Hukum Nikah Sirri Tanpa Sepengetahuan Keluarga Menurut Prof. Habib Quraish Shihab

 
Hukum Nikah Sirri Tanpa Sepengetahuan Keluarga Menurut Prof. Habib Quraish Shihab

LADUNI.ID, Jakarta – Tulisan ini merupakan tanya jawab dari 101 persoalan perempuan yang tulis oleh Prof. Habib Quraish Shihab. Di dalam tulisan ini akan menjelaskan tentang hukum nikah sirri tanpa sepengetahuan keluarga menurut Prof. Habib Quraish Shihab.

***

Saya seorang perempuan yang menikah sirri tanpa memberi tahu keluarga, dan menggunakan wali yang disediakan oleh penghulu, apakah pernikahannya sah?

Sari, Pegawal Swasta, Depok

Perkawinan bukan sekadar hubungan antara dua orang yang menjalinnya, tetapi dia juga hubungan keluarga. Karena itu, tidak bijaksana menikah tanpa memberi tahu keluarga, walau seandainya perkawinan itu dinilai sah tanpa memberi tahu mereka.

Lelaki dapat kawin dan sah perkawinannya, walau ia tidak memberi tahu keluarganya. Yang wajib-paling tidak meminta izin-adalah perempuan, karena merekalah yang memerlukan wali, mereka juga yang sering tertipu atau emosional, lebih-lebih yang gadis.

Nikah sirri bukanlah nikah yang sah, karena perkawinan tidak boleh disembunyikan. Ia harus diketahui paling tidak oleh wali dan dua orang saksi yang tidak boleh dipesan oleh calon suami agar merahasiakan perkawinan itu.

Apabila mereka sekadar hadir sebagai saksi, lalu mereka diminta untuk merahasiakan pernikahan itu, maka ini pun menurut Imam Malik termasuk nikah sirri alias terlarang, sedang menurut Imam Syafi'i, itu dapat ditoleransi dengan syarat bila terjadi perselisihan antara suami istri, maka mereka wajib menyampaikan kesaksiannya.

Selanjutnya kalau kita berbicara tentang pandangan ulama menyangkut wali perkawinan, maka paling tidak kita menemukan empat pendapat populer. Pertama, mengharuskan adanya wali. Perempuan menurut penganut paham ini tidak memiliki wewenang untuk mengawinkan dirinya, apalagi orang lain, tidak juga mewakilkan selain walinya untuk mengawinkannya. Memang, janda lebih berhak menentukan pilihannya, bahkan memiliki hak veto dalam pilihannya, namun kendari demikian, wali-siapa pun dia-tetap diperlukan buat janda, lebih-lebih gadis. Inilah yang dianut oleh Mazhab Syafi'i.

Pendapat kedua membolehkan perempuan melakukan perkawinannya, selama ia telah memperoleh izin walinya. Kalau akad nikah terjadi sebelum izin itu, maka akad tersebut dinilai sah jika ternyata kemudian diperoleh izin/persetujuan wali.

Pendapat ketiga membolehkan perempuan mengawinkan dirinya, atau mewakilkan orang lain untuk mengawinkannya. Ini adalah pendapat Mazhab Abu Hanifah dan Syiah Imamiyah. Sedang pendapat keempat menyatakan bahwa syarat persetujuan wali hanyalah bagi gadis, sedang janda boleh mengawinkan dirinya.

Akhirnya, perlu dicatat bahwa dalam tinjauan hukum Islam dan perundangan yang berlaku di Indonesia, wali mutlak adanya untuk sahnya perkawinan. Demikian, wa Allah A'lam.

Sumber: M. Quraish Shihab. M. Quraish Shihab​ Menjawab 101 Soal Perempuan Yang Patut Anda Ketahui. Ciputat Tanggerang: Lentera Hati, 2011.