Tujuan Pendidikan di Pesantren Dalam Pandangan KH. Husein Muhammad (2)

 
Tujuan Pendidikan di Pesantren Dalam Pandangan KH. Husein Muhammad (2)

LADUNI.ID, Jakarta - Apakah yang menjadi tujuan Pesantren?. Ini pertanyaan penting dan mendasar. Ada banyak jawaban rinci dari para kiai di pesantren, tetapi semuanya sepakat pada tema besar, sebagaimana disampaikan oleh al-Qur'an. Yaitu Tafaqquh fi al-Din (mendalami ilmu agama). al-Quran mengatakan : 

"Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi berangkat semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak berangkat dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya". (QS. at-Taubah, 122).

Pemaknaan atas tafaqquh fi al Din, belajar agama tentu saja luas.

Adalah sangat menarik hasil penelitian Zamakhsyari Dhofir. Dalam disertasinya yang terkenal mengenai tujuan pesantren menulis sebagai berikut :

“Tujuan pendidikan tidak semata-mata untuk memperkaya pikiran santri dengan pelajaran-pelajaran agama, tetapi untuk meninggikan moral, melatih dan mempertinggi semangat, menghargai nilai-nilai spiritual dan kemanusiaan, mengajarkan sikap dan tingkah-laku yang jujur dan bermoral, dan menyiapkan para santri untuk hidup sederhana dan bersih hati. Setiap santri diajarkan agar menerima etik agama di atas etik-etik yang lain. Tujuan pendidikan pesantren bukanlah untuk mengejar kepentingan kekuasaan, uang dan keagungan duniawi, tetapi ditanamkan kepada mereka bahwa belajar adalah semata-mata kewajiban dan pengabdian (ibadah) kepada Tuhan”. (Baca : Zamakhsyari Dhofir, Tradisi Pesantren, Studi tentang Pandangan Hidup Kiyai, LP3ES, Jakarta, 1994.

Eksis dan Toleran

Pesantren sudah lama dikenal sebagai institusi pendidikan keagamaan yang sangat unik, indigenius, khas Indonesia, dan sangat mandiri. Telah beratus tahun lahir, tetapi ia masih eksis sampai hari ini, meski tanpa dukungan financial langsung dari negara/pemerintah sekalipun.

Dulu kala ia sering dicap sebagai lembaga pendidikan tradisional. Ia juga sering disebut dengan nyinyir sebagai lembaga keagamaan konservatif dan statis. Sebuah pandangan sekilas dan sama sekali tidak kritis. Realitasnya Pesantren tetap eksis dalam dinamika modernitas dan terus mengalami pembaruan. Dalam perkembangannya juga telah melahirkan banyak generasi muslim dengan pikiran-pikiran modern bahkan progresif.

Pesantren telah mampu menunjukkan dirinya sebagai lembaga pendidikan yang bisa beradaptasi dengan perkembangan zaman tanpa kehilangan identitas dirinya sendiri. "Orang cerdas adalah dia yang bisa beradaptasi dengan perkembangan zaman, tanpa kehilangan jati dirinya". 

Pesantren pada sisi lain, memiliki khazanah intelektual klasik, karya para sarjana Islam terkemuka dan otoritatif di bidangnya masing-masing. Di dalamnya mengandung pikiran-pikiran pluralistic yang semuanya dihargai. Para santri sangat akrab dengan terma-terma : "Fihi Aqwal" ( dalam hal ini ada banyak pendapat), "fihi Qawlani" (dalam hal ini ada dua pendapat), "Al-Mu'tamad" (pendapat yang kuat), "Al-Shahih" (sahih), "Al-Ashah" (lebih sahih), "al-Rajih" (kuat), "Al-Arjah" (lebih kuat), dan lain-lain. Karena itu pesantren sangat toleran terhadap pandangan yang lain, dan tidak mengklaim pendapatnya sebagai kebenaran satu-satunya.

Mereka yang tidak akrab dengan tradisi keilmuan pesantren seperti ini, penerimaan lembaga ini atas keberagaman pendapat tersebut sering terjebak dalam pandangan kaum tekstualis radikal bahwa pandangan pesantren tidak konsisten.