Kebijakan Restrukturisasi dan Relaksasi Kredit Perbankan

 
Kebijakan Restrukturisasi dan Relaksasi Kredit Perbankan

LADUNI.ID, Jakarta - Pandemi Corona atau COVID-19 telah memberikan dampak signifikan pada sektor perbankan. Penyaluran kredit menjadi salah satu core bisnis perbankan sedikit banyak tertahan karena ketidakpastian dan anjloknya aktivitas ekonomi yang berdampak pada perputaran uang. Sektor real finansial turun dan mengalami keterlambatan. Mencegah hal buruk terjadi regulator dan industri mengalami kredit macet.

Bank perkreditan rakyat yang selama ini fokus terhadap pemberian kredit mikro akan mengalami gangguan likuiditas yang signifikan. Lumpuhnya ekonomi mengalami keterlambatan karena bank menjadi mesin pergerakan ekonomi bagi semua masyarakat. Bukan suatu alasan lagi jika lembaga global reting refisi ke pada peringkat 3 bank papan atas Mandiri, BNI, BRI, menjadi negatif dari sebelumya stabil, Resiko kredit meningkat walau pun dapat kelonggaran dari OJK melalui pembiayaan intruksi non-bank perbankan bisa bernafas lega.

Likuiditas menjadi perhatian BI dan OJK, yang di era pandemik dibekali “alat tempur” baru untuk melawan risiko krisis, mulai dari suntikan likuiditas ke sistem keuangan, hingga kewenangan mempercepat proses restrukturisasi dan manager bank bermasalah.

Secara umum, kondisi industi perbank masih aman jika melihat beberapa indicator keuangan. Data OJK menyebutkan bahwa rasio permodalan (capital adequacy ratio/CAR) industri perbankan berada di level 22,13% per April. Ini terhitung masih sangat sehat karena jauh di atas batas aman yang ditetapkan BIS (Bank for Internasional Settlement) di angka 8%.

Jika melihat sejarah, Bank Mega pada masa krisis moneter 1997 berhasil bertahan dan lolos menjadi satu dari sedikit bank yang tetap tumbuh tanpa bantuan pemerintah. Beberapa bank lain juga sangat kuat saat itu adalah Citibank, Deutche Bank dan HSBC. Di tengah krisis corona yang terdampak pada tersendatnya aktivitas bisnis dan ekonomi. Dengan mengandalkan liquiditas yang masih berlebih ketika muncul tagiohan dan kewajiban jangka pendek, tanpa perlu dana talangan pemerintah. Pemerintah tentu saja harus tetap waspada, dengan menyiapkan berbagai skenario (mulai dari yang terbaik hingga yang terburuk), lengkap dengan formula kebijakan yang bisa dijalankan untuk mencegah maupun menanganinya.

Pandemi corona menimbulkan masa krisis yang berbeda dari sebelumnya. Krisis ini menghambat sektor UKM. Oleh karena itu pemerintah memberikan insentif kepada UKM hingga usaha mikro dengan memberikan restrukturisasi kredit di perbankan. Melihat risiko itu bisa terjadi di nasabah sektor UKM hingga usaha mikro. Sebab untuk perusahaan besar saat ini relatif bisa mengikuti kondisi pandemik dengan mengubah bisnisnya sesuai dengan kebutuhan masyarakat saat ini.

Dengan banyaknya restrukturisasi kredit, perbankan akan fokus pada fee base income atau pendapatan dari non-bunga seperti transaksi atau jasa bank lainnya. Demi menjaga pertumbuhan ekonomi, pemerintah memberikan stimulasi supaya perekonomian dapat berkembang lagi. Dengan dikeluarkannya peraturan pemerintah pengganti Undang-Undang (Perppu) No. 1/2020 tentang kebijakan keuangan negara dan stabilitas sistem keuangan untuk penanganan pandemi covid-19 atau dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan stabilitas sistem keuangan.

Perppu tersebut membuat pernyataan, terhadap kesempatan bagi Bank Indonesia untuk membeli SUN atau SBSN di pasar perdana. Pemberian kebijakan ini tentunya menjadi kabar menggembirakan karena mendapat pelebaran defisit fiskal. Selain itu pemerintah mengeluarkan kebijakan dengan memberikan keringanan suku bunga guna memberikan stimulus moneter supaya nilai mata uang rupiah tidak anjlok.

Stimulus pemerintah yang lain, yaitu melalui pelonggaran moneter dengan pemangkasan pemenuhan Giro Wajib Minimum (GWM). Stimulasi ini bertujuan supaya ada tambahan pada ketersedian likuiditas bank. Kebijakan ini bagai angin yang menyejukan bagi bank perkreditan atau bank konvensional yang melakukan kegiatan kredit bagi masyarakat. Sebab melalui relaksasi kredit ini, pemberian kelonggaran baik waktu maupun peraturan terkait pembayaran bunga utang kredit.

Melalui cara ini, tentunya memberikan keuntungan di sektor perbankan karena dengan adanya relaksasi dan restrukturisasi tersebut membuat bank dapat tetap menjaga kualitas kegiatan pengkreditan. Jika hal itu masih beluim cukup, maka bank yang bersangkutan bisa mengajukan permintaan bantuan liquiditas dari pemerintah. Pemerintah akan menetapkan dana dukungan likuitditas kepada bank peserta, Risiko yang ditanggung pemerintah adalah risiko di Bank Peserta tersebut, yang bakal dijamin oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).

Selanjutnya, bank pelaksana mengajukan proposal penyangga likuiditas kepada Bank Peserta, Perusahaan pembiayaan/bank perkreditan rakyat mengajukan proposal penyanggan likuiditas kepada bank pelaksanaan/bank kreditur. Risiko kredit Bank Peserta dari penempatan likuiditas ke bank pelaksana dimitigasi dengan Agunan Kredit.

Dengan risiko ke bawah yang tetap besar, Bank Indonesia memperkirakan pertumbuhan ekonomi global 2020 turun menjadi 2,5 persen, lebih rendah dari pertumbuhan ekonomi 2019 sebesar 2,9 persen dan juga proyeksi sebelumnya sebesar 3,0 persen. Banyak faktor yang harus dikaji juga dari terjadinya kemacetan kredit ini. Banyak debitur melakukan kredit bukan untuk memenuhi gaya hidup yang mewah melainkan untuk perpanjang usaha atau istilahnya lebih kejinya ini juga bisa dikoreksi bagi pemerintah Indonesia untuk terus memberikan kebijakan terbaik bagi masyarakat dan kesejahteraan rakyatnya seperti halnya menerapkan restrukturisasi.

Kerugian yang berdampak pada outlook pertumbuhan tahun ini cukup parah, menurut World Bank dalam laporannya. World Bank menyebutkan bahwa upaya yang dilakukan dalam mencegah persebaran virus baik secara global maupun domestik akan mengurangi tekanan terhadap permintaan global, harga komoditas, perdagangan internasional hingga pariwisata dan sentimen bisnis global serta pertumbuhan investasi.

***

Penulis: Giok Farah Riasya, Mahasiswa UNUSIA Jakarta.
Editor: Muhammad Mihrob