Ahmad Baso: Islam Nusantara, Wahabisasi Kekerasan dan Politisasi Islam

 
Ahmad Baso: Islam Nusantara, Wahabisasi Kekerasan dan Politisasi Islam

LADUNI.ID, Jakarta - Islam Nusantara jelas ditujukan sebagai satu bentuk tanggung jawab keumatan-kebangsaan NU untuk melindungi umat Islam dan rakyat Indonesia dari berbagai bahaya paham sesat dan menyesatkan. Mengapa berbahaya? Karena paham-paham itu bakal merusak persatuan dan kesatuan umat Islam Indonesia, salah satunya adalah ajaran puritan Wahabi-salafi.

Di masa Belanda dulu, pemerintah Kompeni memperkenalkan ajaran Wahabi ini setelah paham itu terbukti efektif dimainkan oleh imperialisme Inggris di Timur Tengah, ketika merebut Tanah Hijaz dan mematahkan pengaruh Turki Usmani di wilayah kota suci Mekah dan Madinah di tahun 1924.

Lalu muncul  rekomendasi Ch. O. Van der Plas, penasehat urusan Bumiputra dan keagamaan, di tahun  1934, yang mengusulkan agar kelompok puritan-Wahabi dipolitisasi untuk tujuan  kebijakan Islam  politik di Hindia-Belanda. Yaitu politik belah-bambu atau divide et impera atas umat Islam: satu diangkat, yang lainnya diinjak. Biasanya, masing-masing kelompok umat Islam diadu-domba untuk melemahkan solidaritas umat Islam dan kekompakan persatuan bangsa. [Ch. O. van der Plas, “Mededeelingen over de stroomingen in de Moslimsche gemeenschap in Nederlandsch-Indië en de Nederlandsche Islampolitiek”, dalam Indisch  Genootschap:  Vergadering  van 16 Februari 1934,  blz.  253-272 (’s-Gravenhage: Martinus Nijhoff, 1934)].

Gerakan Wahabi, Islam politik atau Islam ekstrim radikal (belakangan di antaranya menjelma jadi ISIS) ini tidak akan tumbuh di Indonesia dengan cara dakwah, tabligh, pengajian, pendidikan pesantren atau sosialisasi kultural. Mereka besar dan heboh kalau dibantu dari kekuatan luar yang mewakili kepentingan sekuler non-religius. 

Hadlratusysyekh KH. Hasyim Asy'ari sudah mengingatkan akan bahaya politisasi agama itu bagi ikatan keislaman-kebangsaan Indonesia. Lihat Hadlratusysyekh KH. Hasyim Asy'ari, Ihyau  A’mali-l-Fudhala (terj. Ahmad Abdul Hamid Kendal) (Kudus: Penerbit Menara, 1958).

Lalu, dalam satu wawancara dengan Majalah Prisma edisi April 1984, KH Achmad Siddiq sudah mengingatkan bangsa Indonesia akan kemunculan kaum Khawarij  di Indonesia yang menggunakan politisasi agama dengan menghalalkan segenap cara. Bahkan mereka memakai politik absolutisme agama gaya ideologi "imam" Syiah hingga mengkafirkan sesama Muslim sendiri. (Dalam kitab Hasyiyah ash-Shawi atas Tafsir al-Jalalain, sebutan Khawarij  dilekatkan pada kelompok Wahabi).

Di sini poin pentingnya mengapa Islam Nusantara dihadirkan-kembali di dunia Islam modern ini: yakni untuk menumbuhkan kepercayaan masyarakat bahwa agama mereka bukanlah obyek politisasi yang seenaknya dikerjain para politisi penjual agama. Agama adalah sebuah semangat untuk menumbuhkan persaudaraan dan rasa kebangsaan yang kuat untuk kemanusiaan global.  Pengalaman Wali Songo dengan kasus Islamisasi di  India abad 13-16 sudah mengingatkan akan bahaya permainan agama oleh para petualang  politik.

Kelompok Wahabi-salafi dan Islam politik ini gampang menjadi obyek permainan para petualang politik itu, karena pendekatan mereka yang tekstualis dan gampang mengutip ayat atau hadis untuk agenda politik atau ekonomi apapun.

Sementara pendekatan Islam-nya para wali dalam konteks islam Nusantara selalu tertuju pada soal bagaimana  kemashlahatan itu diperhatikan. Yakni lebih memperhatikan mendahulukan menolak kerusakan dan kemelaratan di dunia akhirat (dar’u-l-mafasid)  dariapda menarik kebajikan dan keuntungan di dunia akhirat (jalbu-l-mashalih). 

Kelompok puritan Wahabi atau Islam politik ini selalu bertanya mana dalilnya, mana ayatnya, mana hadisnya? Yang dipentingkan orang ini sebetulnya bukanlah dalil dulu, tapi hidayah untuk paham agama dengan baik dan benar. Dalil-dalil agama itu baru diberikan kalau orang itu sudah tobat, dapat hidayah dan hijrah dengan penuh keinsafan dan kesadaran. Soalnya mereka seringkali mengorbankan tujuan hanya karena cara atau pendekatannya yang salah, keliru atau salah-sasaran. Mereka menggunakan cara munkar, paksaan atau kekerasan, yang bisa berakibat fatal, yakni gagalnya upaya mewujudkan cita-cita dan tujuan Islam sendiri yang berupa perwujudan rahmat, kemaslahatan dan keadilan bagi rakyat kita semua. Kalau dipakai cara paksaan seperti itu, ya pasti rakyat kita sendiri yang akan susah dan menderita. Bukankah itu cara kaum Khawarij dulu yang suka pakai agama untuk  menghalalkan  segala  cara  untuk  mencapai  tujuan Islam kaffah itu? Tentu kita ingat beberapa pemberontakan bernuasa agama Islam dulu di tahun 1950-an di beberapa daerah kita. Dan ternyata semuanya gagal karena rakyat kita tidak berpihak kepada mereka. 

Demikianlah mengapa Islam Nusantara yang diusung NU berupaya membendung laju politisasi agama ini. Di sinilah peran penting para ulama, yang sangat mempengaruhi mulusnya upaya mengatasi masalah-masalah sosial-keagamaan bersama. Yakni ulama dalam kapasitasnya sebagai “faqih fi mashalihi-l-khalqi” (yang memahami dan mengenal dengan baik kesejahteraan umat manusia), seperti digarisbawahi Imam al-Ghazali dalam Kitab Ihya. Hanya pada mereka-lah, umat bisa mendapat ajaran tentang agama yang memberi motivasi dan optimisme untuk meningkatkan kualitas hidup dan kehidupan  bangsa ini di masa kini dan masa depan. Amiiin... Barakah...(*)

***

Penulis: Ahmad Baso