Sejarah Masjid Gedang di Tambakberas yang Berusia 2 Abad

 
Sejarah Masjid Gedang di Tambakberas yang Berusia 2 Abad

LADUNI.ID, Jakarta - Sudah berusia dua abad, masjid ini masih dipertahankan dari bentuk awal saat didirikan. Keberadaan masjid yang dikenal dengan sebutan Masjid Gedang ini berada di Tambak Beras, di Kompleks Pondok Pesantren (Ponpes) Bahrul Ulum, Tambak Beras, Jombang.

Usia masjid tertua yang berdiri di Kompleks Ponpes Bahrul Ulum, Tambak Beras ini diperkirakan usianya hampir 2 abad. Banyak orang mengira masjid ini hanyalah sebuah musholla kecil biasa saja, tetapi pada kenyataanya masjid inilah cikal-bakal pondok-pondok besar di Jombang, seperti Tebuireng, Tambakberas, Denanyar dan pondok Seblak.

Nilai tua masjid ini masih bisa dilihat dari bentuk atap masjid berbentuk limas, ciri khas bangunan-bangunan lama. Terdapat dua limas pada atap yakni, limas berukuran besar yang merupakan atap bagian luar dan dalam masjid, serta limas berukuran agak kecil yang merupakan atap tempat imam.

Masjid ini dinilai tua juga bisa dilihat dari ornamen kayu ukiran menyerupai buah nanas di atas corong masjid serta bentuk kubah masjid yang terbuat dari logam berbentuk unik seperti mahkota bersusun tiga. Bentuk lengkungan di serambi dan di tembok dalam masjid juga menandakan jika masjid ini memang berusia tua.

Seperti dituturkan oleh Pengasuh Ponpes Bahrul Ulum, Tambak Beras, Jombang, KH Hasib Wahab (Gus Hasib), keaslian bentuk masjid ini hingga kini masih dipertahankan dari bentuk awal saat didirikan.

“Awalnya dikenal dengan Masjid Gedang (Gedang Njero), usianya hampir dua abad. Masjid ini didirikan Kyai Sichah atau di kenal Mbah Shoichah (KH. Abdussalam). Sepeninggalan Kyai Shoichah pengasuh pondok dilanjutkan oleh murid yang juga menantunya, Mbah Usman (KH. Usman) yang ahli dalam bidang ilmu Thoriqoh, dan Mbah Sa'id (KH. Sa'id) yang ahli dalam bidang Syari'at,” kata Gus Hasib.

Lalu Kiai Usman memindahkan pondok di sebelah timur sungai yang disebut dengan (Gedang Njobo).

Tentang sosok KH. Abdussalam ini, Gus Hasib menjelaskan, ia adalah seorang ulama pendatang asal Solo Jawa Tengah yang membabad alas di wilayah Ponpes Bahrul Ulum sekitar tahun 1825. Beliau memiliki istri bernama Nyai Muslimah dari Demak dan 9 orang putra-putri, diantaranya: (1) Layyinah, (2)Fatimah, (3) Abu Bakar, (4) Marfu'ah, (5) Jama'ah, (6) Mustaharoh, (7) Aly Ma'un (8) Fatawi, dan (9) Aly Sakur.

“Itulah sejarah awal berdirinya Masjid (Gedang),” tuturnya lagi.

Kemudian, beber Gus Hasib, KH. Abdussalam/Mbah Shoichah memiliki dua orang menantu yakni KH. Usman bin KH. Hasan asal Demak, yang menikah dengan putri pertamanya bernama Nyai Layyinah, dan KH. Sa’id bin KH. Syamsudin asal Kediri yang menikah dengan putri keduanya yang bernama Nyai Fatimah, yang waktu itu mempunyai kriteria sebagai penerus pengasuh Pondok Pesantren (Ponpes) Slawe, ponpes yang didirikan oleh Mbah Shoichah di Tambak Beras. Disebut Ponpes Selawe karena saat itu santrinya sekitar 25 orang pengikut Mbah Shoichah dari Jawa Tengah yang menjadi pelarian perang Diponegoro setelah kalah dari Belanda. Slawe yang dalam bahasa Jawa yakni Selawe berarti angka 25.

Kyai Sa'id ahli dalam bidang Syari'ah, sepeninggalan Kyai Usman ia mengembalikan lokasi pondok di sebelah barat sungai yang dikenal sebutan (Gedang Kulon), kelak di kemudian hari bernama Ponpes Bahrul Ulum.

“Nah Kyai Sa’id ini menurunkan Kyai Hasbullah (KH. Hasbullah Sa'id). Kyai Hasbullah Sa'id menikah dengan Nyai Latifah asal Sepanjang Sidoarjo dan memiliki putra seperti Kyai Abdul Wahab Hasbullah (KH. Abdul Wahab Hasbullah/pendiri NU), Kyai Hamid dan saudara-saudaranya,” tuturnya lagi.

Kata Gus Hasib, sedangkan menantu Mbah Shoichah yang bernama Mbah Usman yang menikah dengan Nyai Layyinah ini memiliki beberapa orang putri, putri yang tertua bernama Nyai Halimah (Winih) yang kemudian menikah dengan Kyai Asy’ari (KH. Muhammad Asy'ari) bin KH. Abu Sarwan asal Salatiga Jawa Tengah, kemudian memiliki putra yang bernama Hasyim yang kelak dikenal sebagai Hadrotussyaikh KH. Hasyim Asy’ari (Mbah Hasyim), pendiri NU dan pendiri Ponpes Tebu Ireng tahun 1899, Jombang.

“Jadi Tambak Beras dan Tebu Ireng ini masih satu keluarga dari Kyai Sichah/Mbah Shoichah/KH. Abdussalam. Jadi antara Kyai Wahab (KH. Abdul Wahab Hasbullah) dengan KH. Hasyim Asy’ari, ini satu kakek buyut yaitu Kyai Abdussalam tadi,” terang Gus Hasib.

Masih menurut Gus Hasib, setelah Mbah Usman wafat, Masjid Gedang ini pun tidak ada yang meneruskan pengelolaannya karena tak memiliki putra laki-laki. Kyai Asy’ari (menantu tertua Mbah Usman) memilih mendirikan pondok di Jombang selatan, atau desa Keras, Diwek, Jombang yang berjarak sekitar tiga kilometer arah ke barat dari Ponpes Tebu Ireng, Jombang. Di Diwek Kyai Asy'ari mendirikan pondok pesantren Keras yang sekarang di kenal Pondok Al-Asy'ariyah.

Sedangkan sepeninggalan Kyai Sa'id pengasuh pondok dilanjutkan Kyai Hasbullah Sa'id.

“Sehubungan dengan Kyai Asy’ari (menantu Kyai Usman) yang pindah ke daerah di Desa Keras, kemudian Masjid (Gedang) yang ada di timur sungai ini pun tidak ada yang ngurus, maka diserahkan ke Kyai Sa'id dan kemudian dilanjutkan Kyai Hasbullah Sa'id (ayah Kyai Abdul Wahab Hasbullah). Fungsi masjid kemudian dipindah ke Masjid Pondok Tambak Beras yang sekarang (di barat sungai),” sedangkan murid-murid Kyai Usman diboyong ke barat sungai (Gedang Kulon), dan sebagian ikut Kyai Asy'ari ke pondok keras, Diwek, Jombang Selatan, pungkasnya. (Arif Yulianto)