Ketika Pegawai/Karyawan Sudah Gajian, tapi tidak Bekerja karena Sakit, Bagaimana Hukumnya ?

 
Ketika Pegawai/Karyawan Sudah Gajian, tapi tidak Bekerja karena Sakit, Bagaimana Hukumnya ?

LADUNI.ID, Jakarta - Seorang karyawan/pegawai biasanya terima gaji di muka baru pada bulan itu bekerja. Bagaimanakah seandainya di awal bulan September dia telah terima gaji bayaran tetapi karena kecelakaan atau sakit dia tidak bisa bekerja selama bulan September. Bagaimanakah dengan gaji yang diterimanya, berhutangkah dia?

Pertanyaan

Jika termasuk berhutang, bagaimana cara mengembalikan/mengesahkannya jika dia pegawai negeri?

Baca: Seratus Tokoh Sufi yang Terbagi Dalam Lima Generasi

Jawaban

Pegawai itu ada tiga macam:

  • Pegawai tetap, yaitu pegawai yang tetap mempunyai hak menerima gaji penuh meskipun dia sakit sampai satu bulan lebih atau tidak masuk karena cuti di luar tanggungan.
  • Pegawai bulanan, yaitu pegawai yang mempunyai hak penuh gaji satu bulan meskipun dia tidak masuk bekerja beberapa hari karena sakit atau cuti, kecuali cuti di luar tanggungan.
  • Pegawai harian, yaitu pegawai yang berhak menerima gaji satu hari penuh pada setiap hari. Dia datang untuk bekerja, meskipun pada jam tertentu dia tidak bekerja karena melakukan salat, makan dan sebagainya yang tidak dapat dihindarkan.

Jadi pegawai negeri yang sakit seperti tersebut pada pertanyaan, dia tidak berhutang, karena gaji yang telah diterima awal bulan itu sudah menjadi haknya.

Dasar pengambilan Kitab Hamsy dari syarah Kitab Ar-Raudl juz 2 halaman 412:

وَلَوْاسْتَأْ جَرَلِلأِمَا مَةْ وَلَوْ لِنَافِلَةٍ كَاتَّرَاوِيْحِ لَمْ يَصِحَّ (قَوْلُهُ لَوِ اسْتَأْ جَرَ) اِلَى آخِرِهِ, ظَنَّ بَعْضُهُمْ اَنَّ اْلجَمْكِيَّةَ عَلَى الاْءِمَامَةِ وَالطَّلَبِ وَنَحْوِهِمَامِنْ بَابِ الاءِجَارَةِ حَتَّى لاَ يَسْتَحِقُّ شَيْأً اِذَا أَخَلَّ بِبَعْضِ اَيَّامٍ اَوِالًَصَّلاَة. وَلَيْسَ كَذَالِكَ, بَلْ هُوَ مِنْ بَابِ الاءِ رْصَادِ وَاْلاَ رْزَاقِ اَلْمَبْنِيِّ عَلَى اْلاءِحْسَانِ وَاْلمُسَامَحَةِ. بِخِلاَفِ اْلاءِجَارَةِ فَاءِنَّهَا مِنْ بَابِ اْلمُعَاوِضَةِ. وَلِهَذَا يَمْتَنِعُ اَخْذُ اْلأُجْرَةِ عَلَى اْلقَضَاءِ, وَيَجُوْزُ اِرْزَاقُهُ مِنْ بَيْتِ اْلمَالِ بِالاءِجْمَاعِ.

"Andaikata seseorang yang mengambil upah untuk menjadi imam salat meskipun salat sunat seperti salat sunat tarawih, maka hukumnya tidak sah. (ucapan musanif “Andaikata seseorang mengambil upah”) dan seterusnya, sebagian dari ulamak ada yang mengira bahwa gaji mengimami dan uang saku karena menuntut ilmu dan yang seperti keduanya adalah termasuk bab ijarah (mengambil upah) sehingga seorang imam tidak berhak sedikit pun dari gaji tersebut apabila seorang imam tidak mengimami pada sebagian hari atau sebagian salat. Yang benar tidaklah demikian; melainkan gaji tersebut adalah termasuk bab pemberian nafkah dan pemberian rizqi yang di dasarkan pada perbuatan baik dan toleransi. Berbeda dengan buruh yang mengambil upah, maka upah tersebut termaduk pemberian imbalan. Oleh karennya, seseorang tidak boleh mengambil upah karena memutuskan perkara, tetapi boleh memberi rizqi kepeda hakim yang memutuskan perkara dari baitul maal (kas negara) menurut ijma’."

Baca:   Bagaimanakah sikap Makmum ketika Imam Lupa Rakaatnya?

Sumber : Buku KYAI MASDUQI MENJAWAB, Tanya Jawab Hukum Islam Bersama KH. Achmad Masduqi Mahfudh

KUNJUNGI JUGA

 

 

Yuk Ngaji Qur’an yang dilengkapi terjemah dan penjelasan di Laduni