Biografi Nyai Hj. Sholichah Munawwaroh Wahid Hasyim

 
Biografi Nyai Hj. Sholichah Munawwaroh Wahid Hasyim

Daftar Isi Biografi Nyai Hj. Sholichah Munawwaroh Wahid Hasyim

1.    Riwayat Hidup dan Keluarga
1.1  Lahir
1.2  Riwayat Keluarga
1.3  Wafat
2.    Sanad Ilmu dan Pendidikan
2.1  Guru-guru
3.    Perjalanan Hidup dan Dakwah
3.1  Peran di Muslimat NU
4.    Referensi

1.  Riwayat Hidup dan Keluarga

1.1 Lahir
Nyai Hj. Sholichah Munawwaroh Wahid Hasyim lahir 11 Oktober 1922 di Pondok Pesantren Denanyar Jombang. Beliau merupakan anak kelima dari 10 saudara, dari pasangan KH. Bisri Syansuri dengan istri Nyai Hj. Nur Chadijah (adik dari Mbah Abdul Wahab Hasbullah). KH. Bisri Syansuri adalah seorang ulama besar dan pendiri pesantren Mambaul Ma’arif Denanyar, Jombang. Sedangkan Nyai Nur Chadijah adalah putri dari ulama besar, KH. Hasbullah.

1.2 Riwayat Keluarga
Nyai Hj. Sholichah Munawwaroh Wahid Hasyim menikah dengan Gus Abdurrahim, putra dari KH. Cholil Singosari, tetapi sang suami kemudian wafat pada tahun awal pernikahan mereka.
Kemudian, Nyai Hj. Sholichah Munawwaroh Wahid Hasyim menikah kembali dengan KH. Wahid Hasyim pada tahun 1936 M, tepat hari Jum’at, 10 Syawal 1356 H. Setelah menikah, pada awalnya, mereka tinggal di Denanyar, tetapi kemudian pindah ke Tebuireng, sampai sekitar tahun 1942.

Dari penikahan beliau dikaruniai enam putra-putri yang di kemudian hari menjadi tokoh hebat yakni:

  1. KH. Abdurrahman Wahid (Mantan ketua PBNU dan Presiden keempat Indonesia),
  2. Aisyah Hamid Baidlowi, (Mantan ketua Umum PP Muslimat NU 1995-2000)
  3. KH. Salahuddin Wahid, (insinyur lulusan ITB, Pengasuh PP Tebuireng sesudah KH.Yusuf Hasyim)
  4. Umar Wahid, (dokter lulusan UI)
  5. Lily Chodijah Wahid,
  6. Hasyim Wahid.

Rumah tangga KH. Wahid dengan Neng Waroh yang usai menikah lebih akrab dikenal dengan nama Nyai Sholichah ini hanya berlangsung 15 tahun. Tepatnya tahun 1953, KH. Wahid Hasyim meninggal dunia dalam sebuah kecelakaan mobil di Jawa Barat.

1.3 Wafat
Nyai Hj. Sholichah Munawwaroh Wahid Hasyim wafat pada Jum’at, 29 Juli 1994, sekitar pukul 23.00 WIB di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta, pada usia 72 tahun. Jenazah beliau dimakamkan di kompleks pemakaman Pondok Tebuireng Jombang. Nama beliau, diabadikan untuk nama Masjid di Ciganjur, menjadi Masjid Al-Munawwaroh.

2.    Sanad Ilmu dan Pendidikan
2.1 Pendidikan

Pendidikan Nyai. Sholichah Munawwaroh Wahid pada masa kecil tidak jauh dari lingkungan pesantren. Secara formal, beliau belajar di Madrasah Ibtidaiyah (MI) di pesantren Mambaul Ma’arif asuhan ayah beliau. Materi-materi yang diajarkan juga tidak jauh dari khazanah Islam Tradisonal, seperti: Al-Qur’an dan kitab-kitab hadits, tajwid, nahwu, sharraf, fiqh, kitab ‘Uqud Al-lujayn, Adab Al-Mar’ah, dan Nadzm As-Sullam As-Saakinah, yang semuanya beliau pelajari dengan menggunakan metode hafalan. Di luar pendidikan formal, Nyai Sholichah Wahid belajar pelajaran ekstra dari ayah beliau. Waktunya biasanya siang hari setelah dzuhur dan malam hari setelah isya.

2.2  Guru-guru

  1. KH. Bisri Syansuri (ayah)
  2. Nyai Hj. Nur Chadijah (ibu)
  3. KH. Wahid Hasyim (suami)

3. Perjalanan Hidup dan Dakwah
Ketika KH. Wahid wafat dalam kecelakaan di Cimahi, pada 1953, Nyai Hj. Sholichah Munawwaroh Wahid Hasyim mengambil alih semua peran menghidupi, membimbing, dan mendidik keluarga. Karena beliau tidak mau tinggal di Jombang dan tetap memilih di Jakarta. Beliau dijadikan oleh Allah, menjadi seorang yang harus menghadapi liku-liku hidup dan merawat-membesarkan anak-anak beliau di dalam belantara Jakarta yang keras.
Pada awalnya KH. Bisri Syansuri memang menghendaki, melalui musyawarah keluarga, agar dia kembali ke Jombang, dan bahkan ketika anak-anak beliau akan dibagi di antara paman-paman beliau untuk diasuh, Nyai Hj. Sholichah Munawwaroh Wahid Hasyim tidak bersedia. Beliau memilih tinggal di Jakarta bersama anak-anak beliau.

Ketangguhan, kesabaran, dan keuletan, kiprah beliau di masyarakat, integritas, dan dipadu dengan munajat-munajat beliau kepada Allah, telah menjadikan Nyai Hj. Solichah ini, sebagai sosok yang sangat dihormati, bukan hanya oleh anak-anak beliau, tetapi juga oleh tokoh-tokoh NU, dan kolega-kolega beliau di luar NU.

Gus Dur menyebut sang ibu, seperti dituturkan dalam buku Ibuku Inspirasiku, dengan menyebut, seperti “ayam induk” bagi para pimpinan NU pada masanya, tidak pernah lepas kontak dengan para pimpinan masyarakat, lokal, dan nasional.

Bahkan keputusan kembali ke Khitah NU di Situbondo, tidak juga terlepas dari sosok beliau. Gus Dur yang dicalonkan di arena Muktamar NU di Situbondo, juga mau maju setelah meminta restu dulu kepada sang Ibu, Nyai Hj. Sholichah Munawwaroh Wahid Hasyim.

3.1 Peran di Muslimat NU
Pada tahun 1950, ketika KH. Wahid Hasyim diangkat menjadi menteri agama, Nyai Hj. Sholichah Munawwaroh Wahid Hasyim ikut pindah lagi ke Jakarta. Di Jakarta beliau terlibat dalam kegiatan-kegiatan kemasyarakatan, terutama di Muslimat NU Jakarta.

Keterlibatan beliau yang aktif diperbaikan masyarakat dan kepejuangan beliau, dimulai dengan menjadi anggota Muslimat NU Gambir (1950), Ketua Muslimat NU Matraman (1954), Ketua Muslimat NU DKI Jaya (1956), hingga Ketua I Pimpinan Pusat Muslimat NU tahun 1959 sampai beliau wafat pada Jumat, 29 Juli 1994 dalam usia 72 tahun.

Dalam kegiatan di lingkungan Muslimat, Nyai Hj. Sholichah Munawwaroh Wahid Hasyim merintis berdirinya Yayasan Kesejahteraan Muslimat (YKM) yang mengelola segala jenis fasilitas umum seperti Rumah Sakit, klinik, panti asuhan, rumah bersalin, dan fasilitas sosial lainnya.

Kegiatan sosial beliau tidak hanya di lingkungan Muslimat NU saja, beliau juga aktif di berbagai organisasi sosial seperti YDB (Yayasan Dana Bantuan), Yayasan Bunga Kamboja, IKPNI (Ikatan Keluarga Pahlawan Nasional Indonesia), Home Care, panti jompo dan pengajian untuk para ibu yang dinamakan Al-Ishlah di Mataraman. Di dalamnya beliau sangat aktif dan cukup berperan.

Keterlibatan beliau di Muslimat NU itu, masih ditambah dengan keterlibatan beliau sebagai legislator DKI Jakarta (1957), DPR-GR/MPRS (1960), DPR/MPR (1971 mewakili NU, 1978-1987 mewakili PPP).

Semoga apa yang beliau kerjakan menjadi amal baik yang tak akan pernah terputus dan Allah SWT senantiasa mencurahkan Rahmat-Nya kepada beliau. Aamiin.

4. Referensi
Nur Hasan, Khazanah Ulama Perempuan Nusantara/Nur Hasan; editor, Muhammad Ali Fakih_cet. 1-Yogyakarta: IRCiSoD, 2023

 

Lokasi Terkait Beliau

    Belum ada lokasi untuk sekarang

List Lokasi Lainnya