Biografi KH. Afandi Abdul Muin Syafi’i

 
Biografi KH. Afandi Abdul Muin Syafi’i
Sumber Gambar: Istimewa, Ilustrasi: laduni.ID

Daftar Isi Biografi KH. Afandi Abdul Muin Syafi’i

  1. Kelahiran
  2. Wafat
  3. Keluarga
  4. Pendidikan
  5. Dipercaya Untuk Mengajar
  6. Mendirikan Pesantren
  7. Mutiara Terpendam
  8. Karya

Kelahiran

KH. Afandi Abdul Muin Syafi’i atau yang kerap disapa dengan panggilan Abah Afandi lahir pada tahun 1938 di Kedungwungu Krangkeng Indramayu, Jawa Barat. Beliau merupakan salah satu Kiyai sepuh NU Jawa Barat.

Wafat

KH. Afandi Abdul Muin Syafi’i berpulang ke rahmatullah sekitar pukul 08.00 Wib pada Rabu 13 Juli 2016, dalam usia 78.

Jenazah almarhum dikebumikan di Pesantren As-Syafi’iyyah Kedungwungu Krangkeng, Indramayu, Jawa Barat. Abah Afandi meninggalkan istrinya bersama 8 putra dan 14 cucu.

Keluarga

Saat masih di Pesantren Tambakberas, Abah Afandi pernah akan dinikahkan oleh Mbah Yai Wahab dengan seorang gadis putri Kiyai besar yang tak lain adalah sahabat dekatnya dan pengasuh pesantren di Jawa Tengah.

"Afandi, saya pilih kamu untuk menjadi menantu seorang Kiyai, yang mencari menantu ahli kitab kuning," kata Mbah Wahab dalam bahasa Jawa Timur-an.

Tetapi saat ditawari itu, Abah Afandi malah menangis.

Mbah Wahab pun menanggapi dengan becanda, "Lho mau saya nikahkan dengan gadis cantik, putrinya Kiyai, pesantrennya besar, kok malah kamu menangis?"

Abah Afandi menjawab, "Mohon maaf, Mbah Yai. Saya sudah menikah."

Mbah Wahab menimpali, "Oh, ya sudah, berarti belum jodoh." 

Beliau terpaksa mengatakan dengan jujur kepada Mbah Yai Wahab karena memang waktu itu Abah Afandi sudah menikah dengan seorang gadis bernama Nyai Sofiyah putri KH. Habib Hasan, pilihan orang tuanya yang menjadi pendamping hingga akhir hayatnya. Saat itu keduannya sudah melakukan akad nikah, meskipun belum tinggal serumah, karena masing-masing masih belajar di pesantren. Abah Afandi di Jombang, sedangkan istrinya belajar di Pesantren Babakan Ciwaringin, Cirebon.

Pendidikan

Pada tahun 1953, Abah Afandi memulai pendidikannya dengan belajar di Pondok Pesantren Tambakberas, Jombang. Beliau adalah siswa angkatan pertama Madrasah Mu'allimin Pesantren Tambakberas yang didirikan oleh Mbah KH. Fattah Hasyim Idris pada tahun 1953.

Selain itu, di luar madrasah, Abah Afandi juga aktif mengikuti pengajian kitab pada Mbah KH. Abdul Wahab Chasbullah dan Mbah Yai Fattah Hasyim.

Semasa hidup Mbah Yai Wahab Chasbullah dan Mbah Yai Fattah Hasyim sering mengunjungi muridnya yang bernama Afandi itu di desa Kedungwungu, Krangkeng, Indramayu, Jawa Barat.

Diceritakan bahwa Abah Afandi diajar langsung oleh Mbah Yai Wahab Kitab Al-Ajjurumiyyah yang diulang sampai empat kali khataman. Mbah Wahab mengatakan: "Afandi, kalau mengaji Kitab Al-Ajjurumiyyah cuman sekali saja, itu belum sempurna, sedikitnya empat kali khatam."

Menurut cerita Mbah Kiyai Fatah, saat menuntut ilmu di Pesantren Tambakberas Jombang, selain sebagai santri yang sungguh-sungguh, rajin dan tekun, kelebihan lain Abah Afandi (muda) juga terletak di lisannya yang fasih, tutur katanya jelas dan suaranya keras ketika mengajar, sehingga tidak aneh jika beliau disenangi oleh para santri.

Setiap Mbah Yai Fattah mengaji, maka pasti menyuruh santri bernama Afandi asal Indramayu itu untuk membaca kitab yang diajarkan. Mbah Yai Fattah hanya mendengarkan dan kemudian menjelaskan isi dari kitab yang dibaca oleh Afandi muda.

Karena itulah kalangan santri dan Kiyai Tambakberas menjuluki Abah Afandi dengan sebutan "Qori'", yaitu santri yang selalu ditugaskan oleh Mbah Yai Fattah sebagai "tukang baca kitab" yang diajarkan oleh guru-guru atau Kiyainya. Cerita ini berdasarkan penuturan KH. Moh. Faiq Hasyim Idris, pengasuh Pondok Pesantren Kedunglo Kediri, Jawa Timur.

Beberapa tahun sebelum wafatnya Almaghfurlah KH. Chudori, yang akrab di sapa Pak Chudori, wali kelas Abah Afandi waktu sekolah di Madrasah Mu'allimin Tambakberas, dalam beberapa kesempatan beliau pernah bercerita, "Bertahun-tahun saya mengajar di Madrasah Mu'allimin, belum menemukan siswa yang pemahaman dan penguasaan kitab kuningnya sangat luar biasa seperti Afandi. Ia belum ada yang menandingi dalam matangnya pemahaman nahwu, shorof, mantiq, dan balaghohnya," tutur Pak Chudori.

Abah Afandi selesai belajar di Pondok Pesantren Tambakberas pada tahun 1962.

Dipercaya Untuk Mengajar

Atas prestasi Abah Afandi dalam belajar, meski masih muda dan masih menjadi siswa Madrasah Mu'allimin, Abah Afandi selalu dipercaya oleh guru-gurunya setiap ada ujian untuk mengoreksi lembaran-lembaran jawaban para santri seangkatannya.

Karena kemampuan penguasaan kitabnya Abah Afandi yang mumpuni meski masih muda, banyak teman-teman sesama santri yang minta mengaji kitab tertentu pada Abah Afandi di pesantren Tambakberas.

Awalnya mengaji hanya dengan satu atau dua santri, di dalam bilik atau kamar santri. Namun seiring waktu, jumlah santri yang ikut pun bertambah, sehingga peserta meluber di teras-teras depan asrama santri.

Melihat antusiasme para santri yang mengikuti pengajian kepada santri bernama Afandi itu, Mbah KH. Fattah Hasyim dan Mbah KH. Wahab Chasbullah (sesepuh Pesantren Tambakberas waktu itu) diam-diam memperhatikannnya, dan atas izin dua Kiyai sepuh tersebut, akhirnya santri Tambakberas bernama Afandi kala itu, dipersilakan mengaji di masjid Pesantren Tambakberas. Pesertanya pun membeludak.

Tidak sedikit para santri yang diajar oleh Abah Afandi sewaktu di Pondok Pesantren Tambakberas Jombang, di kemudian hari menjadi Kiyai besar, seperti Almaghfurlah KH. Masruri Abdul Mughni, yang pernah menjadi Rais Syuriyah PWNU Jawa Tengah selama dua periode dan pengasuh Pesantren Al-Hikmah Dua Benda Sirampog, Brebes, Jawa Tengah dengan tujuh ribu santri, dan kini menjadi besannya Abah Afandi.

Ketika Abah Afandi bercerita di Pesantren Gedongan, Astana Japura, Ender Cirebon (asuhan buyut KH. Said Aqil Siroj), Abah Afandi dengan tawadhu'nya bilang, "Dulu waktu di Pondok Pesantren Tambakberas Jombang yang mengajar dia saya, tetapi ketika pulang yang menjadi Kiyai dia (Kiyai Masruri). Pondoknya besar, santrinya ribuan," tuturnya.

Kisah ini seperti yang terjadi pada gurunya Abah Afandi, yaitu Mbah KH. Abdul Fattah Hasyim Idris. Ketika mondok di Tebuireng, Jombang, beliau juga sering ditugasi "mbadali" ngaji di masyarakat. Di samping itu juga ditugasi mengajar di kelas sifir awal dan seterusnya sebagai guru kelas.

Karena disenangi murid-muridnya, ketika Mbah Yai Fattah pindah ke Denanyar Jombang memenuhi panggilan sang mertua, yakni KH. Bisri Syansuri, sekitar 25 muridnya ikut pindah ke Denanyar. Pada akhirnya, mereka juga ikut boyongan ke Tambakberas ketika beliau diminta Pak De nya, KH. Abdul Wahab Chasbullah untuk kembali ke Tambakberas membantu pamannya, KH. Hamid Chasbulloh.

Antara Abah Afandi dan Mbah Yai Fattah Hasyim ada kesamaan dan perbedaan. Keduanya sama-sama dipercaya oleh Kiyainya untuk mengajar santri-santri junior. Keduanya sama-sama digemari murid-muridnya. Keduanya sama-sama mempunyai lisan yang fasih, tutur kata yang jelas, suara yang keras, dan seterusnya.

Perbedaanya, yang paling nampak, adalah ketika boyong dari Tebuireng ke Denanyar dan dari Denanyar ke Tambakberas, diikuti oleh murid-muridnya. Tidak demikian dengan Abah Afandi, ketika beliau boyong dari Jombang ke kampungnya di Indramayu, tidak diikuti oleh murid-muridnya.

Di antara rutinitas Mbah Yai Fattah adalah membangunkan santri di sepertiga malam, agar para santri sholat Tahajjud. Tetapi, di kala itu, setiap melewati bilik atau kamar yag ditempati oleh santri bernama Afandi, Mbah Yai Fattah tidak akan menggedor pintu tesebut. Karena kalaupun pintu diketuk atau dibuka, sudah dipastikan santri dalam kamar tersebut sedang mutholaah (mempelajari) kitab-kitab. Bukan sedang tidur seperti umumnya santri-santri yang lain.

Dalam kesehariannya, setelah Abah Afandi menetap di kampungnya hingga wafat. Beliau menjadi rujukan para Kiyai pecinta kitab kuning, baik dari Indramayu maupun daerah sekitarnya, yang bertanya tentang masalah-masalah “kelas berat” yang berkaitan dengan kitab kuning papan atas.

Mendirikan Pesantren

Dengan berbekal ilmu yang telah Abah Afandi dapatkan dari guru-gurunya di berbagai pesantren, Abah Afandi akhirnya pulang ke rumah. Di kampung halamannya beliau mendirikan Pesantren As-Syafi’iyyah Kedungwungu Krangkeng Indramayu, Jawa Barat.

Mutiara Terpendam

Salah satu kerabat terdekat Abah Afandi, KH. Dr. (HC) Fuad Hasyim, pengasuh Pesantren Buntet Cirebon Jawa Barat,  dalam beberapa kesempatan beliau pernah mengatakan, "Abah Afandi ini ‘mutiara yang terpendam’. Beliau seorang Kiyai yang luar biasa penguasaan kitab kuningnya, dan sangat tawadhu', sahabat dekatnya Gus Dur, namun sungguh sayang beliau kurang begitu dikenal oleh masyarakat luas secara nasional."

Menurut Kiyai Fuad Hasyim hal itu disebabkan karena Abah Afandi menetap di Indramayu, sedangkan sudah terkenal bahwa masyarakat Indramayu kurang bisa menghormati para Kiyai. Padahal penghormatan masyarakat luas kepada Kiyai tertentu itu tergantung bagaimana masyarakat sekitar tempat Kiyai itu menetap, dalam memberi penghormatan kepadanya.

"Contoh paling sederhana: Masyarakat sekitar memanggil ‘Gus’ maka masyarakat luas di luar daerahnya juga akan memangil ‘gus’. Kalau masyarakat sekitar memanggil ‘Mbah Yai’, maka masyarakat luas di luar daerahnya pun pasti akan memanggil demikian pada Kiyai itu. Selain itu, di Indramayu juga ada mitos susah jadi Kiyai," tutur Kiai Fuad dalam satu kesempatan.

Karya

Abah Afandi meninggal dunia dengan warisan ilmu yang diajarkan kepada para murid dan juga ilmu yang tertuang di dalam karya tulis berjudul "Risalatul Muin fi Aqaid Al-Khamsin". Kitab ini mengulas penjelasan soal ilmu tauhid.

Sumber:  Tulisan KH. Abdul Nashir Fattah, Rais PCNU Jombang, Pengasuh Pesantren Al-Fathimiyah Tambakberas, Jombang.


Artikel ini sebelumnya diedit tanggal 26 Oktober 2020, dan kembali diedit dengan penyelarasan bahasa tanggal 13 Juli 2023.

 

Lokasi Terkait Beliau

List Lokasi Lainnya