu agama Islam di berbagai pesantren di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Antara lain, Pesantren Mojosari Nganjuk pada Kiai Zaenuddin, Pesantren Mangunsari, Pesanten Tremas Pacitan pada Kiai Dimyati Abdullah, lalu kembali ke Surakarta berguru kepada Kiai Idris di Pondok Jamsaren. Pondok Jamsaren ketika itu merupakan pesantren yang besar dan terkenal, dengan kiainya yang masyhur, dan yang juga mendapat simpati dari Sri Susuhunan.

Di Pondok Jamsaren Muhammad Adnan mempelajari sampai hafal kitab nahwu Alfiyah, karya Ibnu Malik. Alfiah adalah kitab gramatika bahasa Arab yang ditulis dalam bentuk puisi yang terdiri dari 1.000 bait. Keadaan kamar pondok pada waktu itu dinding penyekat kamar bukan dari batu bata merah melainkan dari gedhek (bambu yang di anyam).

Jadi kalau ada anak yang menghafal dengan suara nyaring, maka di kamar sebelahnya akan mendengarnya dengan jelas. Untuk alat penerangan belum digunakan listrik melainkan lampu teplok, yakni lampu minyak tanah yang bisa digantungkan di dinding atau diletakan di meja. Para santri hidupnya sangat sederhana. Tidurnya tidak ada yang berkasur, senin dan kamis mereka berpuasa sunnat.

Secara formal bersekolah di Madrasah Manbaul Ulum, madrasah yang sangat populer pada masa itu, tamat 21 April 1906, yang selama dua tahun telah lulus dengan mendapat ”Syahadah Islamiyah” No. I. Kamudian melanjutkan mengaji, memperdalam Agama Islam ke Hejaz, Makkah dan Madinah selama 8 tahun.

Pada tahun 1908 ayahanda, pengulu Tafsiranom V berkeinginan agar di antara putra-putrinya ada yang memperdalam ilmu agama Islam di tanah suci Makkah Al-Mukarromah. Pilihan ayahnya jatuh pada tiga putranya yakni: Muhammad Adnan Ali as-Shauman, Sahlan, dan Ishom alias Muhammad Thohar. Berangkatlah ketiga putranya itu ke Makkah Al-Mukarramah untuk mengaji, meningkatkan ilmu agama Islam, waktu itu Muhammad Adnan berusia 17 tahun.

Di Makkah Muhammad Adnan bersama kedua saudaranya belajar di Madrasah Darul Ulum dan berguru kepada beberapa kiai dan biaya belajar ditanggung orang tuanya sendiri, Pengulu Tafsir Anom V. Diantara guru-gurunya di Makkah adalah: Kiyai Mahfudz at-Tirmisi (1868-1919) dari Tremas Pacitan yang menjadi ulama di Makkah, telah mendapat ijazah dalam berbagai disiplin ilmu pengetahuan agama Islam dari para pengarang kitab yang hidup sebelum abad XV.

Kiyai Mahfudz at-Tirmisi sebagai ulama yang memiliki otoritas dalam bidang hadis memiliki silsilah dari gurunya, Abu Bakar ibnu Muhammad Syata al-Makki sampai al-Bukhari, Kiai Idris, Syaikh Syatho dan Syaikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi.

Muhammad Adnan bersama kedua saudaranya mengaji dengan tekun dan hidup sederhana sebagai layaknya santri. Ditengah-tengah masa studinya di Makkah ayahnya memerintahkan salah satu di antara ketiga bersaudara mau belajar di Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir. Atas persetujuan bersama, yang berangkat ke Al-Azhar adalah saudara mudanya yaitu Muhammad Isham.

Menjelang tahun 1914 karena suasana dunia internasional genting, yaitu setelah terbunuhnya orang penting di Sarajevo yang menjadi penyebab perang dunia pertama, dan pada waktu di Arabia timbul bahaya kekurangan makan. Ayahnya memerintahkan agar putra-putranya kembali ke tanah air. Dimungkinkan ada kekhawatiran, jika nanti timbul peperangan besar, maka hubungan antara jazirah Arab dan Indonesia menjadi terputus dan dapat menyebabkan para mukimin Indonesia di Makkah telantar hidupnya.

Oleh karena itu Muhammad Adnan bersaudara memutuskan untuk memenuhi perintah ayahnya pulang ke tanah air. Dengan naik kapal laut mereka kembali ke tanah air dan pada tahun 1916 tiba dengan selamat. Sekembali ke Indonesia ia masih belajar lagi di madrasah Manbaul Ulum Solo. Karena ketekunannya dalam mencari ilmu, Muhammad Adnan sampai mendapatkan gelar Profesor dalam ilmu Fiqh.

Mendirikan Pesantren

Sepulangnya dari Makkah masyarakat muslim di Surakarta Sangat berharap agar Muhammad Adnan dapat mengamalkan dan meneruskan ilmu yang sudah dipelajarinya itu kepada masyarakat. Sedatangnya dari tanah suci Makkah, menjadi seorang putera mantu Haji Shafawi, Tegalsari, Muhammad Adnan sangat giat usaha amalnya untuk menggerakkan pelajaran Islam hingga berhasil baik.

Kampung Tegalsari itu sekarang menjadi pusat pergerakan Islam, dan disitu didirikan masjid yang besar dan modern. Bersama mertuanya ini pula beliau mendirikan Masjid Tegalsari Surakarta. Beliau juga menjadi salah satu tokoh perintis Pondok Pesantren Al-Muayyad Solo.

Sebenarnya Muhammad Adnan berkeinginan ingin mendirikan pesantren sendiri, akan tetapi karena ada tugas lain yang tak kalah pentingnya dengan mengelola pesantren. Meskipun demikian, ia tetap ingin menyebarluaskan ilmu agama Islam. Bidang yang dianggap tepat untuk menampung cita-citanya itu ialah bidang keguruan dan pendidikan.

Muhammad Adnan sebenarnya kurang suka menjadi abdi dalem (pegawai kraton), priyayi atau pegawai negri. Berpangkal wasiat ayahandanya, telah mengantarkan Muhammad Adnan pada suratan takdir bahwa sampai akhir hayatnya ia harus membaktikan dirinya kepada Allah, bangsa dan negara melalui pegawai negeri.

Banyak orang yang berdatangan di rumahnya. Orang-orang dari berbagai kalangan untuk beguru dan mempelajari agama Islam. Ada di antara mereka dari kalangan anak muda, orang tua dan wanita. Orang yang berlatar belakang awam, orang-orang sederhana dan ada yang tergolong intelek. Di antaragolongan orang yang intelek terdapat guru-guru sekolah umum, misalnya Soemadi dan Koesban, keduanya adalah guru HIS. Mereka mengaji di luar jam kerja, yakni dari ashar sampai maghrib.

Melihat kegiatan pengajian yang padat itu, ayahandanya memerintahkan anak-anaknya untuk medirikan sekolah. Itu dipenuhi dengan mendirikan sekolah Bawaleksana (khusus putri), Madrasah Tarbiyatul Aitam (Pendidikan anak-anak yatim) dan madrasah Syari’ah (pendidikan Agama Islam, khusus laki-laki). Ketiga jenis sekolah itu semuanya memberikan pendidikan agama Islam. Sedangkan sekolah Bawaleksana yang hanya khusus putri itu memberikan pendidikan umum dan agama.

Sebagai pendidik Muhammad Adnan pernah diangkat menjadi guru pada sekolah Madrasah Islamiyah di Pasar Kliwon (1916-1923), yang kemudian menjadi Holland Arabische School. Ia juga menjadi Mahaguru pada ”Kenkoku Gakuin” (Persiapan Sekolah Tinggi Hukum) zaman pendudukan Jepang. Pada tahun 1948 Kementrian Agama RI, Muhammad Adnan diserahi membentuk SGHI (Sekolah Guru Hakim Islam) di Surakarta, yang kemudian pindah ke Yogyakarta dan berganti nama SGHA (Sekolah Guru Hakim Agama), kemudian menjadi PHIN (Pendidikan Hakim Islam Negeri) dan ia sebagai ketuanya.

Muhammad Adnan pernah memimpin Madrasah Manba’ul Ulum Surakarta, setelah ia kembali belajar dari Makkah. Madrasah Manba’ul Ulum pertama kali dipimpin dipimpin oleh oleh Kiai Arfah, setelah Muhammad Adnan diangkat menjadi Penghulu maka pada tahun 1919 madrasah itu dipimpin oleh K.H. Jumhur, dan pada tahun 1946 Manbaul Ulum dipimpin oleh K.H. Jalil Zamakhsari. Pada tahun 1951 Muhmmad Adnan mempelopori berdirinya ”Al Djami’atul Islamiyah” Perguruan Tinggi Islam Indonesia (PTII) di Surakarta bersama KH. Imam Ghozali dan KH. As’at.

Selanjutnya PTII Solo ini digabung dengan UII Yoyakarta dan dikenal kemudian dengan nama UII cabang Solo. Pada tahun ini pula ia diangkat sebagai Dewan Kurator/Pengawas serta diangkat sebagai Guru Besar tidak tetap pada Fakultas Hukum PTII. Tahun 1950 ketika Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) diresmikan diberi kepercayaan menjadi ketuanya sampai perguruan tinggi itu menjadi IAIN (1960), selain itu ia juga diangkat menjadi guru besar dalam bidang fiqh ia juga menjadi dosen luar biasa di Univesitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta.

Dalam pendidikan keluarga, Muhammad Adnan memberikan pendidikan agama kepada anak-anaknya ada yang dilakukan dengan secara langsung dan ada pula yang dilaksanakan secara tidak langsung. Mulai usia 4 tahun, semua putranya diberikan pelajaran menghafal al-Fatihah ayat demi ayat, di teruskan dengan surat-surat dari juz ‘Amma yang pendek-pendek. Tuntunan menghafalkan firman Allah Swt. yang berupa surat-surat yang pendek itu diberikan langsung oleh Muhammad Adnan. Sesudah itu, ibu anak-anak melatih lagi hafalan-hafalan surat-surat pendek seperti surat al-Ikhlash, al-falaq dan yang lain-lain.

Makin meningkat umur anak itu mangkin meningkat hafalannya. Ketika di Jakarta, Muhammad Adnan memerintahkan kepada istrinya agar anak-anak ditingkatkan pendidikan agamanya, bukan hanya agar dapat membaca al-Qur’an saja melainkan perlu juga diberi pelajaran pokok-pokok ajaran Islam tentang Rukun Iman, Rukun Islam, tuntunan Ibadah dan Akhlak. Untuk melaksanakan maksud ini, anak-anak yang sudah agak besar (8-11 tahun) setiap sore sehabis salat Ashar diberikan pendidikan dan pelajaran agama yang meliputi bidang tauhid, fiqh, dan Akhlaqul Karimah.

Buku rujukan (reference) yang digunakan Ibu adalah Aqidatul Awam untuk tauhid, Safinatun Najat untuk fiqh dan Hidayatul Islam karangan Muhammad Adnan sendiri untuk akhlaq. Kitab Hidayatul Islam adalah kitab karya Muhammad Adnan sendiri dengan memakai berbahasa Jawa berhuruf Arab Pegon, yang banyak juga disertai sumber-sumber Al-Qur’an dan Al-Hadis. Dalam kebijaksanaan pendidikannya, meskipun Muhammad Adnan tergolong ulama, ia tidak pernah mengharuskan putra-putranya memilih bidang studi tertentu.

Ia tidak pernah memberi tekanan kepada anak-anaknya. Kalau ia mempunyai pendapat tentang arah studi yang perlu ditempuh anak-anak, secara persuasif ia hanya menganjurkan dan bukan mewajibkan. Muhammad Adnan juga tidak pernah memerintah anak-anaknya yang berlebihan, dikarenakan menjaga supaya anak-anaknya terhindar dari dosa. Sebab perkara yang mubah bisa menjadi wajib jikala perintah itu dari orang tua ditujukan kepada anak-anaknya. Jangan sampai membebani anak yang akhirnya mengakibatkan dosa bagi si anak jika tidak dikerjakan perintah tesebut.

Kiprah di Nahdlatul Ulama (NU)

Muhammad Adnan pernah penasehat Syuriah PBNU serta Dewan Pimpinan Umum PBNU pada tahun 1950. Muhammad Adnan selain sebagai pendidik ia juga seorang arsitek yang merancang masjid jami’ Tegalsari. Pencetus gagasan untuk membangun masjid Jami’ Tegalsari adalah: KH. R. Muhammad Adnan, H. Sonhaji, H. Djayadi, KH. A. Mudzakir, Ali Imron dan KH. M. Umar bin Akram.

Semua orang tersebut di atas sudah wafat dan nama-nama ia tertulis di prasasti tembok belakang masjid. Setelah bangunan masjid berdiri Muhammad Adnan segera menghubungi penguasa kraton Surakarta untuk mengajukan izin mendirikan salat jum’at. Atas beberapa pertimbangan, antara lain semakin banyaknya penduduk yang bermukim jauh dari masjid jami’ (masjid kraton) akhirnya pihak kraton memberikan izin kepada takmir masjid Tegalsari untuk menyelenggarakan shalat jum’at.

Karya-Karya

Muhammad Adnan aktif juga menulis baik dalam bahasa Indonesia atau bahasa Jawa karangannya antara lain:

  1. Tafsir Al-Qur’an Suci Basa Jawi
  2. Hidayatul Islam
  3. Tuntunan Iman dan Islam
  4. Ilmu Fiqh dan Ushulnya
  5. Peringatan Hari-Hari Besar Islam
  6. Khutbah Jum’at Basa Jawa
  7. Mutiara Hikmah

Chart Silsilah Sanad

Berikut ini chart silsilah sanad guru Prof. KH. R. Muhammad Adnan dapat dilihat di sini.


Artikel ini sebelumnya diedit tanggal 01 September 2022, dan kembali diedit dengan penyelarasan bahasa tanggal 24 Juni 2023.

 

Lokasi Terkait Beliau

List Lokasi Lainnya