Narkotika, Korupsi dan Terorisme dalam Perspektif Fraud

 
Narkotika, Korupsi dan Terorisme dalam Perspektif Fraud

LADUNI.ID, Jakarta - Indonesia adalah salah satu dari sekian banyak negara di dunia ini yang menetapkan bahwa narkotika, korupsi, dan terorisme merupakan kejahatan luar biasa. Respon pemerintah Indonesia sangat serius sampai dengan saat ini, telah dibentuk Lembaga Pemerintah Non Kementerian (LPNK) khusus untuk menangani tiga kejahatan tersebut. Pertama, Badan Narkotika Nasional (BNN) dibentuk berdasarkan  Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika. Sebelumnya, BNN merupakan lembaga nonstruktural yang dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 2002, yang kemudian diganti dengan Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2007.

Kedua, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) didirikan pada masa pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri pada Tahun 2002 sama dengan BNN. Meskipun ide pembentukannya sudah ada di era presiden sebelumnya yaitu dengan membentuk Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTK) di masa Jaksa Agung Marzuki Darusman dan dipimpin oeh Hakim Agung Andi Andojo. KPK berdiri berdasarkan UU Nomor 30 tahun 2002 mengenai Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Ketiga, cikal-bakal pembentukan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) diawali dengan Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 2002 dengan tujuan penanggulangan tindakan terorisme. Kemudian, berdasarkan Keputusan Menteri Nomor: Kep-26/Menko/Polkam/11/2002 ditetapkan pembentukan lembaga Desk Koordinasi Pemberantasan Terorisme (DKPT). Selanjutnya, Peraturan Presiden Nomor 46 Tahun 2010 tentang Badan Nasional Penanggulangan Terorisme dan diperkuat kembali dengan lahirnya UU Nomor 5 Tahun 2018 tentang pemberantasan tindak pidana terorisme menjadi undang-undang. Peran BNPT dalam pencegahan terorisme semakin kuat dengan melibatkan seluruh lapisan masyarakat dalam Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) di 32 Provinsi (minus Papua dan Papua Barat).

Menurut hemat penulis bahwa narkotika, korupsi dan terorisme tidak hanya sama dari sisi kejahatan luarbiasa atau kejahatan kemanusiaan. Analisa penulis menarik sebuah benang merah bahwa ketiga kejahatan tersebut termasuk dalam golongan kejahatan keuangan. Kejahatan keuangan yang dimaksud adalah bukan hanya kejahatan yang dilakukan demi memperoleh keuntungan finansial baik secara individu maupun kelompok, melainkan kejahatan tersebut dilakukan dengan memanfaat instrumen keuangan baik legal maupun ilegal dalam ilmu akuntansi disebut dengan “fraud”.

Menurut Ajeng Wind dalam Forensic Accounting bahwa fraud adalah semua tindakan kecurangan yang dapat dibagi menjadi empat hal mendasar yaitu: pertama, sebuah kesalahan penyajian yang bersifat material, kedua, scienter adalah maksud untuk melakukan penipuan, manipulasi, atau melakukan kecurangan, ketiga, reliance adalah seseorang yang menerima representasi cukup dan dapat dibenarkan dari representasi tersebut dan keempat, kerusakan adalah kerusakan keuangan yang diakibatkan dari ketiga hal tersebut.

Definisi fraud di atas sebagai dasar analisa untuk mengurai pandangan penulis terkait narkotika, korupsi dan terorime. Namun lebih dari itu, penulis sebenarnya akan menegaskan bahwa ketiga kejahatan tersebut merupakan bagian dari kejahatan keuangan meskipun berdasarkan teori fraud bisa saja tidak sesuai. Karena fraud hanya terkait dengan kecurangan dan penyelewengan keuangan dalam entitas atau korporasi yang bertentangan dengan Standar Akuntansi Keuangan (SAK) dan standar akuntansi lainnya yang berlaku umum. Artinya bahwa penulis tengah berusaha melampaui sebuah teori.

Asumsi penulis menyebut narkotika, korupsi dan terorisme adalah kejahatan keuangan adalah sebagai berikut:

Narkotika adalah kejahatan dengan memperjual-belikan obat-obatan terlarang secara ilegal. Dampaknya dapat membuat ketergantungan hingga akhirnya berujung pada kematian, di sisi yang lain memberikan keuntungan finansial bagi pelakunya, baik secara individu maupun kelompok. Sindikat kejahatan narkotika berjejaring hingga dunia internasional, penulis menyebutnya “korporasi siluman”, tidak terlihat seperti koporasi legal tapi dominasinya bisa lebih besar, karena kekuatannya bisa mengintervensi negara apalagi penegak hukum. Sama dengan korporasi pada umumnya yang mengedepankan keuntungan, ‘korporasi siluman’ adalah bentuk kejahatan keuangan dengan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan keuntungan finansial dengan mengorbankan prinsip kemanusiaan.

Korupsi di Indonesia sering juga disebut dengan fraud sama seperti yang disebutkan oleh Ajeng Wind. Korupsi yaitu penyelewengan terhadap pengelolaan anggaran Negara, baik penyelewengan dalam bentuk wewenang (penggunaan anggaran tidak didasarkan atas aturan) maupun penyelewengan dalam bentuk pengambilan manfaat atas anggaran Negara baik secara pribadi maupun kelompok yang dapat merugikan Negara. Menurut penulis bahwa korupsi selalu melibatkan lebih dari satu orang atau bahkan dilakukan secara berkelompok, penyebabnya bisa karena tekanan finansial maupun tekanan pilitik (mengingat sejumlah pimpinan Negara dan pembantunya dipilih berdasarkan komunikasi politik antar partai). Sama dengan narkotika, korupsi sangat jelas sebagai kejahatan keuangan kerena memanfaatkan uang rakyat dari pungutan pajak untuk kepentingan pribadi dan kelompok yang seharusnya dikelola untuk kemajuan dan kesejahteraan bangsa dan Negara.

Yang terakhir adalah terorisme. Jika dilihat dari perspektif korporasi, terorisme adalah organisasi yang memiliki ambisi finansial dibalik cita-cita kekuasaannya. Lihat saja kelompok teroris Islamic State if Iraq and Syria (ISIS) yang mendirikan sebuah negara atau Al-Qaeda yang mampu mengintervensi sebuah negara fenomena tersebut dapat disimpulkan bahwa terorisme sudah barang tentu memiliki manajemen organisasi dan manajemen keuangan yang mapan. Finansial bukan hanya tujuan utama dari tetorisme akan tetapi dalam mewujudkan semua tujuannya memanfaatkan sagala instrumen keuangan baik ilegal maupun legal. Misalnya memanfaatkan pendanaan internasional baik melalui lembaga pendonor maupun negara yang memiliki kepentingan yang sama, sedangkan pendanan nasional yaitu memanfaatkan harta kekayaan para anggota dan donatur lainnya yang memiliki kepentingan yang sama.

Berdasarkan hasil investigasi Kepolisian Republik Indonesia, baru-baru ini diungkapkan bahwa sejumlah pendanaan terorisme didapatkan dari hasil kotak amal yang tersebar di mini market beberapa daerah. Bukan hanya itu, penggalangan dana juga dilakukan di media sosial dalam bentuk iklan yang samarkan atau mengatasnamakan lembaga pengumpul dana seperti LAZIS dan kemanusiaan untuk mengelabui pendonor. Fakta tersebut menegaskan pandangan penulis bahwa terorisme juga termasuk kejahatan keuangan sama seperti narkotika dan korupsi yaitu kejahatan yang dilakukan demi memperoleh keuntungan finansial baik secara individu maupun kelompok dan kejahatan tersebut dilakukan dengan memanfaat instrumen keuangan baik legal maupun ilegal.

Oleh karena itu, kejahatan narkotika, korupsi dan terorisme tidak hanya bisa dituntut dengan UU Nomor 35 tahun 2009 (tentang narkotika), UU Nomor 30 tahun 2002 (mengenai Tindak Pidana Korupsi) dan UU Nomor 5 Tahun 2018 (terkait tindak pidana terorisme) akan tetapi sangat besar peluangnya dijerat dengan menggunakan UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Penggunaan UU Nomor 19 Tahun 2016 dalam pemberantasan narkotika, korupsi dan terorisme merupakan trobosan yang sangat ideal dan roh Undang-Undang ITE baru akan kelihatan. Jangan lagi digunakan hanya sekedar ‘pamer’ penegakan hukum, harus digunakan kepada kasus yang lebih esensial seperti kejahatan luar bisa.(*)

***

Penulis: Muhammad Aras Prabowo, S.E., M.Ak., Dosen Akuntansi UNUSIA, Penulis Buku Akuntansi dalam Kebudayaan Bugis.
Editor: Muhammad Mihrob