Social Distancing ala Ibnu Al-Khatib

 
Social Distancing ala Ibnu Al-Khatib

LADUNI.ID, Jakarta - Maut Hitam (Black Death) merupakan pandemi hebat yang pertama kali melanda Eropa pada pertengahan hingga akhir abad ke-14 (1347 – 1351). Wabah ini berhasil membunuh sepertiga hingga dua pertiga populasi Eropa. Sayangnya, orang Eropa yang fanatik terhadap agama (Kristen) tidak menyikapinya secara ilmiah-medis, malah meresponnya dgn doktrin-teologis. Menganggap ini adalah takdir Tuhan yang tak bisa dirubah, bahkan sbgian melempar kesalahan kepada kalangan Yahudi.

Namun, respon berbeda ditunjukkan oleh Ibnu al-Khatib. Bernama asli Muhammad bin Abdullah bin Sa'id bin Abdullah bin Sa'id bin Ali bin Ahmad as-Salmani al-Khathib. Ulama par exelence ini dalam  kitabnya muqni'ah al-sail an al-maradhal ha'il memperkenalkan teori penularan wabah, ia berujar:

"Fakta penularan menjadi jelas bagi para peneliti yang memperhatikan bahaya seseorang yang menjalin kontak dengan penderita akan menderita penyakit yang sama, sedangkan orang yang tidak menjalin kontak akan tetap sehat. Dan bahwa penularan bisa terjadi lewat pakaian, gelas minum dan anting-anting."

Teori penularan yang dipaparkan oleh Ibnu Khatib inilah yang kita kenal sekarang dengan konsep Social Distancing. Wabah tidak bergerak, kitalah yang menggerakkannya. Jika kita berhenti bergerak (berkerumun), maka virus berhenti berpindah ke orang lain. Sederhananya demikian.

Islam adalah agama jama'ah. Ibadah kolektif menempati posisi krusial dalam tradisi keislaman. Namun  doktrin ini tidak cocok diterapkan saat merebaknya wabah. Jika tidak, akan terulang kembali peristiwa memilukan sebagaimana direkam oleh amirul muhaditsin Ibnu Hajar al-Asqolani.

Dalam kitabnya Badzl al-Maun fii Fadhl at-Thaoun diceritakan pernah terjadi wabah di suatu daerah namun ditanggapi oleh umat muslim saat itu dengan  berjamaah membaca sohih bukhori dan membaca Surat Nuh di mihrab sahabat sebanyak 3363x, lalu setelahnya berdoa bersama agar diangkat wabah tersebut, namun yang terjadi malah wabah bertambah keganasannya.

Di kitab yg sama, Ibnu Hajar mencatat bahwa seorang khotib di setiap sholat membaca qunut dan doa, sampai mereka puasa 3 hari sampai terkumpul lautan manusia di jalan-jalan sambil menangis bertawajjuh, namun yang terjadi banyak yang meninggal dan semakin parah. Konon, saat itu di damaskus sehari 1.000 orang meninggal akibat serangan virus.

Begitulah gambaran bahaya kerumunan saat wabah merebak, virus menyerang. Dan beberapa abad sebelumnya sudah diperingatkan oleh Ibnu al-Khatib tentang pentingnya social distancing.

Ibnu Al-Khatib karena kecakapannya yang multidimensional: faqih, fisikawan, penyair, filsuf dan ahli kedokteran, dijuluki sebagai Lisanuddin.

Philip K. Hitti mencatat, Ibnu Khatib hidup pada kisaran tahun (1313-1374), berasal dr keluarga Arab namun pindah ke Spanyol. Karena mengalami dua kekuasaan sultan Nashriyah ketujuh, yakni Yusuf Abu al-Hajaj dan anaknya Muhammad V, ia juga mendapat gelar dzu al-wizaratain.

Sayangnya, Ibnu al-Khatib mati dengan mengenaskan di wilayah Fez. Jebolan Universitas Qowariyyun ini meregang nyawa akibat dicekik seseorang karena dendam pribadi, setelah 3 tahun sebelumnya ia melarikan diri dari Granada karena konflik internal di istana.


(Oleh W Eka Wahyudi)