"Menikmati" Kehidupan dengan Nafsu

 
Sumber Gambar: sojo.net, Ilustrasi: laduni.ID

Laduni.ID, Jakarta - Nafsu adalah salah satu "anugerah" yang Allah berikan kepada manusia. Namun, banyak manusia yang sering dikendalikan oleh nafsunya sendiri, sehingga tidak jarang nafsu menuntunnya kepada keburukan, kemaksiatan, dan hal-hal yang tidak disukai Allah. Dengan situasi seperti itu manusia berpikir untuk memerangi dan menghilangkan nafsu yang ada pada dirinya. Padahal pemahaman sebenarnya perlu diluruskan.

KH. Buya Syakur Yasin menjelaskan, bahwa nafsu adalah pemberian langsung dari Allah, karena salah satu sifat Allah Yang Maha Mengetahui, sehingga manusia dapat menikmati kehidupan di dunia. Tanpa ada nafsu, maka sate kambing yang lezat tidak bisa dinikmati, misalnya. Tanpa ada nafsu, buah durian yang menggiurkan tidak bisa dinikmati. Tanpa ada nafsu, istri yang cantik pun tidak bisa dipandangi dengan bahagia. Justru sebenarnya dengan nafsu itu manusia bisa "menikmati" hidup.

Allah juga tidak memerintahkan hamba-Nya untuk menghilangkan, memerangi, dan membunuh nafsu. Nafsu aktif ketika manusia sadar, dan nafsu juga akan tetap aktif saat manusia pada kondisi tidak sadar (tidur). Allah tidak memerintahkan manusia untuk melawan nafsu, Allah hanya memperingatkan manusia bahwa di dalam dirinya terdapat nafsu. Ketika manusia berusaha sekeras mungkin untuk menghilangkan nafsu, maka nafsu akan tetap ada dengan “penampilan” yang baru. Diibaratkan seperti ini, ketika manusia mencoba untuk mengusir nafsu yang memakai baju putih, maka nafsu akan datang kembali dengan baju warna hitam.

Nafsu akan mati jika manusia mati, karena nafsu adalah satu kesatuan dari diri manusia. Jika manusia mati, maka nafsu juga akan hilang dengan sendirinya. Nafsu itu ada pada diri manusia, tapi bukan untuk dilawan, diperangi, atau bahkan dihilangkan. Nafsu itu ada untuk disalurkan, di-manage atau dikelola agar nafsu tidak menjadi liar sehingga menguasai diri manusia itu sendiri.

Nafsu itu seperti kuda liar yang belum terlatih, ketika si penunggang mengarahkan kuda ke arah timur, maka kuda akan tetap berjalan kearah barat. Sekeras apapun si penunggang berusaha; dipecut, dipukul, atau diapakan saja, kuda akan tetap berlari ke arah barat. Karena memang kuda tersebut adalah kuda liar.

Dalam ilmu psikologi, kuda tersebut merupakan ide atau keinginan yang timbul. Sedangkan si penunggang adalah ego yang mengontrol ide agar tetap sejalan dengan super ego, norma sosial, norma agama, dll.

KH. Buya Syakur Yasin pernah menyampaikan penjelasan menarik tentang kisah yang diceritakan oleh Al-Quran mengenai Siti Zulaikha, perempuan yang tergila-gila dengan Nabi Yusuf. 

Allah SWT berfirman:

وَمَآ اُبَرِّئُ نَفْسِيْۚ اِنَّ النَّفْسَ لَاَمَّارَةٌ ۢ بِالسُّوْۤءِ اِلَّا مَا رَحِمَ رَبِّيْۗ اِنَّ رَبِّيْ غَفُوْرٌ رَّحِيْم

“Dan aku tidak (menyatakan) diriku bebas (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu mendorong kepada kejahatan, kecuali (nafsu) yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS. Yusuf: 53)

Buya Syakur menjelaskan bahwa tugas manusia bukanlah menghilangkan nafsu, melainkan bagaimana caranya manusia menjadi makhluk yang Allah berkahi, agar Allah mengecilkan “volume” nafsu pada diri seseorang. Ketika kondisi nafsu sudah jinak, maka itulah dinamakan nafsul mutmainah, artinya itu menjadi nafsu yang sudah terbimbing, nafsu yang sudah damai. Ketika seseorang sudah mempunyai nafsul mutmainah maka tugasnya di dunia telah selesai, hanya menunggu kapan waktunya dijemput untuk pulang. Demikian ini sebagaimana yang disebutkan di dalam Surat Al-Fajr ayat 27-30 berikut ini:

يٰٓاَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَىِٕنَّةُۙ ارْجِعِيْٓ اِلٰى رَبِّكِ رَاضِيَةً مَّرْضِيَّةً ۚ فَادْخُلِيْ فِيْ عِبٰدِيْۙ وَادْخُلِيْ جَنَّتِيْ

“Wahai jiwa yang tenang! Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang ridho dan diridhoi-Nya. Maka masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku.” (QS. Al-Fajr: 27-30)

Jadi, "menikmati" kehidupan dengan nafsu itu artinya kita sudah dapat mengendalikan nafsu yang ada pada diri kita, sehingga menjadi nafsul muthmainnah. Manusia tidak mungkin hidup tanpa nafsu, karena nafsu itu adalah bagian integral di dalam dirinya. Nafsu memang bukan untuk dilawan, diperangi atau dihilangkan, tapi untuk dikendalikan dengan petunjuk dalam ajaran Nabi Muhammad SAW. []


Sumber: Tulisan ini merupakan catatan yang diolah dan dikembangkan dari pengajian KH. Buya Syakur Yasin. Tim redaksi bertanggungjawab sepenuhnya atas uraian dan narasi di dalam tulisan ini.

Catatan: Tulisan ini telah terbit pada tanggal 05 Juni 2021. Tim Redaksi mengunggah ulang dengan melakukan penyuntingan dan penyelarasan bahasa.

___________

Editor: Hakim