Biografi KH. Achmad Muzakki Syah

 
Biografi KH. Achmad Muzakki Syah
Sumber Gambar: Istimewa, Ilustrasi: laduni.ID

Daftar Isi Biografi KH. Achmad Muzakki Syah

  1. Kelahiran
  2. Nasab
  3. Pendidikan
  4. Mendirikan Pesantren
  5. Mendirikan Majelis Taklim
  6. Chart Silsilah Sanad

Kelahiran

KH. Achmad Muzakki Syah lahir pada Ahad tanggal 09 Agustus 1948 di desa Kedawung kecamatan Patrang kabupaten Jember. Beliau merupakan putra dari pasangan keluarga sakinah KH. Achmad Syah dengan Nyai Hj. Siti Fatimatuzzahra binti KH. Syadali.

Sebagai anak yang bertugas menjaga adiknya (bernama Moh. Mahsun), Gus Muzakki kecil secara alamiyah telah terdidik menjadi seorang pemimpin, paling tidak dalam mengayomi, sabar, mengalah dan menyayangi adiknya yang lebih kecil. Maka tidak heran bila dalam diri Gus Muzakki telah tertanam karakter kepemimpinan yang kelak dapat menjadi modal dasar untuk memimpin umat. 

Sedikit cerita tentang ayahnya Gus Muzakki, yakni KH. Achmad Syah. Beliau diakui banyak orang sebagai salah seorang ulama yang wara’, tawadhu’, sangat alim, dan seorang ahli zuhud di zamannya. Beliau pernah nyantri dan berguru pada seorang Waliyullah, KH. Ali Wafa, di pondok pesantren “Al-Wafa” Tempurejo, Jember selama 23 tahun.

Kendati KH. Achmad Syah termasuk tokoh “warrosihuna fil ilmi”, namun beliau memilih mengubur eksistensi dirinya di dalam bumi “khumul” (ketidak terkenalan), konon semua kebesarannya sengaja dirahasiakan demi kemuliaan anak-anaknya kelak dii masa yang akan datang.

Menurut keterangan KH. Ainul Yaqin, ketika Nyai Hj. Siti  Fatimatuzzahra hamil dua bulan (kelak, sang bayi dikasih nama Achmad Muzakki), KH. Achmad Syah tidak pernah telat menghatamkan Al-Qur’an seminggu sekali, menghatamkan Kitab Nur Burhan (Kitab Manaqib Syaikh Abdul Qodir Al-Jailani) tiap subuh, dan khusus tiap malam jumat beliau menyembelih ayam untuk dzikiran manaqib bersama para tetangganya, padahal saat itu ekonominya sangat memprihatinkan.

Selang beberapa saat, KH. Achmad Syah bermimpi. Di dalam mimpinya itu, beliau seakan buang air kecil ketika hendak berwudhu, tapi tiba-tiba yang keluar bukan air kencing, melainkan seekor macan yang sangat besar. Konon mimpi tersebut terus terngiang dalam ingatan kesehariannya.

Ketika Gus Muzakki masih berumur satu tahun, konon ayah dan ibunya sering bermimpi yang aneh-aneh. Sebagaimana dituturkan oleh Drs. Cholili, M.Pdi, dalam Buku Mutiara di Tengah Samudra. Suatu hari, sekitar jam 02.00 dini hari, KH. Achmad Syah berteriak-teriak (ngelindur). Di dalam terikannya beliau berucap, "... muzakki, muzakki... turun,  turun... nanti kamu jatuh, ada apa kamu disitu ..?" Saking kerasnya teriakan itu, banyak tetangga yang terbangun dan mendatangi KH. Achmad Syah.  Setelah ditanya kenapa berteriak-teriak di waktu tengah malam, beliau menjawab bahwa dirinya telah melihat Gus Muzakki bertengger di langit keempat dan tidak mau turun. Konon, kata Gus Muzakki dalam mimpinya ayahnya itu, dia sedang membetulkan pintu gerbang para Waliyullah yang roboh.

Nasab

Penulisan silsilah Kiyai Muzakki di sini dimaksudkan untuk melihat  bagaimana para luluhurnya memberikan nuansa lingkungan pada beliau sejak dalam kandungan, masa kanak kanak, masa remaja hingga pada masa dewasa. Dalam hal ini termasuk juga untuk melihat berbagai i’tibar positif yang dapat diteladani oleh generasi berikutnya.

Sekali lagi penulisan silsilah Kiyai muzakki ini hanya dimaksudkan untuk melihat sejumlah dimensi seperti di atas. Bahwa kalau kemudian dalam penelusuran silsilah Kiyai Muzakki ditemukan memiliki titik ordinat dengan masyayikh dan habaib yang terus bersambung pada Rasulullah SAW, maka sesungguhnya hanyalah sebuah kebetulan belaka. Tetapia yang pasti dan banyak yang mengakui, adalah bahwa Kiyai Muzakki terbukti nyata memiliki talenta spiritual yang dapat dijadikan acuan oleh banyak orang untuk bercermin.

Dari berbagai data yang ditemukan, KH. Achmad Muzakki Syah mempunyai silsilah yang bersambung hingga kepada Rasulullah SAW, dengan rincian sebagai berikut:

Achmad Muzakki syah adalah putra dari Ny. Juma’ati (Hj. Fatimatuzzahra) binti KH. Syadali, bin KH. Moh. Arief bin K. Durrin bin K. Moh. Toyyib bin K. Abd. Latief bin KH. Asy’ary bin KH. Moh Adzro’i bin KH. Yusuf bin Sayyid Abd rahman (Mbah Sambu) bin Sayyid Moh Hasyim, bin Sayyid Abdurahman Basyaiban bin Sayyid Abdullah bin Sayyid Umar bin Sayyid Muhammad bin Sayyid Ahmad bin Sayyid Abu Bakar Basyaiban bin Sayyid Muhammad Asadullah bin Sayyid Hasan At-Turabi bin Sayyid Ali bin Sayyid Muhammad Al-Faqih Al-Muqaddam bin Sayyid Ali bin Sayyid Muhammad Shohibul Marbat bin Sayyid Ali Kholi' Qasam bin Sayyid Alwi bin Sayyid Muhammad bin Sayyid Alwi bin Sayyid Ubaidillah bin Sayyid Ahmad Al-Muhajir bin Sayyid Isa An-Naqib bin Sayyid Muhammad An-Naqib bin Sayyid Ali Al-Uraidi bin Sayyid Ja’far Shodiq bin Sayyid Muhammad Al-Baqir bin Sayyid Zainal Abidin bin Husien As-Syahid putra Sayyidah Fatimah Az-Zahra Al-Batul binti baginda Nabi Muhammad SAW.

Pendidikan

Ketika usia Gus Muzakki menginjak 7 tahun, ia didaftarkan di SDN kademangan. Begitu tamat SD, Gus Muzakki di kirim ke Ponorogo untuk  nyantri di Gontor. Setelah setahun di Pesantren Gontor, Gus Muzakki pulang dan langsung mendaftarkan diri di Madrasah Tsanawiyah 02 Jember. Setelah tamat, Gus Muzakki lagi-lagi ingin menimba ilmu di pesantren, kali ini yang dipilihnya adalah pesantren Darul Ulum Peterongan Jombang.

Baru setahun berguru ke KH. Musta’in Romli di Peterongan, Gus Muzakki pulang lagi ke Jember dan langsung mondok di Pesantren Al-Fattah, Jember dan berguru kepada KH. Dhofir Salam sambil sekolah di SP IAIN dan melanjutkan kuliah di IAIN Sunan Ampel, Jember.

Di pondok pesantren, Gus Muzakki remaja hanya bermaksud mengambil barokah, karenanya ia tidak pernah lama. Waktunya yang banyak justru digunakan untuk berkelana kesana-kemari untuk sowan kepada para ulama sepuh, para wali, dan ahli-ahli karomah. Ketika di Al-Fattah pun juga demikian, ia bersama gurunya, KH. Dhofir, justru setiap minggu sowan kepada Waliyullah KH. Abd Hamid, Pasuruan, Jawa Timur.

Setelah kurang lebih dua tahun keluar dari pesantren Al-Fattah Jember, Gus Muzakki sebagai orang yang haus ilmu, merasa belum puas dengan apa yang telah didapatkannya, baik dari orang tuanya sendiri, para gurunya, maupun dari kelana spiritualnya. Lalu pada tahap sebelumnya, dihatinya muncul keinginan untuk terus menuntut ilmu dan menambah pengalaman baru, tekad yang kuat tersebut terealisasi pada tahun 1971.

Seperti diketahui bahwa semasa bujangnya, Gus Muzakki sudah sering melakukan kelana spiritual. Banyak waktunya yang dihabiskan untuk tabarrukan di beberapa pesantren, padepokan dan pesarean para masyayikh dan auliya’, khususnya di Jawa Timur. Dari beberapa data yang terkumpul, terdapat keterangan bahwa para masyayikh, auliya’ dan ahlil karomah (baik yang masih hidup maupun yang sudah wafat) yang sempat didatangi Gus Muzakki antara lain adalah:

1.      Untuk kawasan Jember dan sekitarnya adalah:

Kiyai Moh. Siddiq, Kiyai Halim Siddiq, Kiyai Mahfudz Siddiq, Kiyai Abdulloh Siddiq, Kiyai Ahmad Siddiq, Kiyai Dhafir Salam, Kiyai Faruq Muhammad Talangsari, Kiyai Muhyiddin bin Sonhaji Paga, Kiyai Abd. Aziz, Kiyai Ali, Kiyai Ahmad, Kiyai Muqid, Kiyai Mun’im, Kiyai Busthomi, Nyai Maryam Tempurejo, Kiyai Hafidz Nogosari, Kiyai Chotip Klompangan, Mbah Nur Kemuning Pakis, Kiyai Senadin Jerreng, Kiyai Umar, Kiyai Syukri Sumber Bringin, Kiyai Sholeh Suger, Kiyai Misrai Ledok Ombo, Habib Sholeh Al-Hamid Tanggul, Kiyai Hannan tanggul, Kiyai  Abdulloh Yaqin Melokorejo, Kiyai Jauhari Kencong, Kiyai Zuhri, Kiyai Tayyib dan Kiyai Sonhaji Banyu Putih.

2.      Untuk kawasan Bondowoso, Situbondo dan Banyuwangi antara lain:

Kiyai Hosnan Bringin, Habib Muhdhar Al-Habsyi, Habib Alwi Al-Habsyi, Kiyai Ronggo, Kiyai Asy’ari dan Kiyai Togo, Maulana Ishaq  Pacarron, Kiyai Syamsul Arifin dan Kiyai As’ad Syamsul Arifin Sukorejo, Datuk Abd. Rahman, Kiyai Muhtar Syafaat Blok Agung dan Kiyai Ahmad Qusyairi Glimur.

3.      Untuk kawasan Probolinggo, Pasuruan dan Jombang antara lain :

Kiyai Hasan Seppo, Kiyai Hasan Syaifur Rijal Genggong, Nun Muhlas Bedaduh, Kiyai Zaini Mun’im Paiton, Kiyai Mino Probolinggo, KH Abd Hamid, Kiyai Abu Ammar Pasuruan, Kiyai As’ad Bendungan, Kiyai Mustofa Lekok, Kiyai Abd. Jalil,  Kiyai Cholil dan Kiyai Nawawi Sidogiri, Kiyai Mustain Romli Paterongan dan Kiyai Hasyim Asy’ary, Jombang. Dan kabarnya juga semua Wali Songo di Pulau Jawa.

Di tahun 1971 berawal dari pertemuannya dengan KH. Masyhurat (seorang ulama fenomenal dari Madura). Keinginan Kiyai Muzakki untuk terus menuntut ilmu dan menambah pengalaman baru kembali berkobar, maka setelah mendapat restu dan ridho dari berbagai pihak, terutama istri dan kedua orang tuanya, kendati harus meninggalkan istri yang baru satu tahun dinikahinya dan putra sulungnya yang masih berumur tujuh bulan, demi kecintaannya kepada Allah dan demi masa depan yang lebih gemilang, berangkatlah Kiyai Muzakki mengikuti KH Masyhurat melakukan kelana spiritual untuk yang kesekian kalinya.

Kali ini atas saran guru-gurunya, beliau bertolak menuju pulau yang paling agamis dan memiliki “bujuk” paling banyak di Indonesia, pulau Madura namanya, konon para ulama besar dan Waliyullah yang bertebaran malang-melintang di pelbagai wilayah di tanah air pasca Wali Songo adalah diyakini berasal dari pulau ini.

Seperti petualangan spiritual sebelumnya, yang dilakukan Kiyai Muzakki di pulau ini adalah hanya untuk “sowan dan tabarrukan” di beberapa ulama dan pesarean para masyayikh dan auliya’. Beberapa nama yang sempat dihirup barokahnya oleh Kiyai Muzakki di pulau ini antara lain adalah:

Syaikhona Kholil bin Abd Latif Bangkalan, Bujuk Maulana, Bujuk Muhammad, Bujuk Bagandan sido bulangan pakong, Bujuk Candana Kuanyar Bangkalan, Bujuk Katandur, Bujuk Lattong, Bujuk Tompeng, Bujuk Kasambi Sumenep, Kiyai Abu Syamsuddin Batu Ampar, Kiyai Abd. Majid Bata-Bata, Kiyai Baidlowi, Kiyai Abd. Hamid, Kiyai Bakir Banyu Anyar, Kiyai Ilyas Guluk-Guluk, Kiyai Abdul Alam Prajjan, Ulama-ulama Kembang Kuning dan Panyeppen Pamekasan, Kiyai Jazuli Tattangoh, Bujuk Rabah Sampang, Bujuk Tongket Pamekasan, Kiyai Imam, Kiyai Ahmad Dahlan Karay, Agung Usman Lenteng Barat, Sayyid Yusuf Talangoh dan Bindara Saot sumenep.

Setelah malang melintang menelusuri berbagai lorong kampung ilmu dan menyerap berbagai barokah dari para pendekar hikmah di hamparan dan sudut-sudut bumi Madura, puncaknya sampailah Kiyai Muzakki pada salah seorang maha guru di bidang spiritual dan hikmah, yang tak lain adalah guru dari ayahna sendiri, yakni Sulthan Abdur Rahman (Rijalul Ghaib) cucu bindara Saut yang menghilang sejak bayi.

Diakui sendiri oleh Kiyai Muzakki bahwa tempaan dari Sulthan Abdur Rahman yang kelak paling banyak mewarnai peta nurani, struktur kognisi dan langgam spiritual dirinya, bahkan di bawah asuhan beliau, Kiyai Muzakki untuk pertama kalinya mendapatkan banyak pengalaman batin dan syahadah spiritual nan dahsyat yang tak ada kata representatif untuk menggambarkannya, maka boleh dikata selain orang tuanya sendiri dan tanpa bermaksud mengecilkan peran guru-gurunya yang lain bahwa Sulthan Abdur Rahman sepertinya yang paling berpengaruh, berjasa dan signifikan mengantarkan dirinya pada maqom dan membentuk karakter dan eksistensinya.

Mendirikan Pesantren

KH. Ahmad Muzaki Syaha mendirikan Pesantren Al-Qodiri Jember pada tanggal 16 Mei 1976 M (lokasi lama) dan lokasi baru (tahun 1987) yang bertujuan menjadi sebuah lembaga yang dibangun atas dasar komitmen kokoh sebagai sentral pencerahan aqidah, penguatan syari'ah dan pemantapan akhlaqul karimah. Lalu pada tahun yang sama pula, Pondok Pesantren Al-Qodiri resmi berbadan hukum dengan dibentuknya Yayasan Pondok Pesantren Al-Qodiri.

Sejarah Pesantren Al-Qodiri ini bermula dari pulangnya Kiyai Muzakki dari bertapa di Gua Payudan Madura tahun 1973. Kiyai Muzakki Syaha kembali lagi ke Gebang Poreng bertemu keluarga dan sanak familinya. Bagi istri dan putranya yang saat itu sudah berumur tiga tahun, kedatangan Kiyai Muzakki disambut dengan kegembiraan dan keharuan yang tiada tara. betapa tidak, sejak kepergiaannya di tahun 1971, putranya yang kala itu masih berumur setahun, kini sudah menjadi anak mungil dan lucu.

Hampir dua bulan Kiyai Muzakki mengamati perkembangan kondisi sosial keagamaan masyarakat Gebang Poreng. Baginya keberadaan Gebang Poreng waktu itu masih tidak berbeda dengan dua tahun sebelumnya, masih sepi suara adzan, masih jarang yang mendirikan shalat. Justru yang marak saat itu masih banyak pencurian, perampokan, judi dan berbagai bentuk kemaksiatan lainnya, yang ada waktu itu hanyalah sebuah mushalla kecil di pojok dusun yang konon mengajarkan "agama sejati" (agama eling) di bawah pimpinan Bapak Astumi. Gebang Poreng masih tetap seperti dulu, belum ada listrik, gelap segelap hati masyarakatnya.

Realitas ummat yang memprihatinkan tersebut, mendorong Kiyai Muzakki mendirikan sebuah mushalla walau amat sederhana dan terbuat dari gedek. Dalam pandangan Kiyai Muzakki, sesungguhnya yang essensial dari sebuah mushalla atau masjid bukan bangunan fisiknya, melainkan efektifitas fungsinya sebagai pusat peribadatan dan dakwah, pusat aktivitas agama, pusat pembinaan ummat, pusat pengokoh ukhuwah islamiyah, sarana perjuangan, pusat syi'ar, ta'lim, ta'dib dan tarbiyah, pusat pertemuan dan pusat kegiatan sosial.

Sebagai upaya memakmurkan mushalla yang telah didirikannya itu, Kiyai Muzakki mulai istiqomah memimpin shalat maktubah secara berjamaah dengan anggota keluarganya, sanak famili dan tetangga dekatnya. Bersama mereka pula, setiap ba'da Maghrib Kiyai Muzakki mengajar anak-anak kecil membaca Al-Qur'an dan setiap ba'da Isya' beliau membaca dzikir Manaqib Syaikh Abdul Qodir Jailani, sedangkan setiap ba'da Shubuh membaca Tafsir Surat Yasin.

Semakin hari, masyarakat yang berjamaah di mushalla tersebut terus bertambah, bahkan ada dua orang santri yang menetap di mushalla itu sebagai muadzzin yang kemudian dibuatkan gubuk oleh Kiyai Muzakki sebagai tempat menginap mereka. Menurut keterangan KH. Ridlwan, sejak berdirinya mushalla itu, nuansa keagamaan di Gebang Poreng sedikit demi sedikit mulai menggeliat, gema adzan dan dzikir puji-pujian mulai membahana di setiap waktu menjelang sholat maktubah.

Sekitar tahun 1976 berawal dari pertemuannya dengan Ust. Abdullah Jailani sahabat karibnya yang terkenal pandai baca kitab kuning ketika masih nyantri di Al-Fatah dulu, keinginan Kiyai Muzakki untuk mendirikan pondok pesantren semakin mantap. Diajaklah temannya itu untuk tinggal bersamanya di Gebang guna bersama-sama membina dan membesarkan pesantren yang hendak dibangunnya itu. Selang beberapa hari setelah Ust. Abdullah Jailani menyetujui ajakan Kiyai Muzakki, maka pada tanggal 19 Robius Tsani 1397 H yang bertepatan dengan tanggal 16 Mei 1976, didirikanlah bangunan pesantren di atas tanah seluas 5000 M. yang kemudian diberi nama "Pondok Pesantren Al-Qodiri" Jember.

Pemberian nama Al-Qodiri menurut Ust. Abdullah Jaelani didasarkan pada beberapa hal:

Pertama, disandarkan pada Asma Allah "Al-Qaadir" yang berarti Dzat Yang Maha Kuasa di atas segalanya. Penyandaran kepada Asma Allah tersebut dimaksudkan agar kuasa Allah terpusat di lembaga ini sehingga seluruh tamu yang datang, para santri, jamaah, atau siapapun yang datang ke Al-Qodiri dikabulkan semua hajatnya, sebab Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, termasuk mengabulkan hajat-hajat mereka.

Kedua, nama Al-Qodiri disandarkan pada nama besar Syaikh Abdul Qodir Al-Jailani, sebab sejak Kiyai Muzakki masih dalam kandungan, abahnya (Kiyai Achmad Syah) telah mengistiqomahkan dzikir Manaqib Syaikh Abdul Qodir Jailani untuknya. Selain itu, Kiyai Muzakki juga sejak usia kelas 2 SD sudah mengamalkan dzikir manaqib yang sama. Penyandaran kepada nama Syaikh Abdul Qodir Jailani dimaksudkan agar lembaga ini kelak mendapat siraman karomah sebesar karomahnya Syaikh Abdul Qodir Jailani.

Ketiga, penamaan tersebut didasarkan pada hasil istikharah dan petunjuk ghaib yang diterima jauh sebelumnya oleh KH. Achmad Muzakki Syah sendiri. Menurut cerita H. Nurul Yaqin, suatu sore di tahun 1974, ketika habis mengimami shalat Ashar, Kiyai Muzakki memanggil salah seorang jamaahnya yang bernama Pusakah (asal Tempurejo) untuk memijatnya. Sambil dipijat, beliau bilang pada Pusakah, "toraeh yah, sengkok pagik maddiggah pesantren se bakal ekennenggih ebuan santri lake' bini' dari mandimman, bi' senkok pesantren jariyah enyamaannah "Al-Qodiri". (perhatikan ya, saya nanti akan mendirikan pesantren yang akan dihuni ribuan santri putra-putri yang berasal dari berbagai tempat, pesantren itu akan saya beri nama "Al-Qodiri")

Lembaga pendidikan yang ada diawal berdirinya pesantren hanyalah Madrasah Diniyah Ibtida'iyah. Namun seiring berjalannya waktu, hari berganti hari, tahun berganti tahun, Pesantren Al-Qodiri semakin memperlihatkan kemajuan pendidikannya. Pada akhirnya kini ia berkembang menjadi sebuah Yayasan Pondok Pesantren yang menaungi beberapa lembaga pendidikan.

Mendirikan Majelis Taklim

Seperti disinggung sebelumnya, bahwa sejak Kiyai Muzakki masih dalam kandungan, abahnya telah mengistiqomahkan amalan Manaqib Syaikh Abdul Qodir Al-Jailani r.a. setiap ba’da shalat Subuh. Maka sejarah amalan Manaqib Syaikh Abdul Qodir Al-jailani r.a. yang diamalkan oleh Kiyai Muzakki sesungguhnya berasal dari abahnya sendiri, yakni, KH. Achmad Syah.

Disamping itu, mantapnya Kiyai Muzakki menjadikan amalan dzikir Manaqib Syaikh Abdul Qodir Al-Jailani r.a. sebagai sarana dakwah juga karena anjuran KH. Abd. Hamid Pasuruan ketika beliau bersama KH. Dhofir sowan ke Pasuruan.

Sebetulnya Kiyai Muzakki bukanlah satu-satunya pengamal dzikir Manaqib Syaikh Abdul Qodir Al-Jailani r.a. di Indonesia, sebelumnya bahkan hingga kini sudah sangat banyak orang yang mengamalkan amalan yang sama. Tetapi lain lubuk lain kepala, maka lain pula isinya. Seperti diketahui, para pengamal dzikir Manaqib Syaikh Abdul Qodir Al-Jailani r.a. sebelumnya biasa menyebut Ya Sayyidi.. Ya Sayyidi..Ya Syaikh Abdul Qodir.. aghitsni 3x sebelum mereka menyampaikan berbagai permohonannya kepada Allah SWT.

Pada dzikir Manaqib Kiyai Muzakki ucapan seperti di atas tidak pernah digunakan. Sebab bagi Kiyai Muzakki, Syaikh Abdul Qodir Al-Jailani r a. hanyalah sebuah wasilah bukan pemegang otoritas pengabul doa, yang punya kewenangan mengabulkan doa hanyalah Allah SWT, karena itu memohon atau berdoa harus kepada Allah semata bukan kepada selain-Nya. Maka sebagai hasil tsamratul fikr beliau sekaligus merupakan karakteristik yang membedakan dzikirnya dengan yang lain, adalah pada ucapan “bil barakah wal karamah Syaikh Abdul Qodir Waliyullah bi Syafaat Nabi Muhammad bi Idznillah wa Ridhollahi, ya Allah 3x.. innaka ‘ala Kulli Syaiin Qodir.. taqdli haajatina…Al-Fatihah. Perbedaan dua ucapan diatas walau terkesan sederhana dan sangat teknis, tetapi sungguh mempunyai implikasi yang luar biasa dalam tataran keimanan dan aqidah seseorang.

Dzikir Manaqib Syaikh Abdul Qodir Jailani yang dikembangkan Kiyai Muzakki bukanlah sebuah aliran thoriqoh, melainkan lebih berbentuk amalan dzikir atau majelis dzikir. Menurut pengakuan KH. Achmad Muzakki Syah, kendati dirinya sangat respek terhadap semua tthoriqoh yang ada di tanah air, tetapi dirinya tidak mengikuti formalitas semua itu.

Beliau mengaku hanya mengikuti thoriqoh Rasulullah, dengan berkata,  “La thoriqota illa bi thoriqoti Muhammad Rasulillah SAW”. Thoriqoh Rasulullah SAW dalam pandangan Kiyai Muzakki adalah segala sesuatu yang dicontohkan baginda Rasulullah SAW, baik menyangkut akhlak, keyakinan, cara beribadah, maupun menyangkut karakteristik, sifat-sifat dan prinsip hidup yang diterapkan beliau dalam kehidupan sehari-hari.

Dzikir Manaqib Syaikh Abdul Qodir Al-Jailani r.a. adalah bimbingan praktis lahiriyah dan batiniyah yang berpedoman kepada Al-Qur’an dan Al-Hadis dalam melaksanakan tuntunan Rasulullah SAW, meliputi bidang Iman, Islam dan Ikhsan, sehingga, dengan itu seseorang akan dapat berbuat baik kepada Allah SWT sebagai Penciptanya dan kepada Rasulullah SAW sebagai tauladan kehidupannya, serta kepada sesama manusia sebagai sesama mahluk Allah SWT.

Sedangkan pengamalan dzikir Manaqib Syaikh Abdul Qodir Al-Jailani r.a. di Pesantren Al-Qodiri adalah berbentuk mujahadah atau aktivitas  dzikir dan istighosah yang dilakukan secara kolektif dengan membaca sejumlah Kalimah Thoyyibah dan doa-doa untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT dan mencari ridho-Nya melalui perantara (tawassul) orang orang suci kekasih Allah SWT yang dalam hal ini adalah Sulthon Auliya’ Syaikh Abdul Qodir Al-Jailani r.a.

Praktek dzikir Manaqib Syaikh Abdul Qodir Al-Jailani r.a. di Pesantren Al-Qodiri, Jember di atas adalah relevan dengan rumusan para ahli, misalnya Mustofa (2001: 43), yang menyebutkan bahwa dzikir Manaqib Syaikh Abdul Qodir Al-Jailani r.a. merupakan pendidikan kerohaniaan yang dilakukan oleh orang-orang yang menempuh jalan sufi untuk mencapai suatu maqom kerohanian tertentu melalui perantara Sulthon Auliya’ Syaikh Abdul Qodir Al-Jailani r.a.

Melalui kegiatan dzikir Manaqib Syaikh Abdul Qodir Al-Jailani r.a. yang dipimpinnya, KH. Achmad Muzakki Syah kemudian mengembangkan model pendidikan multikultural kepada para jamaahnya. Saat ditanya tentang model pendidikan yang diterapkan pada para jamaah dzikir Manaqib di Pesantren Al-Qodiri Jember, beliau mengatakan, "Aktivitas pendidikan non formal yang selama ini kami lakukan di majelis dzikir manaqib ini selalu disesuaikan dengan situasi dan kondisi para jamaah, mengingat  para jamaah disini bersifat heterogen baik suku, bahasa, budaya, kelamin, usia dan tingkat pemahaman keagamaan mereka, maka model pendidikan yang kami kembangkan adalah model pendidikan multikultural."

Menurut pengakuan KH. Muzakki Syah, penerapan model pendidikan multikultural yang dikembangkannya melalui dzikir Manaqib Syaikh Abdul Qodir Al-Jailani r.a. di Pesantren Al-Qodiri Jember adalah mengacu pada prinsip-prinsip dasar pendidikan multikultural itu sendiri, antara lain:

Pertama, memandang manusia sebagai entitas yang memiliki kompleksitas dimensi yang harus diakomodir dan dikembangkan secara keseluruhan, sebab inti dari pendidikan multikultural adalah pengakuan akan pluralitas, heteregonitas dan keragaman manusia, baik ideologi, status ekonomi, paradigma, pola pikir, etnis, ras, budaya, nilai-nilai tradisi dan sebagainya.

Kedua,  pendidikan multikultural mengakui kebenaran relatif dan menghindari klaim hitam putih.

Ketiga, pendidikan multikultural menjunjung tinggi prinsip saling menguatkan dan saling melengkapi.

Keempat, pendidikan multikultural mengakomodir semua kebutuhan masyarakat, yaitu tidak membedakan kebutuhan yang bersifat intelektual, spiritual, material, emosional, etika, estetika, sosial, ekonomi dan transidental dari semua masyarakat.

Kelima, pendidikan multikultural menghendaki kemudahan layanan pendidikan, sehingga dapat dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat.

Keenam, seluruh proses pendidikan diorientasikan bagi terciptanya kebebasan dan perdamaian sesama manusia.

Ketujuh, pendidikan multikultural berdiri secara mutlak di atas landasan pluralitas, inklusivitas, demokrasi dan humanitas.

Kedelapan, pendidikan multikultural mesti menyediakan ruang yang seluas-luasnya bagi kesetaraan masyarakat sasaran pendidikan di semua lapisan melampaui sekat geografis, etnis, budaya, ideologis, usia, status sosial dan gender.

Dengan demikian dapat ditegaskan bahwa implementasi model pendidikan multikultural yang dikembangkan oleh KH. Achmad Muzakki Syah melalui dzikir Manaqib Syaikh Abdul Qodir Al-Jailani r.a. di Pesantren Al-Qodiri Jember adalah bertolak dari sejumlah paradigma, antara lain adalah, pertama, para jamaah diposisikan sebagai subyek dan bukan obyek. Lalu kedua, penghormatan terhadap kemajemukan para jamaah dalam segala aspeknya. Dan terakhir, ketiga, pengembangan potensi para jamaah tidak hanya menyangkut ranah kognitif, tetapi juga ranah afektif dan psikomotorik.

Chart Silsilah Sanad

Berikut ini chart silsilah sanad guru KH. Ahmad Muzakki Syah dapat dilihat di sini.


Artikel ini sebelumnya diedit tanggal 05 September 2022, dan kembali diedit dengan penyelarasan bahasa tanggal 09 Agustus 2023.

 

Lokasi Terkait Beliau

List Lokasi Lainnya