Hukum Menikahi Wanita Hamil Hasil Berzina

 
Hukum Menikahi Wanita Hamil Hasil Berzina
Sumber Gambar: Unplash, Ilustrasi: laduni.ID

Laduni.ID, Jakarta - Salah satu problem remaja saat ini adalah semakin maraknya pergaulan bebas antara laki-laki dan perempuan. Hal ini mengakibatkan banyak remaja putri yang menjadi korban, banyak di antara mereka yang hamil di luar nikah.

Biasanya untuk menutupi aib dirinya dan keluarganya, mereka dinikahkan dalam keadaan sudah hamil. Dalam kasus ini, para ulama telah banyak membahasnya secara komperehensif dengan mempertimbangkan konsekuensi hukum menikah dan beberapa konsekuensi lainnya.

Sebelum membahas hukum menikah secara spesifik, akan disampaikan dulu hal yang tidak kalah pentingnya, yaitu menikahkan wanita hamil hasil zina dengan pasangan zinanya dengan tujuan mengaburkan status anaknya. Sebab, biasanya orang tua menikahkan anaknya yang hamil di luar nikah itu adalah agar aibnya tidak diketahui masyarakat dan anaknya dianggap anak yang sah.

Menurut keterangan dalam Kitab Bughyatul Mustarsyidin bahwa menutupi status anak hasil zina dianggap sebagai anak sendiri dalam segi nasab adalah dosa besar dan pemerintah wajib membubarkan pernikahan tersebut. Sebab jika tidak, maka anak tersebut akan dinasabkan kepada laki-laki yang menikahi ibunya yang sebelumnya telah hamil hasil zina. Lebih-lebih jika anak tersebut perempuan, dan laki-laki tersebut akan menjadi wali dalam menikahkan. Padahal, anak hasil hubungan gelap tidak bisa dinasabkan kepada laki-laki yang menghamili meski ia menikahi perempuan tersebut.

Pendapat Ulama

Ada beberapa pendapat ulama tentang hukum menikahi wanita hamil hasil berzina

1. Sah secara mutlak dan boleh langsung melakukan hubungan suami istri setelah akad nikah. Pendapat ini dimunculkan oleh Imam As-Syafi’i. Sebagaimana diterangkan oleh Imam An-Nawawi di dalam Kitab Al-Muhaddzab bahwa ulama Madzhab Syafi’i telah sepakat dalam hal sahnya menikahi wanita hamil hasil zina. Hal ini berdasarkan sabda Nabi SAW:

لَا يُحَرِّمُ الْحَرَامُ الْحَلَالَ

“Sesuatu yang haram tidak bisa mengharamkan yang halal” (HR. Ibnu Majah dan Baihaqi). Sedangkan Sahabt Abu Bakar pernah berkata: “Bila seseorang menzinai wanita lain maka tidak haram bagi orang itu untuk menikahinya”.

2. Sah dengan syarat tidak melakukan hubungan suami istri (jima’) sampai janin yang dikandung perempuan tersebut lahir. Pendapat ini disampaikan oleh Imam Abu Hanifah berdasarkan dalam satu riwayat. Beliau berpegang pada Hadis berikut ini:

لَا تَسْقِ بِمَائِكَ زَرْعَ غَيْرِكَ

Tidak halal bagi seorang yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk menyiramkan maninya ke tanaman (mani) orang lain” (HR. Abu Dawud dan Ahmad).

3. Tidak Sah kecuali janin yang dikandung telah lahir dan mereka telah bertaubat. Pendapat ini dikeluarkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal dan Ishaq. Hal ini berpegang pada Surat An-Nur ayat 3:

الزَّانِي لَا يَنْكِحُ إِلَّا زَانِيَةً أَوْ مُشْرِكَةً وَالزَّانِيَةُ لَا يَنْكِحُهَا إِلَّا زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ وَحُرِّمَ ذَلِكَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ

“Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang mukmin.”

Akan tetapi ketika janin telah lahir dan mereka telah bertaubat, maka boleh dinikahi. Hal ini berdasarkan Hadis:

اَلتَّائِبُ مِنَ الذَّنْبِ كَمَنْ لَا ذَنْبَ لَهُ

Seorang yang telah bertaubat dari dosa itu layaknya tidak ada dosa padanya.” (HR. Hakim, Ibnu Majah, Thabrani, dan Baihaqi).

Semoga bermanfaat. []


Catatan: Tulisan ini telah terbit pada tanggal 18 Mei 2022. Tim Redaksi mengunggah ulang dengan melakukan penyuntingan dan penyelarasan bahasa.

___________

Penulis: KH. Fajar Abdul Bashir (Ketua Lembaga Bahtsul Masail (LBM) PWNU DIY dan Pengasuh Pesantren Ar-Risalah Bantul)

Editor: Hakim