Tentang Hadis Tasyabbuh (Menyerupai)

 
Tentang Hadis Tasyabbuh (Menyerupai)
Sumber Gambar: Foto : (Twitter Kyai Taufik Damas)

Laduni. ID, Jakarta- مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُم.  “Barangsiapa menyerupai satu kaum, maka ia bagian dari kaum itu.” Hadis ini sangat populer. Tidak sedikit muslim yang menjadikannya sebagai dalil untuk “mengkafirkan” orang lain yang menyerupai kegiatan atau tradisi orang-orang non-muslim.

Cara pandang seperti ini jelas mewakili konservatisme dan ekstimisme (tatharruf) pandangan keagamaan. Islam mengajarkan umatnya untuk menjadi bagian tak terpisahkan dari umat manusia. Tidak ada larangan umat Islam menyerupai atau menampakkan kesamaan dengan umat-umat lainnya.

Umat Islam adalah anak-anak zaman, bukan manusia-manusia yang hidup terpisah dari umat manusia lainnya dalam tempat dan masa. Bahkan, umat Islam harus menjadi motor penggerak hidup berkeadaban dan berkemanusiaan di dunia ini.

Dalam sejarah, Nabi Muhammad SAW, beliau pernah memakai  Jubah dari Syam. Nabi juga pernah meniru puasa Asyura dari orang-orang Yahudi yang berpuasa pada hari Asyura. Melihat orang-orang Yahudi berpuasa pada hari Asyura, Nabi bersabda; “Kami lebih berhak terhadap Nabi Musa daripada kalian (orang-orang Yahudi).” Beliau lantas melakukan puasa pada hari Asyura dan mengajak kaum muslim untuk berpuasa.

Begitu pula halnya dengan para sahabat. Dalam sejarah, Umar ibn Khattab tidak segan mengambil aturan (sistem hukum) yang ada pada umat lain. Selama ada manfaatnya, maka boleh menyontek kebiasaan atau apapun dari umat di luar Islam.Dalam Islam, selain ilmu, ada hikmah.

Hikmah adalah kebaikan atau kearifan yang ada pada masyarakat mana pun. Umat Islam boleh meniru/mengambil kebaikan dan kearifan itu di mana pun ditemukan.
Hikmah adalah barang hilangnya orang beriman. Di manapun ia temukan, maka ia berhak mengambilnya.

Begitu pula dengan tradisi. Tidak ada larangan mengambil/meniru tradisi dari umat mana pun selama tradisi tidak mengandung mudarat.
 خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ
“Pilihlah memaafkan dan perintahkanlah menjalankan tradisi (yang baik).” (Al-A’raf: 199).

Menjadikan hadis di atas sebagai dalil mengkafirkan hanya karena penyerupaan pada orang-orang non-muslim adalah tanda kejumudan dan konservatisme. Ingatlah: definisi iman adalah mengakui dengan lisan, meyakini dengan hati dan melakukan kewajiban yang menjadi konsekwensi dari pengakuan dan keyakinan.

Jadi sungguh sangat gegabah jika hadis di atas dijadikan dalil untuk mengkafirkan orang muslim hanya karena ia masuk gereja. Dalam menyerupai, yang dilarang adalah meyerupai dalam ibadah dan perbuatan yang diharamkan dalam Islam. Muslim tentu tidak boleh beribadah dengan cara ibadah non-muslim. Setiap umat beragama memiliki cara-cara khusus dalam beribadah, dan berbeda-beda. Ini sangat jelas.

Begitu pula, muslim tidak boleh menyerupai perbuatan non-muslim yang diharamkan oleh Islam, seperti makan daging babi, dan seterusnya. Jadilah orang-orang beriman yang serius. Iman yang sesuai dengan definisinya, bukan iman yang dikarang-karang sendiri. Jika ada orang yang ragu dengan imannya, hingga ia merasa takut imannya berubah karena hal-hal tertentu, maka ia tidak boleh memandang kadar iman orang lain seperti kadar imannya.

Saya pribadi selalu memandang orang lain memiliki iman yang kuat dan baik. Saya tidak berani meremehkannya. Karena iman seseorang adalah urusan dirinya dan Allah saja. Kamu tidak boleh memonten iman orang lain. Wallahu a’lam.

Oleh: Taufik Damas, LC (Alumnus Universitas al-Azhar Kairo)