Biografi KH. Ahmad Qusyairi

 
Biografi KH. Ahmad Qusyairi
Sumber Gambar: foto istimewa

Daftar Isi Biografi KH. Ahmad Qusyairi

1.   Riwayat Hidup dan Keluarga
1.1 Lahir
1.2 Riwayat Keluarga
1.3 Wafat
2.   Sanad Ilmu dan Pendidikan
2.1 Guru-guru Beliau
3.   Perjalanan Hidup dan Dakwah
3.1 Menjadi Pengajar di Pondok Pesantren
3.2 Menolak Menjadi Adipati Pasuruan
3.3 Menjadi Penyalur Haji
4.   Karya-karya Beliau
5.   Referensi
6.   Chart Silsilah Sanad

 

1.  Riwayat Hidup dan Keluarga

1.1 Lahir

KH. Ahmad Qusyairi lahir pada Sabtu Pon 11 Sya’ban 1311 H atau 17 Februari 1894 M di Lasem (Sumbergirang). Beliau adalah putra keempat dari 23 orang bersaudara, dari pasangan KH. Muhammad Shiddiq dengan Nyai Maimunah (Masmunah).

1.2 Riwayat Keluarga

Ketika KH. Ahmad Qusyairi masih kecil, ayahanda beliau berpindah ke Jember. Konon, kepindahan itu dikarenakan isyarat dari Rasulullah Saw melalui mimpi. Mimpi itu mengisyaratkan supaya beliau berpindah ke timur untuk berdakwah. Jember pun menjadi pilihan karena itulah yang diperintahkan oleh KH. Kholil Bangkalan, guru beliau. “Kyai Shiddiq jembar,” katanya saat santrinya itu singgah dalam perjalanan ke timur.

Kebetulan Jember saat itu merupakan daerah gersang dari sisi dakwah. Penduduknya masih banyak yang tidak beragama atau beragama Hindu-Budha. (baca: “Biografi Mbah Shiddiq” oleh Afton Ilman) Di kota ini ada seorang saudagar kaya bernama H. Alwi. Dia memiliki lima buah pabrik selep beras dan 35 rumah besar. Dia sangat akrab dengan Kyai Shiddiq. Bahkan, tanah tempat berdirinya pesantren serta rumah Kyai Shiddiq di Talangsari adalah hasil waqaf dari H. Alwi.

H. Alwi rupanya menyimpan kesan mendalam kepada pemuda Ahmad Qusyairi, putra Kyai yang dikaguminya itu. Begitu terkesannya sehingga dia menuruti apa yang dikatakan oleh pemuda itu. Misalnya, seperti dituturkan Kyai Hasan Abdillah, pemuda Ahmad Qusyairi menyarankan kepada H. Alwi supaya mengeluarkan zakat mal untuk hartanya yang berlimpah itu. “Ini harus di zakati,” katanya. “Baik,” jawab si saudagar.

H. Alwi tidak hanya mengamini, tapi juga menyerahkan soal perhitungan zakatnya kepada Kyai Ahmad, dan Kyai chmad menjalankan tugas itu dengan baik setiap tahunnya.

Alhasil, keduanya sudah seperti anggota keluarga. Seperti bapak dan anak. Guna lebih melanggengkan hubungan keluarga tersebut, H. Alwi meminang pemuda Ahmad Qusyairi untuk menjadi menantunya. Tetapi manusia hanya bisa berencana, dan Allah yang menentukan. Pemuda Ahmad Qusyairi urung jadi menantu H. Alwi karena dijodohkan ayahandanya dengan putri KH. Yasin bin Rois Pasuruan. Bagaimana ceritanya?

Begini. Kyai Shiddiq, abah beliau, telah menjalin hubungan pertemanan dengan Habib Alwi bin Segaf As-Segaf Pasuruan melalui hubungan dagang. Keduanya memang sama-sama pedagang, tapi juga sama-sama wali. Dari Habib Alwi, Kyai Shiddiq mengenal Kyai Yasin bin Rois, seorang Kyai besar pengasuh Pesantren Salafiyah yang terletak di desa Kebonsari, Pasuruan.

Suatu kali, ketika Kyai Shiddiq bersama pemuda Ahmad Qusyairi mengunjungi Habib Alwi, sang Habib menawarkan untuk menjodohkan putra Kyai Shiddiq itu dengan putri Kyai Yasin. Kyai Shiddiq menyatakan setuju. Kyai Yasin juga sepakat. Singkat cerita, pemuda Ahmad Qusyairi dinikahkan dengan Fatmah binti Kyai Yasin bin Rais.

Akan halnya H. Alwi, tentu saja dia merasa kaget. Dia lalu menuntut kepada Kyai Ahmad supaya mencarikan ganti beliau. Kyai Ahmad menawarkan iparnya, Kyai Muhammad bin Yasin. H. Alwi merasa cocok, begitu pula di pihak pria. Maka dilangsungkanlah pernikahan antara Kyai Muhammad dan putri H. Alwi.

Kyai Ahmad menikah dalam usia 19-20 tahun. Beliau merasa malu karena istri beliau, yang usianya lebih tua satu tahun, sudah hafal seluruh al-Quran. Selama ini Kyai Ahmad memang tidak pernah menghafalkan al-Quran. Waktunya habis untuk menimba dan menimba ilmu.

Rasa malu tadi melecut beliau. Setahun setelah pernikahan, beliau berangkat ke kota suci Mekah guna menghafalkan Al-Quran di sana. Alhamdulillah, dalam waktu tiga bulan beliau berhasil menghafalkan 30 juz Al-Quran. Pulang ke Indonesia, beberapa kali beliau kembali ke Mekah untuk beribadah haji dan menimba ilmu.

Suatu kali, beliau sedang berada di Mekah. Tiba-tiba Perang Dunia I meletus. Beliau tidak bisa pulang. Apa boleh buat. Beliau pun bermukim di tanah suci itu selama lima tahun. Di sana beliau menjalin hubungan dengan Syekh. Lima tahun kemudian, sepulang dari sana, beliau menjadi badal (wakil atau agen) dari syekh tersebut.

1.3 Wafat

Pada tahun 1971 M, saat KH. Ahmad Qusyairi menunaikan ibadah haji. Waktu itu jamaah haji tinggal cukup lama di tanah suci, yaitu tiga bulan. Sehingga banyak orang khawatir Kyai Ahmad meninggal dunia di sana, maklum sudah sangat tua. Tidak terdengar kabar bahwa beliau wafat, empat bulan kemudian beliau kembali ke Indonesia.

Pada haul yang ke-36 KH. Ahmad Qusyai, KH. Hamid Ahmad selaku penceramah menceritakan bahwa beberapa waktu setelah pulang dari haji, ada orang kaya meminjami beliau mobil. Si pemiliknya berniat tidak akan mengendarai mobil itu sebelum dipakai oleh Kyai Ahmad. Kyai Ahmad lalu memakinya untuk pergi ke Lasem. Bisa dikatakan, itu adalah safari silaturrahmi karena dalam perjalanan itu beliau singgah hampir di  setiap kota yang dilalui.

Sesampainya di Lasem beliau berkeliling ke rumah sanak famili yang banyak sekali. Tak ketinggalan beliau juga bersilaturahmi ke KH. Ma’shum, yang terhitung masih paman beliau. Kyai Ma’shum lebih tua empat tahun dari Kyai Ahmad. Pada saat itu Kyai Ma’shum sedang menderita sakit keras. Terjadilah percakapan yang hangat di anatara beliau berdua. Di dalam percakapan tersebut mereka berebut untuk bisa menghadap Allah terlebih dahulu.

Tidak lama setelah itu, keduanya menghadap Allah dalam waktu yang berdekatan. Kyai Ma’shum mendapat giliran terlebih dahulu. Beliau wafat pada bulan Ramadhan 1392 H atau 1972 M. Sekitar 40 hari setelah itu, giliran Kyai Ahmad yang menghembuskan nafas terakhir, yakni pada hari Selasa tanggal 22 Syawal 1392 H atau 28 November 1972 M. Beliau wafat di Pasuruan di rumah Kyai Hamid alias rumah yang ditempati Kyai Ahmad sewaktu masih tinggal di Pasuruan dulu. Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.

2. Sanad Ilmu dan Pendidikan Beliau

Mengingat keterbatasan sumber, tak banyak yang bisa diungkap dari masa kecil KH. Ahmad Qusyairi. Tetapi yang pasti, sejak usia dini beliau sudah dikirim ke pesantren oleh ayahandanya. Beliau berpindah dari satu pondok ke pondok lainnya. Antara lain, pernah menimba ilmu di Pondok Pesantren Langitan (Tuban), di Kajen (Pati) semasih diasuh KH. Khozin, dan Semarang (Kyai Umar).

Tetapi yang paling fenomenal adalah belajar beliau di Bangkalan, yakni di pondok Syekhona KH. Kholil Bangkalan. Kyai Kholil adalah ulama besar. Seorang waliyullah. Ada yang menyebut, beliau adalah wali kutub. Banyak santri beliau yang menjadi wali dan Kyai besar. Kepada beliaulah ayahanda KH. Muhammad Shiddiq menimba ilmu dan amaliyah.

Kemudian, setelah berkeluarga, beliau mengirimkan putra-putranya di sana, termasuk Kyai Ahmad Qusyairi. Kelak, Kyai Ahmad Qusyairi juga menitipkan putra sulung beliau, KH. Ridlwan, untuk mengais ilmu dari barokah dari sang wali kutub.

Menurut KH. Hasan Abdillah Glenmore, Kyai Ahmad Qusyairi nyantri kepada Kyai Kholil saat masih remaja (pasca baligh). Suatu kali, di bulan Ramadhan, Kyai Kholil menyuruh para santri supaya tidak tidur di malam hari. Katanya, “Ayo cari Lailatul Qadar”. Maksudnya, mereka disuruh beribadah malam supaya mendapat barokah dari malam yang sangat mulia itu.

Kyai Ahmad Qusyairi termasuk di antara santri yang juga mencari Lailatul Qadar. Tetapi beliau salah sangka. Beliau mengira, Lailatul Qadar itu benda kongkret. Malam itu beliau mencarinya ke sana kemari namun hasilnya, tentu saja, nihil. Pulang ke pesantren beliau dilanda kecapekan, lantas tertidur pulas.

Pada dini hari, Kyai Kholil berkeliling pesantren. Tujuanya, untuk mengawasi para santri. Tiba-tiba beliau melihat seberkas cahaya pada tubuh kecil seorang santri. Beliau mendekati sosok kecil itu lantas mengikat ujung sarungnya (dibikin simpul mati), sebagai tanda. Paginya, seusai salat subuh, beliau membuat pengumuman. “Ayo, siapa yang di sarungnya ada tali simpul?”

Tak ada santri yang menjawab. Si empunya simpul pun tak menjawab karena takut. Dia merasa bersalah karena tidur pulas tadi malam, padahal disuruh begadang.

“Kalau tak ada yang mau mengaku, ya sudah!” kata Kyai Kholil dengan nada keras. Dengan takut-takut seorang santri yang masih kecil mengacungkan jarinya. “Saya,” katanya. Ternyata dia santri bernama Ahmad Qusyairi.

Marahkah Kyai Kholil, yang dikenal berperangai keras itu? Tidak. Beliau justru berkata, “Mulai sekarang para santri tak usah mengaji padaku. Cukup kepada Ahmad Qusyairi.”

Kita tidak tahu persis (para sumber kita juga tidak tahu) apakah setelah kejadian itu beliau langsung pulang. Tetapi kami menduga beliau tidak langsung pulang. Beliau masih terus menimba ilmu hingga beberapa tahun.

Selain terkenal alim dan derajat ilmunya yang tinggi, Kyai Achmad juga dikenal sebagai ahli ibadah, mengawal sunnah Nabi, ahli ilmu falak (astronomi) dan juga sebagai seorang sufi. Kiai Qusyairi belajar ilmu falak semasa di Masjidil Haram kepada Syekh Muhammad Hasan Asy’ari bin Abdurrahman al-Baweani al-Fasuruani, seorang ahli ilmu falak waktu itu. Dinamakan al-Baweani karena beliau berasal dari pulau kecil bernama Bawean yang terletak di sebelah utara Kabupaten Gresik, Jawa Timur. Terkadang nama beliau tidak ditambahkan al-Fasuruani.

Kiai Achmad menjuluki Kiai Muhammad Hasan Asy’ari dengan julukan al-‘allamah al-falaki asy-syahir (orang yang sangat alim, ahli falak dan terkenal). Beliau juga menyebutkan bahwa Syekh Asy’ari merupakan akhiru ahlir rashd (ahli pengintai bulan yang terakhir). Begitulah pengakuan Kiai Achmad terhadap gurunya yang memang begitu ahli dalam bidangnya. Apa-apa yang kerap kali diamalkan oleh Kiai Achmad Qusyairi dalam keseharian hidupnya baik itu dalam segi kebiasaan dan hal lainnya juga ditiru dan diistiqomahkan oleh Kiai Hasan. Kiai Hasan Abdillah juga menerapkan sunnah-sunnah Nabi dalam hidupnya. Seperti halnya mengkonsumsi sedikit garam sebelum dan sesudah makan.  

2.1 Guru-guru Beliau

  1. KH. Muhammad Shiddiq (Ayahanda KH. Ahmad Qusyairi)
  2. KH. Khozin Kajen, Pati
  3. Kyai Umar Semarang
  4. Syaikhona Kholil Bangkalan
  5. Syekh Muhammad Hasan Asy’ari bin Abdurrahman al-Baweani al-Fasuruani

3. Perjalanan Hidup dan Dakwah

3.1 Menjadi Pengajar di Pondok Pesantren.

Beliau juga mengajar. Cukup banyak pengajian yang beliau gelar, baik di lingkungan Pondok Pesantren Salafiyah maupun di luarnya. Entah itu di kota Pasuruan maupun di luar kota, seperti di desa Winongan (Kabupaten Pasuruan) dan kota Gresik.

Selama di Pasuruan beliau tinggal di lingkungan Pondok Pesantren Salafiyah. Tepatnya di sayap kiri rumah mertua beliau, Kyai Yasin. Adalah Kyai Yasin yang menyuruh beliau supaya membangun “sayap” tersebut, yang menempel di rumah sang mertua. Kemudian pada dasawarsa 1930-an, beliau membangun rumah di sebelah kanan rumah Kyai Yasin, yakni rumah yang kelak ditempati oleh menantu beliau, KH. Hamid.

Menurut KH. Hasan Abdillah, Kyai Ahmad merupakan menantu yang disayang oleh Kyai Yasin. Maklum, antara keduanya ada kesamaan prinsip. Beliau tidak hanya disuruh membangun rumah yang menempel pada rumah Kyai Yasin, tapi juga dipercaya untuk mengajar di pondok. Peran sebagai pengajar dan pengurus pondok terus beliau pegang sepeninggal mertua beliau dan tongkat estafeta kepengasuhan pondok berpindah ke KH. Muhammad bin Yasin, putra Kyai Yasin.

Tetapi beliau tidak hanya mengajar di lingkungan pesantren. Beliau juga mengajar di tempat-tempat lain, seperti di Winongan (Kabupaten Pasuruan), Gresik, Madura dan lain-lain. Belakangan, seperti dituturkan KH. Abdur Rohman Ahmad, beliau tidak mengajar lagi di Gresik, tetapi orang-orang Gresik yang datang ke Pesantren Salafiyah Pasuruan untuk mengikuti pengajian beliau.

3.2 Menolak Menjadi Adipati Pasuruan

Menurut KH. Ali Ahmad Sahal selaku penceramah pada haul ke-46 KH. Ahmad Qusyairi selain mengajar, keistimewaan beliau adalah pernah diangkat menjadi Adipati Pasuruan. Pengangkatan ini  sekitar tahun 1945 sejumlah ulama berkumpul di Masjid Jami’ Al-Anwar mengadakan pemilihan adipati.

Hasilnya mereka sepakat untuk memilih Kyai Ahmad sebagai calon Adipati Pasuruan. Alasan pertama dikarenakan masyarakat ingin pro kepada rakyat tidak menjadi antek dari penjajah. Alasan kedua Kyai Ahmad paling pantas untuk menjabat kedudukan ini karena selain alim beliau juga ahli dalam bidang ini serta mampu mengusai bahasa asing yang pada saat itu termasuk langka orang menguasainya.

Akan tetapi beliau menolaknya, beliau hanya ingin menjadi orang biasa. Sampai-sampai beliau hijrah ke Jember. Beliau di Jember tidak tinggal di kota melainkan di desa kecil yang bernama Jatian. Alasannya karena di kejar-kejar Belanda terkait pencalonan beliau menjadi Adipati Pasuruan.

Kemudian Kyai Ahmad berhijrah lagi ke timur lebih tepatnya di Desa Glenmore Banyuwangi. Selain menetap disana beliau juga berdakwah. Dakwah kali ini berbeda dengan dakwah yang sebelum-sebelumnya, di daerah ini masyaraktnya berwatak keras dan lebih para lagi kebanyakan masyarakat masih banyak melakukan maksiat yang biasa disebut molimo (maling, mendem, madat, madon, dan mateni).

Sehingga dakwah kali ini terasa lebih berat, akan tetapi dengan ketabahan dan kesabaran beliau dalam mengajar masyarakat, masyarakat pun mulai berubah dengan memegang teguh nilai-nilai Islam serta mencintai ulama.

3.3 Menjadi Penyalur Haji

Syekh adalah julukan bagi orang-orang yang bertindak sebagai host atau rumah bagi para jamaah haji. Mereka mengorganisasikan perjalanan ibadah haji para jamaah selama di tanah suci, sejak kedatangan hingga kepulangan mereka serta menyediakan akomodasi dan berbagai fasilitas yang diperlukan. Para syekh itu memiliki wakil atau agen di Indonesia, yang disebut Badal Syekh.

Peran Badal Syekh ini mirip dengan yang dijalankan KBIH (Kelompok Bimbingan Ibadah Haji) sekarang: dari mencari jamaah, mendaftarkan mereka di Jakarta (segala dokumen haji kala itu harus diurus di kantor pusat di ibukota), dan mengurus keberangkatan mereka.

Lebih kurang, itulah pula yang dilakukan oleh Kyai Achmad. Para calon jamaah haji mendaftar kepada beliau, lalu beliau mengurus segala keperluan mereka dan mengantar mereka hingga ke kapal. Para calon jamaah haji itu, yang datang dari berbagai desa di kota dan kabupaten Pasuruan, berkumpul di Pesantren Salafiyah.

Dari sana mereka naik dokar ke Pelabuhan Pasuruan. Karena kapal yang mengangkut mereka tidak bisa sandar di tepian, maka dari pelabuhan mereka diangkut dengan perahu kecil ke tengah laut.

Kyai Ahmad biasanya ikut naik pula ke perahu kecil itu, guna memastikan tiada masalah pada para calon jamaah tersebut: entah itu soal tiket ataupun soal berbagai dokumen perjalanan. Terkadang, menurut Kyai Hasan Abdillah, beliau tidak hanya mengantar sampai ke kapal, tapi juga sampai ke Mekah. Pasalnya, kapten kapal yang terkesan oleh penampilan dan bahasa Belanda beliau, lalu mengajak beliau untuk ikut ke Jeddah, tanpa paspor.

Di samping menjadi Badal Syekh, beliau juga membuka usaha di bidang peralatan dokar. Tepatnya, beliau menjual suku cadang dan peralatan dokar. Adapun tokonya terletak di selatan Masjid Agung Pasuruan, dan diberi nama “Pasoeroeansche Dokar Handel”.

4. Karya-karya Beliau

KH. Ahmad Qusyairi merupakan salah satu ulama Nusantara yang produktif, dibuktikan dengan beberapa karya beliau yang fenomenal. Karya tersebut di antaranya:

  1. Al-Jadawilul Falakiyah”. Kini naskah teks asli kitab Al-Jadawilul Falakiyah karangan Syekh Achmad Qusyairi berada di Leiden University, Belanda,
  2. Tanwirul hija nazhmu safinatin naja,
  3. Ar-Risalatul Lasimiyah fi Adabil Akli wasy Syarb  (Risalah Lasem tentang Tatakrama Makan dan Minum) dalam bentuk nazham,
  4. Izharul Bisyaroh (membahas tentang hadrah),
  5. Al-wasilatul Hariyyah (kumpulan salawat Nabi).

5. Referensi:

  1. www. nu.or.id
  2. https://radarbromo.jawapos.com/tag/kh-ahmad-qusyairi

6.  Chart Silsilah Sanad

Berikut ini chart silsilah sanad murid KH. Ahmad Qusyairi dapat dilihat DI SINI dan untuk guru beliau dapat dilihat DI SINI

 

Lokasi Terkait Beliau

List Lokasi Lainnya