Pernikahan Itu Mengubah Status Orangnya, Bukan Mengubah Orangnya

 
Pernikahan Itu Mengubah Status Orangnya, Bukan Mengubah Orangnya
Sumber Gambar: Dok. Laduni.ID

Laduni.ID, Jakarta – Orangtua dia yang sudah puluhan tahun mengasuh saja belum tentu bisa merubah dia. Nah, kamu siapa kok percaya diri banget, merasa sanggup merubah orang?

Don't try to change people. Kalau ada tanda-tanda yang 'tak beres' pada diri seseorang, segeralah pergi. Cari yang memang beres sejak awal. Jangan berjudi dengan realita, "Ah siapa tahu dia nanti berubah!"

Saat pacaran kasar, egois, tak terlalu mencintaimu, toxic, dan kelihatan manipulatif. Lalu memutuskan untuk menikah dengan harapan, "semoga pernikahan akan mengubahnya". Pas sudah menikah, ternyata masih toxic. Lalu memutuskan untuk bikin anak saja, dengan harapan "semoga saat menjadi orangtua dia akan berubah."

Ketika lahir anak pertama masih toxic, tambah anak lagi dan lagi dengan harapan yang sama. Mau sampai punya anak berapa? Sesungguhnya pernikahan/memiliki anak itu hanya mengubah status orang, bukan mengubah orangnya.

Yang mampu merubah seseorang itu komitmen dari dalam dirinya sendiri untuk berubah, bukan selembar dokumen negara.

***

Seharian ini medsos ramai membicarakan nasib seorang istri oknum pemuka agama yang punya jargon favorit "jagalah hati, jangan kau nodai".

Ya, kamu bisa saja mempersembahkan dirimu untuk ikut, nurut, patuh mengabdi pada seorang laki-laki puluhan tahun lamanya, mulai rambutmu masih hitam legam sampai berubah keperakan. Berkali-kali mempertaruhkan nyawa demi melahirkan keturunan untuk dia.

Tapi lelaki yang tak baik akan tetap menyia-nyiakan, menggantung, merendahkan, dan mengeksploitasi kehadiranmu demi keuntungannya sendiri, lalu kalau sudah bosan dan kamu tak lagi 'berguna', tinggal 'dibuang' saja.

Semua itu kamu alami sembari ia melakukan kekerasan verbal seperti mengataimu "turun mesin" dan entah apa saja yang sanggup ia katakan di ranah privat, kalau di depan publik saja dia mampu berkata begitu.

Verbal abuse untuk menjatuhkan self-esteem itu, dilakukan terus-menerus dalam waktu yang lama. Kerapkali sampai si perempuan tiba di titik dia merasa 'layak' menerima itu semua. Ya itulah tujuannya, membuat perempuan merasa invisible dan tak berharga.

Sehingga makin gampang 'dikendalikan pikirannya', diberikan pemahaman manipulatif seperti, "Poligami itu anjuran Nabi, suatu cara mendidikmu untuk lebih mencintai Allah dan akhirat dibandingkan segalanya di dunia ini." Halah.

***

Ya inilah hidup. Ada yang beruntung, ada yang apes. Tiada jaminan orang memperlakukan kita dengan baik, tak peduli sudah sebaik apa kita padanya. Saranku untuk meminimalisir 'apes' dalam hidup:

1). Percayai intuisimu. Jangan abaikan tanda tak beres yang ditunjukkan seseorang. Apa yang kau abaikan di awal, kemungkinan besar tetap jadi penyebabmu untuk pergi kemudian.

2). Jadilah mandiri secara emosional dan finansial. Mencari uang adalah skill yang harus dikuasai oleh semua manusia yang masih ingin bernapas, bukan cuma oleh laki-laki. Jangan jadi janda yang kelaparan Bersama tiga anaknya begitu ditinggal suami.

Yang mengubah orang itu motivasi kuat dari dalam dirinya sendiri untuk berubah, bukan selembar dokumen negara.

1). Bagi beberapa orang, selembar dokumen negara memang bisa memunculkan motivasi untuk jadi lebih baik.

2). Tapi, yang nggak juga banyak. Single, berpasangan, atau jadi orangtua pun sama saja, tetap toxic.

Nah, karena tidak semua perempuan pandai membedakan kedua tipe cowok itu, lebih baik pilih saja yang memang ‘beres’ sejak awal. Sekali lagi jangan berjudi dengan realita.

Jadi tidak semua orang nikah itu otomatis berubah. Kalau nikah jadi jaminan berubah, niscaya gedung perceraian kosong, dong.

Lebih baik telat menikah, daripada cepat menikah tapi tak bahagia. Buat apa?

Aku tak pernah lihat orang yang mati muda karena belum dapat pasangan. Tapi berapa banyak orang yang mati muda karena salah pilih pasangan?

Salam dari anak remajamu di dunia online.

 

Oleh: Asa Firda Inayah