Epidemi Corona dan Media Trapping Disela Physical Distance

 
Epidemi Corona dan Media Trapping Disela Physical Distance

LADUNI.ID, Jakarta - Indonesia tak habis-habisnya menggosipi makhluk kecil bernama Corona. Mau bagaimana lagi, virus kecil yang baru bermukim selang beberapa bulan yang lalu dari akhir September 2019 hingga saat ini.

Melalui media transmisinya dengan cepat mampu mengunjungi lebih 100 negara hanya dengan dalam kurung waktu 3 bulan.

Menariknya, kalau kita membuka buku yang disusun oleh Perhimpunan Dokter Paru indonesia 2020 "Pneumonia Covid-19 Diagnosis dan Penataksanaan Di Indonesia". Sungguh mengejutkan bahwa dikabarkan Corona hadir di Bumi ini sejak 50 tahun silam.

Ia kerabat dekat sekaligus evolusi dari Middle East Respiratory Syndrom Corona Virus (MERS-CoV) dan Severe Acute Respiratory Syndrome-Associated Coronavirus (SARS-CoV) dan 4 kerabat lainnya, yang tidak mesti penulis sebutkan.

Dari situlah cikal bakal lahirnya si bungsu Novel Coronavirus 2019 (2019-nCoV) tepatnya disalah satu pasar Kota Wuhan Provinsi Hubei, China atau Tiongkok.

Coronavirus menjelma sebagai parasite yang tidak hanya menyerang fisik melainkan menyerang sendi-sendi krusial materi kehidupan.

Dibalik efek epideminya menghasilkan coretan manis bahkan cuitan sinis dari kalangan sesuai kondisi yang dihadapi. Maka dari itu tak henti-hentinya kampanye lawan corona bermunculan baik dari kalangan akademisi bahkan dari ibu-bapak medis kita selaku pahlawan garda terdepan.

Kampanye paling ringan yaitu membangun proyeksi menjaga kesehatan kita dimulai dengan membetahkan diri dirumah sesuai anjuran Organisasi Kesehatan Internasional (WHO) yaitu Physical Distancing.

Selaras dengan pesan moril Ibnu Sina atau Avicenna. “Kepanikan adalah separuh penyakit, ketenangan adalah separuh obat dan kesabaran adalah permulaan kesembuhan.

Beliau seorang filosof islam sekaligus dokter ahli, abad pertengahan dengan salah satu bukunya yang fenomenal yaitu Al-Qanun fi al-Thibb. Buku rujukan ilmu kedokteran di eropa sampai akhir abad 17 M.

Pesan beliau untuk meminimalisir panik berlebihan di tengah pandemi menjadi salah satu sikap proaktif dalam melawan penyebaran Corona.
Physical Distance saat ini harus dimaknai sebagai metode jaga jarak antar fisik sembari terjalin koneksi lewat jaringan online.

Pengurangan koneksi fisik tatap muka dinilai obat paling manjur memutus rantai penyebaran Covid-19. Bisa diprediksi unsur-unsur produktif kita lebih banyak pemanfaatannya via online.

Aktivitas komunikasi, keperluan primer, kuliah, konsultasi skripsi,  semua serba online. Para mahasiswa calon sarjana mau tidak mau menunda wisudanya akibat pelarangan kerumunan dan risihnya fasilitas wisuda online tidak memadahi, katanya.

Pokoknya 80% kehidupan normal manusia adalah online. Alih-alih ada yang merintih tunjangan pembeli kuota dan kacamata mines baru.

Nah selanjutnya adalah media trapping alias jebakan media dalam bentuk apapun di dunia maya. Media trapping yakni perilaku-perilaku tidak sehat yang pastinya adalah hoaks, diskriminasi, agitasi kebencian dan propaganda.

Jebakannya bermacam-macam mulai dari iming-iming kuota gratis, umrah gratis, pornografi, agitasi kebencian antar suku, vaksin palsu, bahkan bayi baru lahir ikut-ikut difitnah dengan dalih telur rebus.

Kekurang hati-hatian kaum rebahan bermedsos ternyata dijadikan alat keuntungan beberapa kelompok.

Padahal sejak 2011 telah ada rumusan etika online dari penggiat internet dalam hal ini perwakilan para pers Indonesia mengatakan “Internet dapat membantu mencari, mendapatkan, dan mengelolah dan mendistribusikan banyak informasi yang positif dan bermanfaat bagi indivudi atau masyarakat luas”.

Sangat jelas, sangat tegas dan begitu krusial untuk diteladani ketika terjun didunia maya. Dibarengi dengan UU pemanfaatan TIK No. 19 Tahun 2016 pasal 27-29 yang semua isinya berbicara tentang bagaimana berprilaku cerdas ketika bersosial media.

Skefo bagi siapa saja yang melanggar UU TIK dapat dipidana penjara maksimal 4-6 Tahun dan denda paling banyak Rp. 750.000.000 – Rp. 1.000.000.000, fantastik.

Gangguan psikologis dikarenakan masifnya serangan pandemi dikhawatirkan hanya menjadi alat kepentingan sepihak. Medsos sebagai sarana menyebarkan virus-virus positif malah menjadi ladang usaha dan pendapatan dengan cara-cara yang tidak dibenarkan serta untuk  kepentingan kelompok.

Disituasi seperti saat ini hal apapun bisa terjadi. Kepanikan, minimnya program literasi online, desakan ekonomi menjadi faktor yang mempengaruhi psikologi bermedsos kaum muda.

Olehnya itu bekal generasi muda (+62) di era 4.0 tidak hanya mampu mengoperasionalisasikan alat tegnologi tetapi dibarengi dengan pendalaman analisis  terhadap tantangan serta dampak tegnologi.

Tidak mudah larut dalam berita-berita hoaks tanpa mencari kebenarannya. Tentunya juga, tidak terlibat dalam praktik-praktik terlarang.

Menjalankan medsos sesuai tujuannya yakni senantiasa menuangkan hal-hal positif dan inspiratif.

Ahmad Riecardy
(Mahasiswa IAIN Pare-Pare)